Perubahan Iklim Global dan Dinamika Lokal

(SAMDHANA/Andhika)


Oleh Andhika Vega Praputra

Sebagai isu yang mengemuka pada dekade terakhir, perubahan iklim telah menyedot perhatian kita. Tak hanya di tingkat internasional, isu perubahan iklim juga menyentuh masyarakat di tingkat tapak. Berbagai inisiatif mengurangi emisi berbasis masyarakat telah dilakukan para pihak melalui berbagai skema, baik wajib maupun sukarela.

Meski demikian perubahan iklim masih menjadi isu rumit bagi masyarakat sekitar hutan. Terlebih karena dipenuhi berbagai jargon dan istilah teknis serta kerumitan berbagai prosedur yang masih dibahas. Belum lagi soal insentif dan kerangka pengaman yang tampak samar bagi masyarakat hutan.

Sebuah inisiatif untuk menggali pengalaman para pihak terkait perubahan iklim telah dilakukan RECOFTC bersama FKKM dan Samdhana. Terdapat sembilan kali kegiatan konsultasi perubahan iklim dan REDD di tingkat sub-nasional, Kabupaten dan Provinsi. Konsultasi tersebut diselenggarakan di Jember-Jawa Timur; Nusa Tenggara Barat; Maluku Utara; Bantaeng-Sulawesi Selatan; Berau-Kalimantan Timur; Biak-Papua; Lampung; Merangin-Jambi; dan Ketapang-Kalimantan Barat.

Konsultasi serupa tentang perubahan iklim juga dilakukan di tingkat nasional pada 9 November 2015. Acara tersebut, diharapkan dapat menyuarakan pengalaman dan kendala yang dirasakan para pihak dari sembilan lokasi.

Perubahan Iklim, Kerentanan di Kepulauan

Mempertimbangkan wilayah Indonesia yang tersebar di kepulauan, pengurangan emisi berbasis lahan dipertanyakan para pihak. Dari Lombok dan Maluku Utara misalnya, persoalan perubahan iklim lebih terfokus kepada kondisi geografis. Sebagai wilayah kepulauan, kekhawatiran yang mencuat adalah menjadi korban dari ancaman perubahan iklim. Perubahan iklim yang dikaitkan dengan kenaikan muka air laut mengancam ruang dan penghidupan masyarakat kepulauan.

Secara lokal, pengaruh besar juga dirasakan masyarakat karena ekstraksi sumberdaya alam oleh perkebunan, hutan tanaman maupun pertambangan. Ditengarai perubahan kecil yang terjadi di hulu pulau kecil akan langsung mempengaruhi ekosistem lokal, dari ekosistem hulu sungai hingga ke pesisir. Sedimentasi terjadi karena aktivitas ekstraksi sumberdaya alam di hulu, mempengaruhi sungai dan naiknya muka air laut. Diduga, bahkan perubahan ini juga mempengaruhi tangkapan ikan para nelayan.

Dianggap sebagai konsep yang bias daratan, pengurangan emisi berbasis lahan dirasa sulit dilakukan pulau-pulau kecil. Kemungkinan emisi yang dikurangi pulau kecil tidak signifikan jumlahnya seperti di pulau besar.

Masyarakat kepulauan yang umumnya berprofesi sebagai nelayan itu sangat bergantung pada musim dan muka air laut. Tak cuma nelayan, petani di kepulauan juga terpengaruh musim. Pada musim panas yang panjang misalnya, cerita masyarakat gagal panen dan kesulitan air bersih di pulau-pulau kecil seringkali muncul.

Tak hanya mengurangi emisi, masyarakat kepulauan juga dihadapkan pada mendesaknya kebutuhan untuk adaptasi. Inisiatif tersebut mereka upayakan ditengah upaya pemenuhan kebutuhan mereka.

Meningkatkan Kemampuan Sekaligus Mengurangi Kerentanan

Salah satu upaya yang disebut masyarakat di Lombok misalnya, adalah menjaga hulu dan mata air. Upaya tersebut, telah dihargai insentif jasa lingkungan. Masyarakat di hulu akan menerima imbal jasa atas upayanya menjaga sumber air. Sedangkan masyarakat hilir sebagai pengguna jasa membayar sejumlah uang kepada masyarakat hulu yang menjaga sumbernya. Imbal jasa tersebut telah diatur dalam kerjasama yang didukung pemerintah kabupaten dan perusahaan air minum daerah dalam skema PES (Payment for Environmental Services).

Selain yang bersifat jasa lingkungan, di Lombok juga ada kelompok yang tergabung dalam Sunda Kecil dan Maluku (SUKMA). Kelompok tersebut mengusung konsep adaptasi dan kelentingan terhadap bencana dan iklim dari tingkat desa. Kemampuan masyarakat beradaptasi didorong melalui program Desa Tangguh dan Adaptif Perubahan Iklim (DELTA API). Inisiatif tersebut difasilitasi oleh Santiri bersama lembaga mitranya di SUKMA.

Di Maluku Utara, pengarus-utamaan pangan lokal juga sedang di dorong para pihak. Pengakuan wilayah adat untuk mengatasi konflik klaim atas tanah juga mendominasi isu di kepulauan yang sempat terkenal karena rempahnya itu. Kepastian hak atas wilayah, meski tidak secara langsung berkaitan dengan perubahan iklim namun berpengaruh pada penghidupan masyarakat yang meninggalinya. [Andhika Vega Praputra]

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours