Di Antara Jajaran Bukit Menoreh

Heri Susanto berdiri di depan kedai kopinya. Foto diambil pada saat kegiatan temu mitra Samdhana, 11-13 Oktober 2019, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta. (SAMDHANA/Anggit Saranta)


Cerita oleh Dony P Herwanto (NOKEN Connecting Community)


Setelah menempuh perjalanan darat sekira 589 kilo meter dari Kota Bogor, tim “NOKEN Connecting Communities”akhirnya sampai di Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Desa yang berada di ketinggian sekira 500 meter di atas permukaan laut ini sudah menyuguhkan keindahan begitu meninggalkan Magelang, Jawa Tengah.

Jajaran Bukit Menoreh adalah sebuah panorama yang tidak bisa dibantah lagi keindahannya. Tuhan benar-benar menjatuhkan “surga” di bumi. Keindahannya masih alami. Kami disambut matahari terbit yang begitu sempurna begitu memasuki Kecamatan Samigaluh, salah satu wilayah yang diapit Bukit Menoreh yang menyimpan banyak cerita kearifan lokal yang hingga hari ini masih bertahan.

Di Samigaluh, tujuan kami adalah menemui Heri Susanto, Inisiator Rumah Belajar Kopi Mbajing dan Vanilla Mbajing di Desa Pagerharjo. Sayangnya, pertemuan pagi itu sedikit meleset. Heri Susanto tidak berada di rumahnya.

Orangtua Heri Susanto yang pada akhirnya menemui kami. Sedikit berbincang, orang tua Heri Susanto mengarahkan kami untuk kembali ke jalan lintas Kulon Progo – Purworejo. Tujuannya, kedai kopi dan rumah Heri Susanto yang baru.

Kedai kopi dan Rumah Belajar Kopi Mbajing dan Vanilla Mbajing ini menghadap, sekaligus memunggungi Bukit Menoreh. Ada satu bagunan yang diperuntukkan sebagai kedai kopi dan ada satu halaman dengan luas sekira 500 meter yang dibiarkan terbuka. Ada satu ruang pamer untuk pohon kopi dan vanilla sebelum memasuki bangunan beraksen jawa itu.

Di rumah belajar ini, Heri Susanto menyambut kami dengan hangat, layaknya seorang sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Pagi yang indah itu lengkap dengan suguhan Kopi Mbajing yang dikelolanya dengan serius.

“Selamat datang kembali. Hari ini lebih dingin dari kemarin-kemarin,” kata Heri Susanto sambil mengajak kami untuk duduk di beranda samping kedai yang masih belum tersentuh maksimal. “Ini kedai baru saja dipindah dari tempat lama. Saya masih beres-beres,” lanjut Heri.

Desa ini menyimpan begitu banyak potensi lokal yang perlu dikembangkan lebih serius. Ada kopi, vanilla, cokelat, teh dan cengkeh. Tak lupa, keindahan alamnya menjadi nilai jual untuk kawasan wisata.

Potensi-potensi inilah yang kini coba diinisiasi sejumlah pemuda di Desa Pagerharjo untuk lebih mengenalkan apa yang dimiliki desa yang berjarak sekira 40 kilo meter dari titik nol Yogyakarta itu.

Setelah perbincangan pagi yang santun dengan cericit burung dan suara mesin gergaji kayu, Heri mempersilahkan kami untuk istirahat di salah rumah milik, Dwi. Dwi adalah pemuda Pagerharjo yang dulunya berprofesi sebagai juru mudi bus dan truck.

Kini, selepas menyadari bahwa daerahnya memiliki potensi untuk dikembangkan, Dwi memutuskan membangun homestay di sekitar pintu masuk kebun teh Nglinggo. Hati siapa yang tak tergerak ketika melihat bahwa akan ada potensi profesi baru yang akan digeluti Dwi, dan pemuda-pemudi Pagerharjo.

Pagi itu, kami putuskan untuk sejenak merebahkan tubuh di homestay yang asri, meski saat ini hanya memiliki dua kamar. Ini titik awal cerita kami. Titik awal Connecting Communities, sambung mitra Samdhana Institute ke tanah Jawa.


Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours