Menolak Tunduk dan Menyerah

Pemuda Samigaluh dan Papua terlihat berlatih gamelan di Paguyuban Karawitan Madya Laras. (NOKEN/Dony P Herwanto)


Cerita oleh Dony P Herwanto (NOKEN Connecting Community)


Matahari sedikit condong ke barat. Odong-odong yang difungsikan sebagai kendaraan wisata yang dikelola Yoga Dwi Nugroho meninggalkan Sekolah Dasar Prennthaler, Kalirejo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DIY.

Setelah keluar dari Desa Kalirejo, odong-odong membawa kami, Tim NOKEN, Connecting Community, Kaoem Telapak, dan Sekolah Bisnis Papua (SBP) menuju ke Pedukuhan Nglebeng, Kalurahan Banjarasri, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DIY.

Perjalanan itu kami tempuh sekira 45 menit menggunakan odong-odong yang sudah dimodifikasi mesin dan “bentuk tubuhnya”. Odong-odong berkapasitas 7 orang itu melaju dengan lancar dan kencang melewati jalur yang meliuk, naik turun di Perbukitan Menoreh yang siang itu terasa hangat menembus kulit.

Tujuan “MENOKEN” kali ini adalah Paguyuban Karawitan Madya Laras. Di sana, kami akan menikmati sajian seni gamelan khas Jawa, karawitan. Seni suara yang bertangga nada “slendro” dan “pelog” ini menjadi suguhan terakhir dari perjalanan singkat mengenal potensi daerah yang digagas Heri Susanto, pemilik Rumah Belajar Kopi Mbajing dan Vanilla Mbajing.

Dari jarak sekira 500 meter, sebelum memasuki jalan berbatu, sayup-sayup suara gamelan mengalun sendu dan ritmis, sampai tembus ke hati. Sumber suaranya berasal dari salah satu rumah warga yang tak jauh dari jalan utama yang sepi.

Wartini menyambut kedatangan kami dengan santun dan ramah, meski tak bersalaman. Masker yang menempel di wajahnya tak mengurangi senyumnya yang lebar. Wartini adalah koordinator Paguyuban Karawitan Madya Laras, khusus kelompok yang perempuan.

Sekali lagi, Wartini sangat ramah menyambut tamu yang akan menikmati sajian musik dan panganan khas Pedukuhan Nglebeng. “Selamat datang di rumah budaya kami,” kata Wartini. Kemudian mempersilahkan tamu-tamunya, termasuk Tim NOKEN, untuk masuk ke salah satu bangunan milik Parjiyo, koordinator kelompok karawitan laki-laki.

Di dalam bangunan khas Jawa Tengah itu, sudah berkumpul 15 laki-laki, tua dan muda. Mereka memainkan gamelan dengan begitu khusyuk. Kami pun duduk bersila di atas tikar, di depan pengrawit yang mengenakan beskap, baju khas Jawa.

“Paguyuban ini mulai terbentuk tahun 1965. Tapi ya jatuh bangun. Terkadang juga vakum. Semangat mudah kendor karena tidak punya pelatih,” kata Wartini. “Meski begitu, kami tetap ingin melestarikan kesenian ini,” imbuhnya.

Semangat itu terlihat dari keseriusan pengrawit yang terus mengolah kemampuan dan berlatih. Mereka percaya, hanya itulah satu-satunya cara melestarikan kesenian adi luhung di tengah gempuran industri.

Di sela-sela pertunjukan karawitan, Tim NOKEN iseng menghampiri Wartini yang tengah menyiapkan makanan dari olahan singkong bersama warga yang lain. Tim NOKEN bertanya tentang gagasan menghidupkan kesenian tradisi itu.

Begini jawaban Wartini: Jadi waktu itu masyarakat kami yang sudah berminggu-minggu hanya diam di rumah, tidak berani keluar jauh-jauh dari rumah karena ancaman Corona merasa jenuh, merasa bosan dengan rutinitas yang monoton. Melalui komunikasi gawai Pak Supri mengajak anak-anak muda untuk sekedar membuang jenuh dengan memainkan gamelan yang kami miliki. Tidak ada pelatih. Mereka latihan bareng-bareng dengan modal keterampilan yang mereka peroleh ketika duduk di bangku sekolah dasar dan beberapa buku notasi, pemberian orang-orang yang peduli dengan kami.

Tim NOKEN menyimak dengan konsentrasi penuh, khawatir ada informasi penting yang terlewat. Wartini pun melanjutkan: Akhirnya setiap malam minggu, meski tidak banyak anak-anak muda berlatih bersama untuk menghibur hati dan sejenak melupakan kekhawatiran tentang Corona, tentunya dengan tetap mengikuti aturan protokol kesehatan. Lama-lama, semakin banyak yang ikut latihan di Rumah Budaya ini.

Wartini mengajak Tim NOKEN kembali masuk ke ruang pertunjukan yang sangat sederhana dengan penerangan yang cukup. Dari arah penonton, Heri Susanto tiba-tiba bediri dan menawarkan ide yang menantang.

“Bagaimana kalau setelah satu lagu, giliran kami yang memainkan gamelan. Adek-adek dan bapak-bapak gantian menonton kami,”. Usulan itu pun disambut meriah. Tanda menerima.

Tak lama, setelah Paguyuban Karawitan Madya Laras yang beranggotakan petani dan pelajar SMA menuntaskan satu lagu, penonton yang tadinya hanya duduk menikmati dan bertepuk tangan, berganti posisi dan peran.

Bermain gamelan ternyata tak semudah yang dibayangkan. Tidak asal mukul alat musik yang terbuat dari perunggu itu. He..he…he.

Matahari sudah sampai di batas cakrawala. Pedukuhan Nglebeng makin sepi. Angin bertiup tipis dan dingin. Di tubir perpisahan, Wartini menitipkan pesan, “Jika ada pelatih musik yang mau melatih kami, kabari kami,”

Sebelum malam bertambah malam, tiga odong-odong meninggalkan Pedukuhan Nglebeng menuju Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, tempat semula kami berangkat.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours