Penyelamatan Ruang Hidup dan Penghidupan di Teluk Banten

Udin ketua Kelompok Pecinta Alam dan Pesisir Pulau Dua menunjukkan bibit mangrove tanaman kelompoknya. Foto : Dhika|Samdhana

Mentari pagi beranjak tinggi dan semakin menyengat saat kami tiba di Teluk Banten, di sederetan saung yang menyajikan pecak Bandeng khas Kasemen. Sebelum bertambah terik, kami langsung berjalan menuju tambak dan lokasi penanaman mangrove di sekitar Cagar Alam Pulau Dua, Desa Sawah Luhur, Serang. Disana kami belajar melindungi pantai dari abrasi, sekaligus menyediakan ruang ekonomi masyarakat dan keberlanjutan hidupan liar.

Urip, staff Wetland International Indonesia Programme (WIIP) yang mendampingi masyakat Sawah Luhur, mengajak kami ke tambak lokasi penanaman mangrove. Tambak di sekitar cagar alam tersebut dianggap sebagai lokasi penting bagi hidupan liar, khususnya mangrove dan burung pantai.

Sampai di lokasi kami bertemu Udin, masyarakat Sawah Luhur yang telah menanami bermacam jenis mangrove sejak tahun 2009. Udin memimpin anggotanya yang berjumlah 30 orang dalam Kelompok Pecinta Alam dan Pesisir Pulau Dua (KPAPPD). Udin mengatakan, kelompoknya bersama WIIP telah menanami mangrove seluas 25 hektar di lahan milik masyarakat yang sekaligus berfungsi sebagai tambak.

Meraup untung dari mangrove dan tambak

Warga meyakini tanaman mangrove mendukung usaha budidaya ikan. Buktinya, ikan lebih mudah dibudidayakan melalui metode silvo-fishery di sela tumbuhan mangrove.Hasilnya setiap dua hektar tambak, kurun waktu tiga bulan, warga bisa memanen sekitar 100 kilo ikan. Jika dirupiahkan mencapai tiga jutaan, tergantung harga pasar. Warga juga masih bisa meraup untung tambahan dari udang liar sekira 60 ribu per harinya, dengan asumsi hasil panen antara 2-3 kilo.

Kelompok warga juga menyewakan tambak sebagai sarana pemancingan. Tambak pemancingan tersebut dilengkapi enam buah pondokan untuk tempat berteduh.

β€œPer orangnya dikutip Rp. 30.000, sebagai biaya masuk untuk memancing seharian penuh. Hasil tangkapannya, tergantung peruntungan si pemancing,” ujar Udin sambil terkekeh.

Hasil dari Mangrove juga lumayan, sambung Udin. Ia dan kelompoknya yang membibitkan beragam jenis mangrove juga menjualnya. Per batang, harganya sekira dua ribu rupiah saja. Sengaja tak dijual mahal. Maklum, pembelinya kebanyakan bertujuan sama, untuk merehabilitasi kawasan pesisir, lanjutnya.

Para petambak terdahulu, yang umumnya bermodal besar, menggunakan pakan jadi serta obat berbahan kimia secara massif. Praktik itu kemudian berakhir. Karena maraknya serangan hama pada ikan/udang yang dibudidayakan, kata Urip. Selain itu, masuknya air laut ke daratan membuat kadar garam tambak terlalu tinggi untuk udang dan ikan dapat hidup. Masuknya air laut bahkan mempengaruhi wilayah pemukiman hingga seringkali kesulitan air tawar, tambah Urip.

Mengurangi lahan asin dan memberi ruang hidup

Menanam mangrove membantu mengurangi kadar garam di tambak. Dampaknya, tak cuma masyarakat yang diuntungkan, berbagai burung liar pun berdatangan mencari makan dan berbiak. Ini yang kami sebut sebagai Green Belt, kata Urip. Menjaga pulau dari kikisan air laut sekaligus menahan laju sedimentasi dari darat.

Padahal lahan payau yang ditanami warga tersebut semula terlantar. Udin dan kelompoknya bersama WIIP menyewa lahan milik tersebut untuk dijadikan tambak dan ditanami mangrove. Lahan tersebut diterlantarkan pemiliknya karena memiliki kadar garam tinggi, hingga sulit dimanfaatkan untuk budidaya, kata Udin. Akibat masuknya air laut ke daratan, diperkirakan 511 hektar lahan rusak, tambah Urip.

Lahan rusak tersebut, disewa kelompok masyarakat bersama WIIP setiap kurun 2 tahun, dengan ikatan perjanjian agar tanaman mangrove dibiarkan selama 15 tahun.

Yoyok, staff WIIP yang datang bersama kami dari Jakarta menambahkan, kelompok warga dengan dukungan lembaganya juga telah mulai menghitung cadangan karbon di wilayah tambak. Ke depan Yoyok bahkan berencana untuk meraup untung dari jasa lingkungan tersebut. (Andhika Vega)

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours