Mengabarkan Cerita dari Pesisir Sungai Jambat

Berfoto bersama setelah berlatih membuat tulisan tentang kampung dan keseharian penghidupan mereka. (SAMDHANA/Anggit)


Oleh Anggit Saranta

Tak mudah meyakinkan orang untuk menuliskan kebanggaan tentang kampungnya. Setidaknya itulah yang saya temui dalam 2 hari (4-5 November 2014), mengajak 10 warga dari desa Sungai Jambat, Sungai Sayang, Remau Bako Tuo, Sungai Cemara dan Sungai Itik. Perlu usaha keras, karena saya bukan bagian keseharian mereka. Perlu 7 jam dari kota Jambi untuk sampai ke desa pesisir kecamatan Sadu, Tanjung Jabung Timur, Jambi ini.

Menulis cerita kampung menjadi hal baru diluar rutinitas mereka sebagai petani padi, kopra, nelayan belat, nelayan jaring dan pedagang. Saya harus memulai dengan kisah sukses kampung atau desa yang berubah karena mengunggah kisah kampungnya ke media populer seperti internet. Membongkar dan membuktikan bahwa menulis itu tidak sulit, meyakinkan bahwa dengan menulis sesungguhnya mensejajarkan mereka dengan budaya intelektual.

Hasil dari proses itu baru nampak setelah dihitung-hitung dalam 2 hari itu ada 17 tulisan tentang kampungnya. Barulah tumbuh kepercayaan diri, meyakini dari tulisan yang mereka tulis sendiri dan dibaca orang, bisa mendorong perubahan di kampungnya. Sebagaimana penuturan satu dari 10 peserta kegiatan Menulis Kisah Kampung yang difasilitasi Perkumpulan Gita Buana Jambi bersama Samdhana Institute Bogor.

Selama ini warga desa sungai Jambat dan sekitarnya sebagian besar belum pernah mengikuti kegiatan menulis dan mempraktekannya. Menurut Ibu Erlina (37), warga Sungai Jambat, dulu pernah mengikuti kegiatan serupa namun jarang mempraktekannya.

“Menurut saya ini bagus kalau diteruskan dan tidak berhenti. Kami perlu dimotivasi agar bisa menghasilkan tulisan dan dibaca di Internet, apalagi desa kami banyak potensi dan kegiatan yang bisa disampaikan”, jelas Ibu 1 anak yang berprofesi sebagai pengajar PAUD ini.

Kegiatan yang dipusatkan di Camp Gita Buana-Sungai Jambat merupakan bagian penguatan kapasitas mitra pada program Ecosystem Alliance di Indonesia. Erlina, Rosnaini, Henri, Marlina, Wati, Gusti, Erlina Ahmad, Agustian, Uus, Maspen dan Nani adalah peserta kegiatan ini.

Ibu Nani dari Sungai Jambat mengamini pernyataan rekannya. Menurutnya kegiatan ini bisa membantu mempromosikan berbagai hasil produksi Sungai Jambat, karena di Sungai Jambat tidak hanya kelapa dan buah pinang.

“Kami juga memproduksi sirup rosella yang kaya manfaatnya, sayangnya tak banyak diketahui orang kalau tidak pameran di propinsi,” terang ibu yang juga istri Sekretaris Desa.

Wilayah 5 desa ini terletak dipesisir dan berbatasan dengan Selat Malaka. yang menjadi alasan kenapa leluhur di 5 desa ini sebagian besar adalah pendatang dari Sulawesi (Bugis). Sebagian besar warga desa-desa di kecamatan Sadu hidup sebagai petani padi, kopra, nelayan belat, nelayan jaring dan pedagang.

Pekerjaan alternatif lain yang dilakukan kaum perempuan di Sadu adalah ‘mendolar’, yaitu kegiatan mengolah pohon pinang dari orang lain dengan sistem upah. Menurut Wati (39), warga Sungai Jambat. Desanya memiliki banyak potensi pinang, kelapa, sawit dan pisang. Namun yang sering di-upahkan adalah pinang.

“Kerjaannya tidak terlalu berat, karena laki-laki, perempuan dan anak-anak bisa melakukannya. Upahnya Rp. 50.000 per kilonya”, katanya.

Wati juga menambahkan dari kegiatan latihan menulis dirinya memiliki keberanian untuk menumpahkan pendapatnya.

Ada yang menarik dan menjadi catatan penting. Ibu Erlina dan Ibu Wati adalah 2 dari 10 peserta yang berhasil dengan jujur mau menuliskan pengalaman hidupnya tinggal di Sungai Jambat. Keduanya berusaha keras menulis dan membacakannya didepan peserta lain. Cerita sedih berhasil mereka tuturkan dengan tetesan air mata. Mereka sendiri tak percaya, dari tulis menulis secara sederhana ini ternyata bisa membuat suasana haru.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours