Para perempuan adat Mentawai sedang bikin pangan lokal dari sagu. Mereka, komunitas adat yang masih bergantung hutan hingga ketahanan pangan lebih kuat, asal mereka berdaulat atas wilayah dan hutan adatnya. (MONGABAY INDONESIA/Vinolia)
Cerita oleh Mongabay Indonesia*
Para perempuan adat Mentawai sedang bikin pangan lokal dari sagu. Mereka, komunitas adat yang masih bergantung hutan hingga ketahanan pangan lebih kuat, asal mereka berdaulat atas wilayah dan hutan adatnya. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia
Shela Matuod Uray, perempuan adat dari Suku Higaonon di Filipina merasakan betul dampak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) bagi kehidupan mereka. Kalau sebelum itu, masyarakat Higaonon hidup tenang sebagai sebuah komunitas bebas keluar masuk area pedesaan, kini sulit.
“Kami tak bisa pergi ke ladang kami karena pembatasan. Jika kami tak bisa ke perkebunan kami, apa yang bisa kami lakukan? Kami tak punya cukup bahan makan,” katanya dalam diskusi beberapa waktu lalu.
Masyarakat adat ini masih harus menunggu tiga bulan untuk panen padi. Selama pandemi, mereka bertahan dengan jagung dan umbi-umbian. Ditambah lagi, wilayah ini sedang mengalami konflik antara pemerintah dan pemberontak.
Mereka setiap saat khawatir kalau pemberontak masuk ke area militer di dalam desa mereka. Meskipun begitu, masyarakat adat selalu punya cara sendiri mengatasi berbagai kondisi. Saat ada yang sakit, kata Shela, seperti demam atau sakit tenggorokan, mereka mengambil daun pepaya muda untuk obat. Mereka juga berusaha menyiapkan sawah untuk menanam lagi pada musim hujan.
Cerita serupa juga datang dari Serly Masdiana Saragih, perempuan adat Batak Toba, Sumatera Utara, Indonesia.
Serli adalah Kepala Sekolah SMK Arjuna Laguboti di Toba Samosir, tempat sebagian remaja Batak dan perempuan sekitar desa menempuh pendidikan.
Saat pemerintah daerah mengumumkan wabah memasuki Sumut, protokol kesehatan juga segera berlaku.
Masyarakat adat Toba Samosir yang biasa ramai ritual adat mulai mengurangi keramaian, misal dalam ritual kematian. Masyarakat juga diminta menjaga kebersihan diri dengan rajin cuci tangan dan pakai masker.
Saat bersamaan kebutuhan masyarakat akan pembersih tangan meningkat. Serly segera memandu siswa siswi di sekolahnya memanfaatkan labor mereka dan memproduksi hand sanitizer dan bagikan ke masyarakat adat sekitar, terutama yang kesulitan akses air.
Lebih dari 3.000 botol mereka produksi. Saat distribusi, kata Serly, para siswa juga dibekali informasi soal protokol kesehatan yang mereka sebarkan saat membagikan hand sanitizer.
Hal lain, masyarakat Toba Samosir perlu bibit dan pupuk untuk menjaga ketahahan pangan wilayah mereka. Para siswa juga perlu dukungan untuk belajar jarak jauh dan sekolah perlu fasilitas pennjang untuk beradaptasi dengan protokol “new normal.”
Menurut Joan Jamisolamin dari The Samdhana Institute, masyarakat adat di perkebunan dan area pertanian banyak merugi karena ada karantina.
“Lebih sulit bagi mereka di area konflik karena beberapa komunitas punya akses dan sumber daya terbatas,” katanya.
Mereka, kata Joan, selain harus berjuang dengan ekosistem rusak, juga berada di wilayah tak stabil, harus berjuang lebih untuk penuhi pangan.
“Mereka akan kembali ke ritual yang membantu mereka untuk bertahan baik dari segi kesehatan maupun pangan,” katanya.
Ada juga yang inisiatif menutup sendiri area mereka dan mencegah orang luar masuk ke komunitasnya.
Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, perempuan adat memang memiliki peran dan fungsi penting dalam menjaga ketahanan hidup komunitas berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di wilayah mereka.
Ada tiga aspek utama yang membangun identitas perempuan adat yaitu pengetahuan, otoritas dan wilayah kelola.
“Perempuan adat merupakan pondasi penting dalam menjalankan peran sebagai penjaga kedaulatan dan ketahanan pangan keluarga dan komunitas adatnya,” katanya.
Otoritas perempuan adat, katanya, berkaitan erat dengan kewenangan mereka atas pengaturan keberlangsungan kehidupan dan sumber- sumber penghidupan keluarga maupun komunitas adat.
Meskipun pengetahuan perempuan adat, kata Devi, tak seiring dengan pengakuan otoritas perempuan adat.
Hak masyarakat adat dalam menentukan nasib seringkali luput memperhatikan hak-hak perempuan adat dan kelompok terpinggirkan lain.
Adanya pengakuan atas otoritas perempuan adat, katanya, akan membuat perempuan adat mampu terlibat dan bersuara di dalam ranah pengambilan keputusan baik atas tubuh, keluarga, komunitas adat maupun negara.
Wilayah perempuan adat, katanya, merupakan ruang perempuan adat untuk memproduksi dan reproduksi pengetahuan dan otoritas mereka dari waktu ke waktu, berkelindan dengan berbagai perubahan terhadap wilayah adat mereka.
“Wilayah kelola ini berkaitan erat dengan sumber-sumber penghidupan yang penting dalam memastikan keberlangsungan hidup masyarakat adat. Sumber-sumber penghidupan seperti mata air, lubuk ikan, hutan obat, dan lain-lain secara khusus diakses perempuan adat secara kolektif. Tanpa wilayah perempuan maka pengetahuan dan otoritas perempuan adat juga hilang.”
Untuk itu, pengakuan wilayah perempuan adat jadi penting dalam menjaga kedaulatan masyarakat adat.
Catatan Perempuan AMAN, ada tiga kategori masyarakat adat dalam menghadapi COVID-19. Pertama, komunitas atau masyarakat adat di wilayah urban. Kelompok ini, memenuhi keperluan hidup dengan gunakan uang tunai termasuk untuk pangan. Pada kelompok ini, karantina sulit dan sebagian mereka kehilangan pekerjaan karena COVID-19.
Kedua, kelompok masyarakat adat yang berdampingan dengan berbagai perusahaan, yang punya ketersediaan makanan pokok hanya untuk tiga sampai enam bulan. Pemenuhan protein terbatas untuk keluarga atau bahkan tak ada sama sekali.
Dalam kelompok ini, kebutuhan uang tunai terus meningkat untuk membeli gula, garam, minyak goreng dan keperluan lain karena distribusi barang tidak berjalan baik.
“Karantina dilakukan tapi tantangan umumnya aktivitas perusahaan terus berjalan di sekitar area mereka,” kata Devi.
Mereka masih bisa beraktivitas kembali ke ladang dengan gunakan pekarangan rumah. Mereka kembali bercocok tanam dan bisa melakukan pendataan melalui desa untuk mengkases bantuan dana tunai pemerintah melalui berbagai skema.
Mereka juga punya akses mendukung kebutuhan bahan pangan, benih dan masker.
Ketiga, kehidupan masyarakat adat sub-semi subsisten yang masih punya ketersediaan pangan hingga satu tahun atau lebih. Aktivitas di ladang, kebun berlangsung seperti biasa dan masih punya keragaman bahan makanan pokok.
Di sini berperan pengetahuan perempuan adat dalam pengawetan makanan. Mereka juga karantina kampung mandiri melalui berbagai ritual adat.
Untuk kategori kelompok ini, umumnya tak punya akses layanan kesehatan. Obat-obatan mereka sediakan sendiri dan bahan pangan mereka kirimkan untuk keluarga di daerah urban atau komunitas lain yang memerlukan.
Bicara ketahanan pangan, kata Devi, 70% aktivitas berladang dilakukan perempuan adat. Dari hitungan mereka, setidaknya 31 juta jiwa penduduk Indonesia dapat makan dari perempuan adat.
Untuk itu, katanya, pemerintah perlu memastikan ketersediaan data terpilah berdasarkan etnis yang gunakan indikator agar menjangkau kerentanan perempuan adat.
“Kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan pihak lain untuk berhenti menuding dan memojokkan pengetahuan dan praktik pengelolaan sumber daya alam yang dipraktikkan secara turun temurun selama ratusan tahun di komunitas adat,” kata Devi.
Tuduhan ini melecehkan pengetahuan perempuan adat dan masyarakat adat. “Kami bersaksi, bahwa sistem dan praktik ini telah menjamin kedaulatan pangan dan kemandirian komunitas adat dalam pemenuhan kebutuhan hidup.”
UU Masyarakat Adat urgen
Dengan kondisi ini, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai, pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai bagian dari kedaulatan masyarakat dan wilayah adat makin urgen.
RUU Masyarakat Adat sudah bahas berulang kali presiden. Berawal dari inisiatif DPR era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan gagal. Bersambung jadi inisiatif DPR di dua periode Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hingga kini, sudah masuk berulang kali program legislasi nasional, tetapi lagi-lagi, pembahasan belum jelas.
“RUU ini sudah banyak dibicarakan untuk menjembatani masyarakat adat dengan negara. Karena banyak Undang-undang mengatur sepotong-potong masyarakat adat meski sudah diakui konstitusi,” kata Rukka.
Menurut dia, tidak ada komunikasi solid antara kementerian dan lembaga hingga membuat masyarakat adat seperti terjebak dalam sebuah rumah besar, dalam ruangan-ruangan tanpa pintu dan jendela. Mereka jadi tak bisa keluar.
“Tak bisa akses hutan, kena dampak perusakan hutan, harus menanggung akibat bencana seperti wabah ini, dan gagal panen. Masyarakat adat yang paling kena dampak pertama terutama perempuan karena peran domestiknya.”
Sejak Maret, kata Rukka, ada 87 Satgas COVID-19 di bawah AMAN. Di kampung-kampung masyarakat adat, masih banyak sekali pengetahuan obat tradisional untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Mengenai pangan, katanya, ada tiga status masyarakat adat. Pertama, paling terancam, adalah yang terancam punah, yang tinggal orang saja seperti Suku Sakai. Ada juga dalam tiga bulan terakhir harus disuplai makanan karena belum tentu dapat bantuan tunai seperti masyarakat Suku Tobleo, berada dalam ancaman pembangunan smelter.
Atau Orang Rimba, yang mengasingkan diri di dalam hutan tetapi ada hutan di sebelahnya yang tak bisa mereka akses karena sudah jadi taman nasional.
Kedua, masyarakat adat kritis karena sudah jadi buruh perusahaan sawit. Mereka tak bisa berkebun karena lahan sudah jadi sawit. Ketiga, yang paling aman, masyarakat adat yang masih bisa mengendalikan wilayah adat, masih berdaulat dan hidup dari hutan dan lahan mereka.
New normal, kata Rukka, mestinya melihat sistem ekonomi lokal berdasarkan semangat gotong royong dan berbagi.
Selamat Hari Masyarakat Adat Sedunia!
Sumber : “Cerita Perempuan Adat Hadapi Pandemi “, mongabay.co.id, 9 Agustus 2020
+ There are no comments
Add yours