Dampak SVLK bagi Ekonomi Masyarakat

Hadir dalam Seminar  “Kehutanan Masyarakat dan Tantangn Pasar Global” yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di Hotel The Peoncer, pada tanggal  7 – 8 September 2011 menyimak soal  Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan VPA (Voluntary Partnership Agreement).

Sis­tem ver­i­fikasi legal­i­tas kayu (SVLK) meru­pakan sis­tem pela­cakan yang dis­usun secara mul­ti­stake­holder untuk memas­tikan legal­i­tas sum­ber kayu yang beredar dan diperda­gangkan di Indone­sia. Sis­tem ver­i­fikasi legal­i­tas kayu dikem­bangkan untuk men­dorong imple­men­tasi per­at­u­ran pemer­in­tah yang berlaku terkait perda­gan­gan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.

SVLK ini dikembangkan melalui proses multi pihak dan diatur dalam Permenhut No. P 38/Menhut/2009. Dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 20  tahun 2008.   VPA adalah perjanjian kemitraan sukarela antara negara penghasil kayu dengan Uni Eropa dalam memberantas pembalakan liar dan perdagangan hasil hutal ilegal. Tujuan VPA menekan masuknya kayu ilegal ke pasar Eropa.

Mengapa dengan Uni Eropa?  Menurut Ir. Harry Santosa, Indonesia ingin memperoleh nilai tambah dan pengakuaan bahwa SVLK merupakan sistem yang layak dipercaya untuk membuktikan legalitas.

Sedangkan Diah Raharjo menyinggung alasan perlunya SVLK, diantaranya, untuk mempromosikan kayu legal, pemasok negara produsen, termasuk isu sertifikasi sebagai komitmen dari kita semua untuk tata kelola kehutanan. Juga mendorong swasta untuk menyediakan kayu legal.

Suwondo dari Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Wonosobo (dengan luas wilayah hutan 98.403 hektar, total hutan rakyat 18.982 hektar, dan pemilik Hutan Rakyat itu 40%) bercerita, awalnya dia tidak tahu tentang SVLK, Lalu dibantu oleh Dinas Kehutanan dan LSM. Peta yang digunakan pun Peta Departemen Kehutanan.

Secara ekonomi manfaat belum mereka rasakan dan  Asosiasi Petani HR di Wonosobo belum mengalami penjualan kayu setelah SVLK, tetapi sudah ada tawaran harga Rp. 900.000,-  per m3, lebih tinggi dari harga biasanya Rp 600.000,-  per m3. Belum ada kesepakatan, masih menunggu hasil pendampingan yang diharapakan: bagaimana caranya petani mendapat manfaat secara nyata untuk urusan perut, dari pada urusan memenuhi kebutuhan industri kayu.

Sementara Koperasi Komlog Girimukti Wanatirta, Lampung , selama satu tahun tidak jebol untuk  sosialisasi di 5 kampung. Kegiatannya belajar ke Kulonprogo dibantu oleh Telapak. Di Register 39. Tahun 2008 harga tegakkan kayu jenis Sengon Rp. 50.000 – Rp. 100.000, pertengahan 2010  harganya meningkat hingga saat ini menjadi Rp. 250.000 – Rp. 400.000 per batang (0,75-1,0 m3) setelah ada SVLK.

SVLK telah mendorong petani Hutan Rakyat di Wonosobo membentuk asosiasi; petani HKm Girimukti Wanatirta Lampung Tengah membentuk koperasi. Upaya penguatan kelembagaan lokal sedang terjadi. SVLK telah mendorong penguatan administrasi dan manajemen: penyediaan dokumen-dokumen (pemilikan lahan, peta, batas lahan, dll).(Irma Dana)

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours