Menulis Kisah Kampung, Catatan Dokumentasi dari Air Naningan

Peserta kegiatan menulis kisah kampung terlihat serius menuangkan cerita pengalamannya kedalam tulisan. (SAMDHANA/Anggit)


Cerita tentang suatu kegiatan, sejatinya cerita mengalir yang bisa mengajak pembacanya memahami kegiatan yang sedang berjalan. Pembaca diajak untuk paham konteks persoalan yang dihadapi dan bagaimana solusi menanggapi tantangan tersebut. Boleh jadi si pembaca akan terinspirasi dan memberi dukungan keberlanjutan kegiatan melalui feedback yang akan dia sampaikan.

Terkait dengan hal ini, Samdhana mengajak mitra-mitranya untuk menuliskan kisah dari kampung. Penekanan kegiatan ini adalah mencoba mengubah kebiasaan bercerita lisan yang dicoba diceritakan, ke dalam bentuk tulisan atau gambar.

Kegiatan ini mencoba tidak terpaku pada kaidah menulis sebagaimana sebuah laporan kegiatan. Kegiatan menulis kisah dari kampung adalah upaya untuk menyadarkan kita semua atas kerumitan menulis sebuah cerita kegiatan, dan berusaha mencari jalan keluarnya.

Seperti halnya yang dilakukan 18 orang yang terdiri dari 13 warga desa Air Naningan dan 5 orang staff Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS) Lampung. Mereka dengan santai menikmati proses kegiatan belajar dan berlatih bersama Menulis Kisah Kampung. Kegiatan ini dilaksanakan 10-14 Okteober 2014 di Pekon (desa) Talang 20 kecamatan Air Naningan kabupaten Tanggamus, Lampung.

Meski segi usia memang beragam, yaitu antara 19-65 tahun. Umumnya warga yang terlibat merupakan anggota Koperasi Tirto Kencono yang secara resmi baru didirikan Februari 2014 lalu.

“Sebelumnya saya itu tidak pandai menulis, baru bisa-bisa saja. Baru sekarang saya merasakan menulis itu penting juga untuk kedepannya. Saya bisa ceritakan dusun saya sama anak cucu nanti,” kata Mbah Sangkrah (65), warga dusun Talang 7, peserta kegiatan yang juga pendiri Koperasi Tirto Kencono.

Mbah Sangkrah datang ke Lampung tahun 1983, ia merantau dari Gunung Kidul Yogyakarta. Kebun yang dimilikinya saat ini tadinya tanah orang yang berhasil dibelinya pada 1986, setelah 3 tahun mengolah lahan dan bagi hasil. Dengan kegigihannya Mbah Sangkrah berhasil mengolah semak belukar menjadi lahan yang bisa menghasilkan.

Dari kegiatan Menulis Kisah Kampung Mbah Sangkrah berhasil mendokumentasikan perjalanan hidupnya kedalam sebuah catatan singkat. Termasuk cerita 0,5 ha tanahnya yang terkena dampak bendungan Batu Tegi pada tahun 1987. Uang ganti rugi sebesar Rp. 50 ribu kemudian dibelikan tanah 0.25 ha. Mbah Sangkrah juga menyaksikan proses tenggelamnya lahan miliknya dan sebagian warga Air Naningan tahun 1993, saat Batu Tegi mulai dibendung dan diresmikan 10 tahun kemudian oleh Presiden Megawati.

“Tahun 2004 kami bikin perahu 3 buah. Jadi kalau ke kebun harus menyeberang pakai perahu. Setiap hari saya bersama 7 orang lain ke kebun bersama-sama karena tidak semua bisa mendayung,” tulis Mbah Sangkrah.

Pendapat serupa diutarakan Alfian Ahmad pemuda 19 tahun dari Desa Talang 20, mantan karyawan perusahaan IT di Palembang yang kemudian memilih pulang kampung untuk berkebun. Menurutnya banyak potensi dan kekayaan Air Naningan yang bisa dikelola dan dikemas lebih baik. Infrastruktur yang dulu tertinggal kini perlahan mulai berbenah dan berdampak pada perbaikan ekonomi masyarakat.

Keberadaan bendungan Batu Tegi untuk wisata dan pembangkit listrik, hasil pertanian kopi, lada, cengkeh, pisang, kelapa dan lainnya.

“Melalui tulisan, apa yang kita miliki, bisa memunculkan banyak peluang. Mulai wisata Curug Tujuh sampai kopi kemasan”, kata Alfian.

Dalam pelaksanaan Menulis Kisah Kampung peserta dibagi dalam dua kelompok diskusi, yaitu kelompok yang pernah berperan langsung dengan kegiatan EA (Ecosystem Alliance) di Air Naningan yang menuliskan kondisi kelembagaan kelompok tani dan koperasi Tirto Kencono. Kelompok berikutnya memberikan latar belakang kontekstual kondisi Air Naningan secara umum, potensi dan hambatannya. Total ada 31 artikel yang berhasil ditulis peserta kegiatan yang kemudian diunggah ke blog EA Indonesia.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours