Sumatera Dikepung Asap, ‘Robohnja Sumatera Kami’ Diluncurkan di Padang

Surat-surat itu ditulis dengan jujur, dirangkai dalam satu kalimat sederhana sebagai permintaan maaf aktivis kepada masyarakat korban krisis di Sumatera. Ditulis oleh 7 penulis, 3 aktivis dari Walhi se-Sumatera dan sisanya dari NGO Sumatera dan didukung 10 periset dari berbagai lembaga. Surat-surat inilah yang terekam dalam buku “Robohnja Sumatera Kami”, yang diluncurkan di Padang, Sumatera Barat, Senin (19/10). Buku laporan kepada warga Sumatera dan publik atas segala krisis ruang hidup yang terus mendera meskipun intensitas kerja-kerja pembelaan telah ditingkatkan.

Terinspirasi buku “Robohnja Surau Kami” karya A.A. Navis yang mengisahkan ambruknya tatanan sosial yang digerus modernisasi, buku ini mengisahkan daya rusak akibat mengejar angka pertumbuhan ekonomi yang menjadi pedoman pembangunan di negeri ini. Dokumentasi dan tutur lirih kerumitan rerantai sistem penyelenggaraan wilayah, bukannya menjamin keselamatan dan produktivitas serta pemenuhan kebutuhan sehari-hari warga, tetapi malah menjadi faktor penyebab dan pendorong berlanjutnya kemerosotan kualitas ruang hidup dan kehidupan.

“Kami sebagai penulis menemukan persoalan langsung di masyarakat. Ada keberhasilan, ancaman dan ada juga kegagalan dalam melaksanakan kerja-kerja advokasi. Penting bagi kami untuk menyampaikan tanda terima kasih kepada masyarakat selama ini,” ujar Beni Ardiansyah, mewakili para penulis.

Buku setebal 192 halaman ini bertutur dari 3 kawasan Sumatera, yaitu pantai barat Sumatera, pantai timur Sumatera dan kawasan Bukit Barisan yang menjadi penyambung Sumatera. Ketiganya terkait dengan perampasan lahan, pengrusakan sumberdaya alam, efek domino terhadap pembangunan dan dampak dari investasi seperti asap. Semuanya itu menggambarkan bahwa hampir semua Sumatera mengalami hal yang sama.

“Saat menyunting buku ini saya merasa tersentuh membaca surat-surat ini. Saya merasa kenal, simpati dan empati dengan kesulitan mereka, tantangan mereka, hari-hari mereka, dengan perjuangan mereka. Semoga surat-surat ini dibalas, ada tanggapan kemudian muncul relasi yang sangat kuat, tertulis sehingga orang lain juga mau membaca dan terlibat,” ungkap Ambrosius Ruwidrijarto, salah satu penyunting buku ini.

Di ujung seluruh tutur lirih dari Sumatera ini nyatalah betapa baik martabat warga yang berbudaya, kedaulatannya atas pola konsumsi-produksi, dan kemandiriannya dalam hal pangan dan energi, luluh lantak oleh agresivitas industri, pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit.

Arif Wicaksono dari Samdhana Institute memaparkan bahwa buku ‘Robohnja Sumatera Kami’ merupakan titik belajar bersama yang bisa menginspirasi satu sama lain. Advokasi boleh jalan terus tetapi jangan lupa mendokumentasikan dan melaporkan balik ke publik yang menjadi obyek penderita dari semua cerita yang dilaporkan.

“Saya ucapkan selamat kepada penulis dan periset buku ini yang luar biasa sekali usahanya, 1,5 tahun uji coba metodologi yang luar biasa sekali dari teman-teman Walhi dari Aceh sampai Lampung ini. Juga didukung teman-teman yang bukan Walhi yang membantu dalam penelitian. Ini adalah proses belajar bersama termasuk saya yang kebetulan diminta untuk menjadi penyunting dan Samdhana Institute betul-betul sangat menghargai ini,” jelas Arif.

Para penerima surat dalam buku 'Robohnja Sumatera Kami'. Foto : Anggit|Samdhana.
Para penerima surat dalam buku ‘Robohnja Sumatera Kami’. Foto : Anggit|Samdhana.

Dari Sumatera Barat disajikan serangkaian potret krisis dan upaya warga menyelamatkan kehidupannya, berkisah tentang konflik, pertentangan, permusuhan di antara warga sendiri, lahan-lahan pertanian yang lenyap, kedaulatan pangan yang hilang sehingga harus mengkonsumsi beras miskin. Warga dipaksa menyerahkan sumber daya alamnya, didorong menjadi buruh industri, sekaligus pasar produk industri, dihantui kecemasan setiap saat karena wilayah Sumatera Barat adalah wilayah rentan bencana.

Iwan Mulyadi, salah satu warga penerima surat dalam buku ini berharap, pemerintah terutama institusi Polri bertanggung jawab atas penembakan dirinya tahun 2006 silam. Sampai Hari ini Iwan belum menerima keadilan hukum sekalipun sudah ada putusan hukum tetap sejak 19 Mei 2011, dimana Mahkamah Agung RI melalui putusan nomor 2710 K/PDT/2010 menolak kasasi kepolisian dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Padang. Artinya Polri harus membayarkan ganti rugi kepada Iwan Mulyadi Rp. 300 juta

“Mudah-mudahan dengan adanya buku ini menyentuh rasa tanggung jawab pemerintah atas apa yang diperintahkan oleh pengadilan. Sehingga apa yang ditunggu-tunggu oleh keluarga Iwan selama ini bisa segera mereka dapatkan. Ketika buku ini dibaca masyarakat lain, oleh pihak-pihak terkait seperti penegak hukum, akademisi dan lainnya, menjadikan buku ini sebagai pembelajaran, sehingga kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi pada masyarakat lainnya,” tegas Wengki Purwanto, Ketua PBHI Sumatera Barat selaku kuasa hukum Iwan.

Koresponden Jakarta Post Sumbar, Syofiardi Bachyul, menilai buku ini hadir disaat yang tepat. Saat Sumatera dikepung asap tebal sejak akhir Agustus yang menyebabkan kerugian sangat besar terhadap ekonomi masyarakat.

“Ini bisa jadi pembelajaran bagi semua pihak terutama pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Saat ini pemerintah lebih fokus kepada pembangunan dengan mengutamakan pemberi modal. Dengan membaca surat ini rasa humanisme pemerintah dalam mengambil kebijakan bisa dipenuhi. Persoalannya adalah apakah buku ini akan sampai ke tangan pengambil kebijakan ?” jelas Syofiardi.

Buku “Robohnja Sumatera Kami” diluncurkan sebagai bunga rampai dari catatan pengalaman dan refleksi sepanjang 2010-2015 kerja-kerja kampanye organisasi masyarakat sipil lingkungan hidup di Sumatera yang tergabung dalam Simpul Kampanye Mitra Sumatera dari Program Kewaspadaan Masyarakat terhadap REDD+ oleh Samdhana Institute.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours