Hutan Adat Pikul Pengajid, Satu dari Sembilan Kelompok Hutan Sosial Pilihan Tempo 2019

Domianus Nadu, tokoh masyarakat Hutan Adat Pikul Pengajid saat berbagi cerita mengelola hutan adatnya di PeSoNa, Jakarta, 27 November 2019. (SAMDHANA/Anggit)


Satu tahun sejak ditetapkannya kawasan hutan Pikul Pengajid sebagai Hutan Adat oleh Pemerintah Republik Indonesia, melalui Surat keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 20 September 2018. Masyarakat Adat yang menjaganya, yaitu Suku Dayak Bakati Rara kian menunjukkan keseriusannya mengelola hutan adatnya dengan bijak. Alih-alih menebang untuk memanfaatkan kayunya, mereka justru menambah lebat rimba hujan tropis dengan vegetasi yang semakin rapat. Rumah bagi 96 jenis pohon langka besar dan menjulang.

Masyarakat yang berada di Dusun Melayang, Desa Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat itu memilih memanfaatkan hutan dengan mengelola warisan alam dan leluhurnya dari hasil non kayu. Mereka menjual minyak tengkawang sebagai penopang ekonomi selain bertani/berladang. Di Kawasan hutan adat Pikul seluas seratus hektar itu tumbuh berbagai jenis pohon Tengkawang langka seperti Tengkawang Tungkul, Tengkawang Pangapeg, Tengkawang Terindak, dan Tengkawang Layar yang banyak mengandung air.

Atas upayanya itu, Hutan Adat Pikul tahun ini menjadi satu dari sembilan Kelompok Hutan Sosial 2019 Pilihan Tempo. Sebuah program apresiasi seleksi Hutan Sosial yang dilakukan kelompok media Tempo, dengan penjurian sistem panel yang melibatkan ahli dari berbagai lembaga dan organisasi.

Sebuah apresiasi atas upaya masyarakat Dayak Bakati Rara di Dusun Melayang, Desa Sahan dalam mempertahankan seratus hektar tersisa dari semula 500 hektar yang kini telah berubah menjadi perkebunan. Hamparan ladang lada, sawit dan perkebunan. Buah dari komitmen Damianus Nadu dan masyarakat sekitar Hutan Adat Pikul menahan gencarnya perusakan hutan, baik melalui pembalakan liar, ekpansi korporasi dengan hak penguasaan hutan (HPH), maupun perusahaan sawit sejak 1980-an.

Komitmen masyarakat menjaga rimba dari perusahaan yang membabat habis hutan disekeliling hutan mereka, meski sejatinya wilayah adat mereka termasuk dalam Area Penggunaan Lain (APL).

“Bagi saya, hutan adalah harga diri kami,” kata Nadu, saat verifikasi lapangan oleh Tempo dan tim dari KLHK, 15 November 2019.

Luas kawasan hutan Pikul Pengajid sebenarnya dalam kisaran 200 hektar, namun yang dijadikan kawasan hutan adat hanyalah seluas 100 hektar. Bupati Bengkayang mendukung keberadaan hutan adat ini dengan memberikan SK Hutan Adat, yaitu SK 131 tahun 2002. Artinya sejak diberikan SK pada 17 September 2002 dan dikukuhkan pada 15 Oktober 2002, status hutan adat sudah dimiliki Nadu dan warga di Dusun Malayang.

Setelah bertahun-tahun menunggu kepastian SK dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hasil verifikasi oleh tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kawasan hutan adat Pikul Pangajid mendapatkan SK dari KLHK. SK bernomor SK.1300/MENLHK-PSKL-PKTHA/PSL.1/3/2018/28 Maret/2018.

“Kami tidak pernah bermimpi dapat penghargaan, apresiasi ini tentu menguatkan kami untuk berbuat lebih banyak lagi menjaga dan memanfaat hutan adat,” beber Nadu di Jakarta.

Tengkawang yang melimpah di kampung menjadi jalan peningkatan ekonomi. Tradisi turun-temurun memanfaatkan buah dan minyak tengkawang sebagai kelengkapan upacara adat dan kebutuhan sehari-hari di dapur. Termasuk diolah menjadi butter atau pengganti minyak goreng. Biasanya warga memanen dengan penyulingan tradisional. Bersama Institut Riset dan Pengembangan Hasil Hutan (INTAN) Kalimantan, Tengkawang coba dibudidayakan menjadi produk minyak nabati dan turunannya.

Direktur INTAN Deman Huri, menjelaskan, saat ini kelompok usaha bernama Tengkawang Layar sudah menjalankan bisnis minyak nabati dengan memproduksi minyak butter Tengkawang 12 ton per tahun.

Tengkawang hanyalah salah satu potensi Hutan Adat Pikul Pengajid. Masih banyak potensi yang saat ini dikelola oleh masyarakat dan sedang dikembangkan. Selain tumbuhan Tengkawang, kawasan adat ini juga ditumbuhi tanaman lain seperti Meranti, Gambris, Gaharu,Pasak Bumi,Ulin, medang, beringin, 96 jenis pohon-pohon langkah dan berbagai jenis tanaman obat-obatan. Lalu ada tanaman aromantic hutan, rempah, bawang putih hutan, bambu, rotan, dan madu. Dikawasan ini juga terdapat lima tanaman rempah seperti teradu, jumlah jamur yang hidup dikawasan hutan adat pikul ada 26 jenis.

Kegiatan yang sudah berjalan adalah unit usaha Tengkawang, usaha pembuatan parfum, penyemaian, peternakan dan juga usaha perempuan pembuatan aneka kue dari bahan Tengkawang.

“Kami coba membuat masyarakat percaya dengan potensi hutannya. Bahwa ada manfaat ekonomi lain selain kayu yang tak kalah besar dampaknya. Dan itu tetap membuat hutannya lestari,” terang Deman.

Diluar unit usaha yang sudah berjalan, masyarakat saat ini juga sedang mengembangkan potensi 7 air terjun yang ada di Hutan Adat Pikul Pengajid.

Berbagai potensi dan upaya yang dilakukan masyarakat itulah yang membawa Hutan Adat Pikul Pengajid terpilih sebagai Hutan Sosial Pilihan Tempo 2019. Terpilih melalui penjurian sistem panel setelah terpenuhinya persyaratan legal seperti sertifikat perhutanan sosial seperti aspek inovasi, keberlanjutan serta keterlibatan masyarakat dalam pegelolaan hutan sosial. Penjurian ini melibatkan ahli dari berbagai lembaga dan organisasi. Para juri adalah Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Supriyanto, Direktur Kemiraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jo Kumala Dewi, Pemimpin Redaksi Koran Tempo, Budi Setyarso dan Redaktur Pelaksana Majalah Tempo, Bagja Hidayat.

Selain nama diatas juga ada Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Didik Suharjito, anggota Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Kemitraan, Suwito, Manajer Perhutanan Sosial dan Transformasi Konflik World Resource Institute (WRI) Indonesia, Rakhmat Hidayat, Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia, Dahniar Andriani dan perwakilan USAID Lestari Indonesia, Nurka Cahyaningsih.

Samdhana Institute mengucapkan selamat kepada Masyarakat Adat Pikul.

Dukungan Samdhana Institute untuk mempercepat proses penetapan hutan adat Pikul tidaklah sia-sia, dukungan yang terbatas dapat digunakan bagi pengembangan penghidupan masyarakat adat tersebut dengan mengembangkan nilai tambah Hutan Adatnya, salah satu nya yaitu menghasilkan butter tengkawang yang menyehatkan dan dicari pasar global.

Terima kasih para mitra yang sudah mendukung selama ini, memang mereka layak dapat bintang !

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours