Skema REDD+ dan Upaya Mendorong Pengakuan Wilayah Adat di Enggano

Masyarakat Adat Enggano melakukan penanaman di Hutan Adat. (AMAN Bengkulu)


Kesiapan Masyarakat Adat untuk mensikapi prubahan iklim melalui usaha migitasi dan adaptasi adalah hal yang mutlak untuk dilakukan, bukan hanya pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui usaha yang selama ini mereka lakukan, tetapi juga mengikuti dan menilai segala peluang dan ancaman dari skema skema REDD+ yang ada. Hal ini untuk memastikan ketika REDD+ yang dirancang dalam konvensi konvensi internasional masuk dalam tahap implementasi , masyarakat adat tidak tertutup aksesnya terhadap sumber daya hutan yang ada di wilayah adat mereka. Terutama wilayah-wilayah yang bersinggungan langsung dengan kawasan-kawasan yang memiliki fungsi lindung dan konservasi, seperti taman nasional dan hutan lindung.

Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu tempat dimana Masyarakat Adat Enggano tinggal, terdapat beberapa kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan No. 420/kpts.II/1999 tentang penunjukan kawasan hutan di propinsi Bengkulu. Skema REDD+ hendaknya bisa menjadi salah satu strategi untuk mendorong proses pengakuan wilayah masyarakat adat ini. Apalagi didukung putusan MK No 35/PUU-X/2012, UU No. 6/2014 tentang desa, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 52/2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang mengatur status, kelembagaan dan tata cara pengakuan masyarakat adat.

Untuk mendorong upaya pengakuan wilayah masyarakat adat Enggano, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu sejak Mei hingga Agustus 2015 lalu telah menyusun dan mendokumentasikan kearifan lokal, sosial budaya, aturan pengelolaan sumber daya alam dan lembaga adat Enggano. Kegiatan ini melibatkan kepala suku, kepala pintu suku, pemerintahan desa dan pihak kantor kecamatan Enggano.

Seminar dan lokakarya (semiloka) pengetahuan lokal Masyarakat Adat Enggano terkait pengelolaan sumber daya alam Enggano, dilaksanakan tanggal 22-23 Mei 2015 di kota Bengkulu. Informasi peta wilayah adat dan dokumen-dokumen (hukum adat, sejarah masyarakat adat dan lainnya) disampaikan untuk mendapatkan dukungan publik secara luas bahwa apa yang mereka secara turun temurun adalah suatu usaha mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dengan ara melindungi dan mengelola hutan secara lestari yang saat ini sering disebut sebagai REDD+. Hadir dalam semiloka perwakilan jurnalis (AJI), NGO di Bengkulu, Akademisi Universitas Bengkulu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Camat Enggano, Kepala Desa Meok, Yayasan Karya Enggano dan Seluruh Kepala Suku dan Kepala Pintu lembaga adat Enggano.

Semiloka ini merekomendasikan strategi dari berbagai pihak untuk mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Enggano, dilanjutkan dengan melengkapi data dan informasi yang berkaitan dengan wilayah adatnya beberapa hari musyawarah adat tersebut.

Pulau Enggano saat ini di bagi dalam beberapa fungsi kawasan hutan, yaitu hutan konservasi dan hutan produksi. Hutan konservasi yang terdiri dari hutan lindung dan cagaralam seluas 1.810,57 Ha dan hutan Produksi seluas 2.191,78 Ha. Serta Taman Buru Gunung Nanu’ua berdasarkan surat Mentri Pertanian No; 741/Kpts/Um/II/1978 ditetapkan seluas 10.000 Ha kemudian ubah menjadi 7.271 Ha dalam SK No. 420/kpts.II/1999. Sedangkan masyarakat adat Enggano terdiri 5 suku yang tersebar di 6 desa.

Masyarakat Pulau Enggano merupakan masyarakat yang kaya akan sistem adat yang masih kuat dan memiliki kearifan budaya dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan. Sistem Pengelolana SDA di Pulau Enggano dikelola secara adat oleh masyarakat Pulau Enggano melalui sistem kaudar. wilayah adat (hak suku) yang disebut Kaudar diterjemahkan menurut mereka adalah wilayah dimana terdapat pemukiman atau kampung, kebun atau ladang serta pekarangan yang wilayahnya dihitung dari garis pantai sampai kedataran sejauh 3 km, selebihnya merupakan tanah ulayat yang disebut Dopo Kihabuiyaika.

Di Pulau Enggano terdapat sistem konservasi hutan adat yang bernama keramat Hium Koek dan larangan larangan adat yang sangat kondusif dengan usaha-usaha pelestarian hutan sehingga menjadikan hutan di Pulau Enggano adalah Hutan Primer yang masih asli.

Sumber : diolah dan dikutip dari Laporan Kegiatan “Kesiap siagaan dini Masyarakat Adat Enggano dalam merespon agenda mitigasi perubahan iklim melalui penguatan kearifan lokal dalam pengelolaan SDA pulau Enggano, Bengkulu Utara, Bengkulu, AMAN Bengkulu-2015.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours