Mukim-Gampong dalam Pemerintahan Aceh

Diskusi tematik di Gampong Krueng Lamkareung, Indrapuri Aceh Besar. (YRBI)


Mukim adalah salah satu bentuk pemerintahan di Aceh yang diakui dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Model ini sudah dijalankan di Aceh sejak masa kesultanan Iskandar Muda (1607). Unit pemerintahan terkecil di Aceh disebut Gampong, persekutuan dari beberapa Gampong (minimal 4) disebut Mukim.

Gampong yang dipimpin seorang Keuchik sebagai pimpinan adat memiliki kewenangan atas lingkungan dan sumber daya alam, hak atas pemanfaatan sumber daya alam, hak untuk ikut dalam pengaturan lingkungan dan menyelenggarakan sejenis peradilan untuk menyelesaikan sengketa.

Gampong-Gampong di Aceh, pernah mengalami proses pelemahan yang sistematis selama puluhan tahun. Proses ini, dimulai dengan dikeluarkannya sejumlah Undang-Undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistis. Seperti UU nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan UU nomor 4 tahun 1984 tentang Pertambangan. Selanjutnya UU nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang akhirnya direvisi dengan UU no 6 tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan kewenangan otonom bagi desa untuk mengurus berbagai hal, termasuk didalamnya aset desa (sumber daya alam)

Meskipun saat ini Mukim dan Gampong sudah mendapat pengakuan dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah (qanun) di Aceh yang berbeda prosesnya dengan UU Desa, dalam prakteknya kedudukan Mukim-Gampong belum sepenuhnya mendapatkan perlakukan sebagaimana tertulis dalam peraturan negara dan juga peraturan daerah. Mukim-Gampong masih harus berjuang dalam mengadvokasi hak dan kewenangannya. Hal ini bertujuan agar kedaulatan Mukim-Gampong dapat dipraktekan dalam semua aspek. Kewenangan dan hak Mukim-Gampong tidak hanya sebatas di peraturan saja. Tetapi harus diterjemahkan secara praktek nyata.

Untuk memperkuat peran Mukim-Gampong di Aceh, Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) Aceh melalui Program Konsolidasi Komunitas Mukim dan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Pengakuan Kedaulatan Mukim dalam Kebijakan Strategis Daerah di Aceh, menginisiasi pertemuan dan fasilitasi komunitas Mukim-Gampong dengan pemerintah daerah, pengambil kebijakan dan para pihak.

Pertemuan pertama dengan tema “Pemilihan Perwakilan Majlis Duek Pakat Mukin (MDPM) Aceh Besar dalam Lembaga Wali Nanggroe” dilaksanakan di Banda Aceh pada 23 Juni 2015. Pertemuan ini bertujuan menyepakati dua orang perwakilan Majlis Duek Pakat Mukim (MDPM) Aceh Besar dalam lembaga Wali Nanggroe melalui kriteria yang disepakati oleh forum. Menyepakati manifesto perjuangan Mukim Aceh untuk diperjuangkan bersama lembaga Wali Nanggroe.

Pertemuan ini telah menghasilkan kesepakatan perwakilan Mukim dalam lembaga Wali Nanggroe. Menyepakati manifesto MDPM yang akan duduk di lembaga Wali Nanggroe yaitu : memperjuangkan pengakuan wilayah kelola Mukim dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA), memposisikan Mukim sebagai elemen penting dalam pengambilan kebijakan strategis daerah, menempatkan aturan adat Mukim sebagai hukum formal yang harus diakui, dihormati dan dipatuhi oleh semua pihak.

Dilanjutkan dengan pertemuan kedua dengan tema “Masukan Mukim Terhadap Rancangan Draft Peraturan Gubernur Tentang Keujruen Blang (Lembaga Adat Mukim dalam Pengelolaan Sawah). Dilaksanakan di Banda Aceh pada 18 Juli 2015 yang bertujuan menghimpun masukan-masukan dari tokoh-tokoh Mukim di Aceh Besar terhadap draft Peraturan Gubernur Tentang Keujreun Blang, mendorong pemerintah daerah untuk mengakomodir masukan Mukim dalam Peraturan Gubernur tersebut.

Sumber : dikutip dan diolah dari Laporan Perkembangan “Mendorong Pemerintah Daerah untuk Mengakui Kesepakatan Adat sebagai Inisiatif Mukim-Gampong dalam Perlindungan Sumber Daya Alam,” YRBI Aceh-2015

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours