Sumber Kehidupan Melimpah dari Bumi Pattalasang

Oleh : Ita Natalia (Catatan kunjungan ke Komunitas Adat Pattalasang di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 14-17 April 2014)

Dini hari tanggal 14 April itu, kami menembus pagi dengan penerbangan pertama menuju Makkasar Sulawesi Selatan dengan tujuan Pattalasang, sebuah dusun yang dalam struktur administrasi berada di Desa Pao, kecamatan Tambolopao Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan.

Lebih kurang 4 jam perjalanan dari Makasar dengan kendaraan roda 4 untuk sampai ke ibukota desa Pao. Kami (Samdhana) beristirahat sejenak di kediaman kepala Desa Pao, bapak Nadjamudin, berbincang sejenak mengenai tujuan kunjungan dan sedikit diskusi mengenai pengembangan usaha ternak sapi di desa dan rencana kepala desa untuk belajar banyak mengenai inseminasi buatan untuk ternak sapinya yang dianggap lebih memberikan keuntungan secara ekonomi dibandingkan dengan sapi non inseminasi/berternak secara biasa. Kami ditemani Muhlis Paraja, seorang penggerak komunitas, dan mendapat kehormatan disupiri oleh Bapak kepala desanya. Kemudian menuju kampung dengan jeep tua satu-satunya tetapi tangguh yang dimiliki oleh komunitas Pattalasang, bantuan program pengembangan ekonomi AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

Hari masih sore ketika kami tiba di pusat kampung setelah menempuh perjalanan berkelok-kelok dipunggung gunung dan tebing jurang. Jalur yang cukup memicu adrenalin untuk tabah dan ‘brani mati’ jika melihat dan merasakan langsung perjalanan kali ini. Berkat penyertaan Tuhan kami tiba dengan selamat. Rumah yang dituju adalah rumah salah satu kerabat penggerak komunitas yang baru saja di dirikan secara gotongroyong beberapa waktu sebelumnya. Di samping rumah tinggal terdapat sebuah rumah panggung terbuka yang di kenal sebagai Baruga oleh masyarakat di sana, tempat di mana anak-anak usia dini belajar dan orang-orang dewasa berkumpul untuk memusyawarahkan kerja-kerja pembangunan kampung secara bersama-sama. Di sekitar Baruga sedang dibangun sebuah rumah pengeringan benih sederhana, hasil swadaya masyarakat dibantu oleh seorang tenaga relawan ahli bernama Nurhaji Madjid, kami biasa menyapanya Aji.

Eloknya pemandangan dari atas Baruga dan sejuknya udara serta keramahan tuan rumah menutup hari pertama di Pattalasang dengan senyum puas dan bahagia tak terkira.

Hari kedua, setelah ‘berjuang’ untuk bisa terlelap dalam dinginnya udara di malam hari, udara pagi Pattalasang yang segar menyambut kami dengan cerahnya. Sejauh mata memandang adalah tanah yang tergarap untuk pertanian hortikultura teruma padi dan dan tanaman sayur (dominan kami melihat adalah tanaman tomat). Buahnya besar-besar dan padinya tumbuh subur. Dari cerita saudara Muhlis Paraja, sebagian kebun masih menggunakan pupuk anorganik untuk tanaman pertaniannya. Hasil penjualan yang di dapat petani dari bertanam ini relative kecil karena sebagian terpotong untuk pembelian pupuk. Tantangan inilah yang menjadi dorongan kuat bagi para penggerak kampung untuk mengubah pola pertanian komunitasnya yang mulai mengarah menuju pertanian organik.

Setelah sarapan pagi yang bersahaja, kami berkeliling kampung menyusuri pematang sawah dan tepi sungai. Sumber air berlimpah, dan sebagian masyarakatnya sudah memanfaatkan sumber air ini menjadi pembangkit listrik skala kecil atau dikenal dengan Pikohidro. Setidaknya ada 6 titik sumber air yang dimanfaatkan komunitas untuk sumber penerangan/listrik dengan masing-masing titik beranggotakan 6-7 anggota keluarga/rumah.

Salah satu tempat yang sempat kami kunjungi pikohidronya sedang mengalami kerusakan karena derasnya aliran air setelah hujan tadi malam, kelihatannya perlu perbaikan yang cukup serius. Tantangan yang masih di hadapi masyarakat untuk listrik ini adalah belum adanya alat untuk mengukur kekuatan arus listrik sehingga berakibat pada rusaknya sebagian alat elektronik rumah tangga yang mereka gunakan seperti televisi, kulkas dan radio.

Dari pematang sawah dengan pemandangan alam yang luar biasa indahnya dan gunung Bawakaraeng yang berdiri kokoh di kejauhan, kami menyusuri jalan kampung yang di bangun secara swadaya oleh masyarakat bertahun-tahun lamanya. Jalan itu dibangun dengan menggunakan peralatan seadanya seperti cangkul dan linggis, tidak ada alat berat yang membantu membelah bukit dan menyingkirkan batu-batu besar, tetapi semangat gotong-royongnya boleh diacungi dua jempol. Di bawah kepemimpinan kepala desa saat ini, solidaritas masyarakat benar-benar di dorong untuk membangun kampung sendiri secara bersama. Budaya malu jika tidak terlibat dalam kerja bersama di kampung begitu kuat melekat sehingga tak heran, pembangunan jalan kampong sekitar 20 km dikerjakan sendiri oleh masyarakat. Dikiri kanan jalan tumbuh tanaman bambu dengan suburnya, menurut Mukhlis bambu yang ada belum termanfaatkan dengan optimal oleh masyarakat, karena kurangnya pengetahuan teknik pengawetan bambunya.

Bincang-bincang kami selama perjalanan menyusuri kampong berhenti di rumah pak Salam, salah satu penggerak kampung yang memilih belajar mengenai pertanian organik dan pembuatan pupuk organik. Hasil dari uji coba yang dilakukannya adalah tanaman kacang buncis yang sudah bisa dipanen dan jadi sayur santap siang kami siang hari itu. Sungguh senang melihat upaya yang gigih dan menunjukan hasil dari proses belajar komunitas ini sebelumnya ke Pesantren Ath Thaariq di Garut Jawa Barat beberapa bulan yang lalu. Dalam bincang siang hari kami selesai menyantap makan siang yang disiapkan di dapur sederhananya bu Salam, pak Salam dan pak Salim (ahli tanaman obat yang juga anggota BPD desa Pao ramai bercerita tentang status wilayah mereka menjadi kawasan lindung oleh dinas Kehutanan kabupaten tanpa pernah ada komunikasi memadai mengenai hal ini dengan masyarakat di sana. Sedikit sekali dalam ingatan mereka petugas Jagawana datang ke kampung mereka untuk sekadar mendiskusikan mengapa daerah atas di kampung mereka di tetapkan sebagai kawasan lindung yang berimplikasi pada sulitnya masyarakat mendapatkan bahan baku yang cukup untuk keperluan rumah tangga dan cerita tentang masuknya mereka menjadi anggota AMAN serta implikasi keputusan MK 35 pada wilayah adat mereka. Bincang-bincang jauh berkembang pada pembuatan peraturan desan dan hal-hal lain menyangkut politik lokal dengan hadirnya UUD tahun 2014 yang menjanjikan akan ada dana pembangunan desa sebesar 1 milyar perdesa membuat warna dan persaingan politik di tingkat desa semakin tajam.

Hujan deras tak berhenti siang sampai sore itu, jalanan menjadi licin tetapi tidak menyurutkan langkah anak-anak kecil bersama ibu mereka menuju ke Baruga untuk belajar bersama. Ibu guru Muri dan rekannya secara sukarela mengajarkan anak-anak ini mengenal huruf dan angka serta pengetahuan lain di sekolah sederhana mereka, Sekolah ini mereka namakan Sekolah Rakyat Bowong Langit. Setidaknya tercatat ada 17 anak usia dini yang mengikuti secara aktif proses belajar di sana. Dalam kesederhanaan mereka terlihat semangat ingin tahu dan ingin belajar yang kuat dari anak-anak dan ibu mereka. Sekolah rakyat ini di bangun atas inisiatif masyarakat sendiri dengan dukungan kuat dari penggerak kampung seperti saudara Muhlis dan ibu Muri. Cita-cita mereka untuk membuat sekolah yang beralaskan kearifan komunitas Pattalasang dalam mengelola SDA membutuhkan dukungan yang kuat dari berbagai pihak.

Sore hari itu ditutup dengan kabar yang kurang baik dari Muhlis karena mobil Jeep yang dikemudikan pak Untung mendapat kecelakaan di mulut kampung. Jeepnya terguling dan terbalik di sawah dengan 3 penumpang yang bersyukur berhasil selamat, tetapi pak Untung (yang belum seberuntung namanya) memerlukan pengobatan yang cukup serius karena mengalami robek urat syaraf pada betisnya sehingga harus mendapatkan pertolongan medis di rumah sakit Haji di Makkasar.

Malam harinya, dalam suasana prihatin karena kecelakaan jeep tadi sore, saudara Muhlis Paraja mengadakan selamatan 40 hari menempati rumah barunya, acara sederhana di gelar dan riuh dengan perbincangan berbagai hal termasuk rencana-rencana pengembangan kampung Pattalasang. Terkagum-kagum kami pada semangat dan solidaritas warga kampung yang membantu evakuasi mobil yang terbalik dan sebagian membawa pak Untung dengan tandu untuk turun ke desa. Kurang lebih 100 orang berhasil mengangkat jeep yang dalam kondisi terbalik untuk di simpan dengan rapid i jalan yang cukup rata. Tidak perlu proses panjang menggerakan massa, dengan sendirinya ketika berita tersebar, sebagian warga kampung laki-laki dewasa bergegas turun untuk membantu evakuasi. Sebantar saja setelah maghrib tiba, evakuasi selesai di jalankan.

Hari ketiga. Pagi-pagi sekali kami harus bersiap untuk meninggalkan Pattalasang. Bergegas karena kami harus menempuh perjalanan menuju ibukota desa Pao dengan berjalan kaki. Dalam bayangan kami cukup jauh dan berat, tetapi ternyata tidak juga, waktu tempuh dengan berjalan perlahan sambil mengatur nafas dan menikmati pemandangan alam yang elok tak terasa kurang dari 2 jam kami sudah tiba di ibukota desa Pao. Cerita sepanjang perjalanan tentang bagaimana Muhlis mulai mengajak dan mempengaruhi desa sekitar untuk mengorganisir diri dalam membangun kampong secara mandiri membuat langkah kami tidak terasa berat. Seruan untuk kaum muda terpelajar dari Pattalasang kembali ke kampungnya membangun kampong bersama-sama membuat kami membayangkan masa depan yang penuh semangat bagi desa Pao dan Pattalasang secara khusus. Impian ini menjadi perbincangan yang bernas sepanjang perjalanan kami menuju Makkasar bersama Muhlis dan Arman.

Secara khusus saya mencatat apa yang di lihat di Pattalasang. Tentang bagaimana lanskapnya yang indah, limbah hasil kebun seperti sisa panen sayuran dan sekam padi yang masih memungkinkan dimanfaatkan lebih lanjut. Tentang bagaimana tanaman bambu yang belum dioptimalkan, sumber air sebagai pembangkit listrik (ada 6 pikohidro yang sudah terbangun secara swadaya, ada peluang ‘’ menjual “ listrik kepada PLN sebagai asset ekonomi kampung), potensi sosial dengan semangat gotong royong yang masih tinggi. Juga kemandirian yang kuat membangun infrastruktur kampung, membelah bukit untuk membangun jalan, mendirikan sekolah rakyat yang menjanjikan kemajuan kaum muda, pengembangan tanaman organik dan pemuliaan benih lokal yang mulai berkembang dan di terima sebagian komunitas. Didukung pimpinan desa yang progresif dan mendorong masyarakatnya untuk berkembang. Serta relawan dan fasilitator/tenaga penggerak komunitas yang memiliki visi membangun dan memberdayakan komunitas yang cukup kuat mmbuat masa depan Pattalasang memiliki peluang yang besar untuk berkembang, ,mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara social politik.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours