Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya

Pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara IV (KMAN IV) di Tobelo, Maluku Utara yang berlangsung pada bulan April 2012 lalu, ada 20-an sarasehan dilaksanakan di berbagai tempat di Tobelo; salah satunya adalah Mitos-Mitos Nusantara dan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya.  Para pembicara yang hadir dalam sarasehan ini adalah:  Mari E. Pangestu (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Nano Riantiarno (Sutradara), Rizaldi Siagian (musikus dan etnomusikolog), dan Margaretha Seting (Borneo Chic).

“Indonesia sangat kaya dengan tradisi masyarakat adat-nya.  Ini adalah ‘modal’ ekonomi kreatif dan pariwisata, misal: 1. Borobudur, tidak hanya dilihat Borobudur-nya tetapi juga masyarakat yang masih ada di sekitarnya. 2. Hamparan sawah yang tampak seperti sarang laba-laba bisa dilihat sebagai pembagian lahan yang adil,  di balik keindahan alam ada kearifan lokal, nilainya 10 kali lipat.” Tegas Marie E. Pangestu

Ekonomi kreatif bukan memperdagangkan seni tetapi mempromosikan nilai-nilai yang lebih layak, sambil melestarikan (dalam arti melindungi asal usul seperti apa adanya). Yang kita anggap ekonomi kreatif adalah: bagaimana modal budaya itu ditampilkan dengan atau melalui suatu proses ekspresi (mencari, menggali dan mengekspresikan kembali), dipertunjukkan ke dunia luar di luar masyarakat kita; misal Tari Saman dengan berbagai variasinya, kostumnya dsb. Cara kedua adalah melalui festival, misal festival seni (Asmat, Kamoro), usaha tani. Banyak orang luar memberikan apresiasi.

Dari modal budaya dan ekspresi yang kita lakukan, timbul modal kreatif, dari modal kreatif itu timbul nilai yang kita harapkan terhadap kearifan lokal kita. Dan dari semua itu akan timbul apresiasi. Bahan baku atau masukan utama dari ekonomi kreatif adalah: seni budaya, kearifan lokal, seni tradisi yang ada di masyarakat adat.

Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mempunyai kepentingan untuk bekerjasama dan berhubungan dengan masyarakat adat (sesuai dengan filosofi masyarakat adat: gotong royong), untuk  bersama-sama membangun ekonomi kreatif berbasis seni budaya, yang di dalamnya ada: seni pertunjukan, musik, kerajinan, fashion, ini semua terkait dengan kekayaan yang ada di masyarakat adat.

Ada juga Research and Development atau Penelitian dan Pengembangan, ini tidak harus dilakukan di laboratorium (dengan teknologi tinggi), tapi sangat bisa inovasi atau penelitian yang basisnya adalah kearifan lokal.  Seperti obat-obatan tradisional yang ada di halaman sekitar masyarakat adat, itu juga bisa menjadi basis dari ekonomi kreatif.  Ini akar bagaimana melihat ekonomi kreatif berbasis seni budaya.   Selain itu ada ekonomi kreatif berbasis media, design, dan iptek (inovasi).

“Ekonomi kreatif adalah ekonomi masa depan kita, karena seperti yang sering ditegaskan oleh Bung Abdon: ekonomi yang dominan sekarang adalah ekonomi ekstraktif, menggali sebanyak-banyak mungkin dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.  Sedangkan ekonomi kreatif itu kebalikannya, kita justru ingin membangun dan mengembangkan basis yang sudah ada.  Kalau kita tidak mempertahankan, memenuhi dan mengembangkan basis lingkungan alam, seni budaya masyarakat, tidak memberikan nilai yang layak pada semua ini, akhirnya memang akan hilang, habis.  Bisa saja kita tidak menjadi tuan rumah di negara sendiri, justru kita menjadi orang asing di tanah kita sendiri. Artinya kita tidak mengenal lagi budaya kita atau tradisi kita, kemudian hilang, tidak diteruskan kepada generasi berikutnya.”  Singgung Marie Pangestu tentang ekonomi kreatif.

Mempelajari kembali dan mempertahankan jati diri masyarakat adat adalah roh dari ekonomi kreatif; kembali kepada jati diri bangsa kita adalah kekuatan Indonesia seluruh nusantara yang tidak lekang di persaingan apapun.  Pariwisata itu adalah bisnis kenangan.  Yang paling diingat oleh seorang wisatawan bila mengunjungi suatu tempat bukan keindahan alamnya, bukan bahwa ada candi atau danau yg terbesar di dunia, tetapi pengalaman dan interaksi dia dengan masyarakat setempat.

Indonesia banyak cerita menarik mengenai tradisi masyarakat dan kearifan lokalnya yang masih merupakan tradisi hidup.  Di banyak tempat (di negara lain), mereka harus menghidupkan kembali, me-rekreasi kembali sesuatu yang sudah musnah/punah, ini yang akan dijual.  Di Indonesia, tidak usah melakukan itu karena masih hidup semua; kita tidak perlu ke museum untuk melihat tradisi yg ada.

Tiga hal yang dilakukan Kementrian Parawisatan dan Ekonomi Kreatif:

(1)    perihal kebijakan:  perlindungan HAKI untuk komunal, yang terpetakan dan terdokumentasikan; AMAN juga harus melakukan (atau meneruskan) pendokumentasian, database yang kita miliki harus sudah lengkap, sudah terdokumentasi dengan baik, dan ini bukan masalah masa lalu saja, justru ini adalah bahan baku untuk mencari inspirasi, untuk bahan apapun (bisa untuk teater, fashion).

(2)    fasilitasi dan pemberdayaan:  bagaimana ekspresi tadi, apa yang diperkaya sehingga di dalam masing-masing masyarakat adat itu bisa di-ekspresikan dan dikenal oleh dunia luar, misal melalui festival.  Di dalam ekspresi itu juga ada aspek pemberdayaan dan fasilitasi, memperbaiki tanpa melupakan asal-usulnya.

(3)    inkubasi:  kalau sesuatu sudah berkembang, bagaimana kita kembangkan lebih lanjut sehingga barang itu mendapat nilai yang layak (apa pun barangnya, bisa seni pertunjukan, bisa tangible mau-pun intangible).  Dan kelihatan bahwa basisnya itu ada.  Sepotong tenun ikat yang indah mengandung kekayaan dari pengetahuan yang digunakan penenun, bagaimana proses tenun ikatnya, pola-pola yang ada atau intangible asset yang ada di dalam masyarakatnya sendiri, dibuat dengan hati/ rasa, setiap hari bisa berbeda pola –> work of art.  Nilai ini yang belum (diberikan) dengan layak.  Namun seringkali nilainya menjadi terlalu mahal untuk bisa “diperdagangkan”; harus dicari keseimbangan, ada yang eksklusif/untuk segmen market tertentu, tetapi ada juga yang dimodifikasi tanpa kehilangan akarnya. Contohnya songket, dulu berat dan mahal (jarang orang bisa menjangkau, mungkin hanya punya satu untuk acara-acara tradisional); sekarang dengan modifikasi dibuat tidak penuh sehingga bisa terjangkau oleh masyarakat yang lebih luas.

“Ada tantangan, antara lain: bahan baku, teknologi, pemasaran; kita akan mencari jalan mengatasi tantangan tsb. dan  mohon masukan dari teman-teman semua.” Tutur Marie E. Pangestu menutup paparannya di sarehahan hari pertama KMAN IV.[neni rochaeni|samdhana]

Cerita Lainnya

1 Comment

Add yours

+ Leave a Comment