Peningkatan kapasitas dan peran perempuan di Desa. Foto : Anggit | Samdhana
Indonesia telah melangkah pada tonggak sejarah baru, salah satuya ditandai dengan lahirnya Undang Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Kebijakan ini mengandung cara pandang baru yang menegaskan bahwa desa bukan sekadar wilayah administratif semata. Namun desa merupakan “negara kecil” yang mempunyai wilayah, kekuasaan, pemerintahan, institusi lokal, penduduk, tanah, dan sumberdaya ekonomi. Cara pandang baru ini memberi harapan dan peluang terhadap visi pembaharuan desa menuju perubahan yang jauh lebih besar dan lebih baik daripada sebelumnya
Dalam UU ini pula secara eksplisit terdapat satu bentuk pengakuan masyarakat hukum adat. Terbuka pilihan untuk menjadi Desa Adat yang secara tak langsung juga mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Begitu pun bagi perempuan, dimana kebijakan ini dapat menjadi momentum bagi perempuan di desa untuk mengoptimalkan perannya dalam rangka mengubah posisinya dari obyek menjadi subyek pembangunan di desa. Seperti diketahui bahwa selama ini perempuan selalu mengalami peminggiran hak-haknya dalam keseharian. Momentum ini dapat menjadi pintu masuk untuk pembenahan relasi gender dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan latar belakang pemikiran ini maka Perhimpunan KARSA melibatkan diri dalam upaya penguatan peran perempuan untuk mengisi ruang-ruang pengambilan keputusan strategis di tingkat desa. Sebagaimana kegiatan yang dilakukan sejak awal 2015 di Poso – Sulawesi Tengah, Kutai Barat dan Mahakam Ulu- Kalimantan Timur serta Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Lokasi kegiatan dipilih dengan pertimbangan keberadaan organisasi perempuan yang telah bergerak (Institut Mosintuwu di Sulawesi Tengah, Nurani Perempuan di Kalimantan Timur serta Lembaga Dayak Panarung di Kalimantan Tengah), juga mempertimbangkan bahwa Desa Adat akan menjadi pilihan mereka ke depan dalam menyikapi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Di wilayah tersebut dilakukan kegiatan yang diawali dengan memahami filosofi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta PP turunannya, termasuk di dalamnya terkait perencanaan dan penganggarannya. Selain itu dilakukan rangkaian kegiatan terkait penguatan peran perempuan untuk dapat mengambil kepemimpinan mengisi ruang dalam pengambil keputusan strategis di Desa seperti dalam Pemerintahan Desa, BPD (Badan Permusyawaratan Desa), maupun untuk membangun kelompok sosial atau kelompok belajar di tingkat desa. Tidak kalah penting juga, di desa terkait dibangun Sistem Informasi Desa (SID) yang berperspektif gender, sebahai bahan utama dalam penyusunan rencana program dan anggaran di desa. Dengan sistem informasi dan analisis tersebut, maka permasalahan perempuan dapat diperjuangkan menjadi agenda strategis dalam RPJMDesa dan APBDesa. Karena, seperti diketahui dengan kebijakan ini musyawarah desa menjadi arena baru warga desa untuk memanfaatkan sumberdaya keuangan desa dan sumberdaya lainnya. Hal ini lah yang dijadikan kendaraan bagi perempuan dalam rangka menuju perubahan kehidupan yang lebih baik dan berkeadilan bagi perempuan dan anak.
Capaian dan Pelajaran Penting
Sekian lama perempuan ditempatkan pada ruang privat, minim ruang untuk berkumpul dan mendiskusikan isu “publik”. Kesempatan yang diberikan kepada perempuan telah dikotakkan pada isu rumah tangga dalam bungkus PKK, Posyandu, dan sejenisnya. Sementara banyak perempuan yang memiliki potensi dan hasrat untuk mendiskusikan hal lain seperti tentang “Desa” itu sendiri.
Pengalaman di Pulang Pisau misalnya, di awal banyak perempuan yang minder untuk berbicara bahkan menutup mukanya ketika diminta berbicara. Ketika keyakinan diri tiap peserta sudah berhasil dibangun, sangat sulit meminta mereka untuk berhenti berbicara. Lahir berbagai ide menarik dan orisinal dari perempuan untuk perempuan. Seperti di Poso, lahir inisiatif untuk menyusun Perda Partisipasi Perempuan, sehingga ada jaminan legalitas bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, utamanya di desa.
Di Desa, perempuan dianggap tidak mampu mentransfer apa yang diperoleh kepada aparat desa. Anggapan ini masih muncul dari aparat desa, kecamatan dan lainnya, yang mayoritas laki-laki. Mereka secara eksplisit menyatakan bahwa yang seharusnya mendapatkan pelatihan atau pendampingan terkait hal ini adalah aparat desa. Tanpa keterlibatan perempuan, maka partisipasi masyarakat tidak akan optimal, sehingga pembangunan desa juga tidak akan berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Namun dengan kegiatan ini, diakui bahwa anggapan tersebut terpatahkan.
Dari upaya kecil ini, diharapkan perempuan lebih memainkan peran sebagai aktor untuk menggerakkan serta mensinergikan aktor-aktor lain di lapangan sekaligus mengendalikan tantangan serta potensi ancaman di lapangan. Sehingga implementasi UU ini secara optimal dapat dilakukan dan melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat hukum adat, utamanya perempuan adat yang hidup di desa.
+ There are no comments
Add yours