Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Agroforestry Berbasis Masyarakat di TN Meru Betiri

Program atau kegiatan yang dilaksanakan secara partisipatif dapat mempermudah dan memperlancar pelaksanaan kegiatan. Demikian halnya yang dilakukan kelompok petani Mekarsari di Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember. Kelompok petani ini bersama 17 kelompok lain yang terhimpun dalam Jaringan Kelompok Tani Rehabilitasi (Jaketresi) mengelola zona rehabilitasi Taman Nasional (TN) Meru Betiri Jember, Jawa Timur. Kelompok petani ini juga melibatkan pengelola TN Meru Betiri, pada pelaksanaan teknisnya.

Kegiatan di zona rehabilitasi melalui pengembangan model agroforestry berbasis masyarakat bertujuan meningkatkan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, sehingga kawasan TN Meru Betiri dijaga masyarakat dari deforestasi dan degradasi untuk meningkatkan stok karbon.

Pengelola TN Meru Betiri memberikan apresiasi dan mendukung pengembangan model ini. Jenis yang ditanam adalah usulan petani, maka tiada alasan untuk tidak menjaga dan merawat tanaman. Selama ini saat menerima bantuan bibit dari TN Meru Betiri atau instansi lainnya, petani hanya diberi informasi lokasi pengambilan bibit saja dan jenis bibit yang diperbantukan bukan usulan petani. Kini petani dapat membedakan antara proses pembibitan yang dikelola secara bersama-sama dan partisipatif dengan bantuan bibit tanpa pengelolaan yang baik.

Pengembangan model/demplot agroforestry dilakukan di lahan 10 hektar di Desa Curahnongko oleh Kelompok Mekarsari dengan jumlah anggota sebanyak 60 orang. Kelompok Mekarsari dibantu 4 orang ketua Kelompok yang tergabung dalam ‘Jaketresi’, dipilih sesuai kriteria yang disepakati.

Model agroforestry ini juga sekaligus sebagai media ujicoba pemberian insentif sebagai kompensasi atas pemanfaatan jasa lingkungan karbon dengan skema Plan Vivo (Payment for Enviromental Services (PES)). Di lahan seluas 10 hektar ini ditanami 3000 bibit dengan 6 jenis tanaman pilihan petani yaitu, petai, alpokat, duren, kedawung jengkol dan nangka. Tanaman ini dipilih dengan pertimbangan memiliki nilai ekonomi dan konservasi, mudah didapat untuk proses pembibitan.

“Sebelum proses penanaman telah dilakukan serangkaian kegiatan mulai seleksi petani peserta program, seleksi jenis tanaman, penentuan lokasi, pembelajaran pembibitan dan adanya monitoring, evaluasi dan verifikasi serta pendampingan. Apabila tahapan-tahapan ini juga diterapkan oleh semua lini instansi saat mengadakan penanaman untuk merespon adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, maka kemungkinan tingkat pertumbuhan tanamannya juga bisa berkembang dengan baik,” jelas Nurhadi, Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), lembaga yang mendampingi pengembangan PES Trial di kawasan ini.

Pengembangan model PES Trial telah memberikan pendekatan baru terhadap motivasi masyarakat melakukan penanaman. Tidak hanya menginginkan buah dari pohon yang ditanam, tapi juga menginginkan optimalisasi produksi dan serapan karbon yang terdapat dalam tanaman, sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan lingkungan. Dalam konteks ini, petani tidak sekadar menanam. Penanaman harus tepat pada musim penghujan sehingga tanah siap menerima akar dan menjamin pertumbuhan dengan baik.

Untuk pembibitan petani juga menyepakati kriteria lokasi pembagian bibit dipilih pada tempat yang strategis dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Melakukan pengemasan bibit, penulisan nama, tanda tangan dan cap jempol sebagai bukti otentik bahwa mereka telah mengambil jatah bibit dan dapat dijadikan rujukan monitoring. Melakukan pertemuan kelompok bersama petugas 4 hari sebelum pembagian bibit dilakukan. Pertemuan dilakukan bersama-sama dengan kelompok dimana jatah mereka berada dalam lokasi pembibitan bibit telah ditetapkan. Pertemuan tersebut mensosialisasikan cara dan metode bibit cepat terbagi dan ditanam di lahan rehabilitasi.

Terkait pemberian insentif petani sebagai implementasi ‘PES Trial’, tersedia dana Rp 3000 per-bibit dan diberikan setelah verifikasi 2 bulan setelah penanaman. Diusulkan oleh petani insentif diberikan 2 tahap. Pertama, saat penanaman, dengan nominal Rp 1000 per-bibit dan Kedua, setelah dilakukan verifikasi tanaman yang hidup di lahan, dengan nominal Rp 2000.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours