Catatan dari Lokakarya Kegiatan Responsif Gender

Peserta Lokakarya Perencanaan Kegiatan Responsif Gender

Dalam beberapa tahun terakhir berbagai kegiatan yang mendukung penguatan kelompok perempuan telah dilakukan oleh Samdhana kepada mitranya. Hal ini merupakan komitmen Samdhana dalam rangka membangun kesetaraan dan keadilan gender pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Sejalan hal tersebut, Capacity Development (Capdev) Samdhana Institute menggelar Lokakarya Perencanaan Kegiatan Responsif Gender. Lokakarya yang berlangsung di Bogor dalam 2 hari (3-4 Agustus 2018) itu diikuti kurang lebih 15 perempuan dan laki-laki dengan berbagai pengalaman dan pengetahuannya terkait gender.

“Lokakarya ini merupakan tindak lanjut assessment yang dilakukan Samdhana pada November 2017 dan diskusi terfokus pada tanggal 7 Juni 2018. Disini Samdhana merasa perlu menekankan soal gender dalam setiap skema kegiatan,”ujar Ita Natalia, Head Capdev pada pembukaan Lokakarya. Hal ini seolah menegaskan pernyataan Cristi Nozawa selaku Direktur Eksekutif Samdhana dalam pertemuan sebelumnya mengenai gender mainstream dalam Samdhana Institute.

Lokakarya ini melibatkan peneliti, akademisi dan penggiat isu gender lainnya, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Individu yang dilibatkan merupakan sosok yang memahami konteks dan permasalahan kesetaraan gender dan inklusi sosial (Gender Equity and Social Inclusion, GESI) di dalam kegiatan yang berkait isu sumber agraria, tenurial penghidupan (livelihood), dan tatakelola serta tatakuasa (governance) lingkungan. Diantaranya Lies Marcoes (Rumah KitaB), Yekti Wahyuni (peneliti), Yulia Sugandi (Pengajar S3 Sosiologi Pedesaan IPB), dan Mia Siscawati (Kajian Gender UI).

Lies Marcoes (Rumah KitaB) dalam sesi paparannya menyampaikan pentingnya paradigma “Tanah Air Beta” (dengan huruf T dan A yang besar) yang diwarnai dengan relasi gender, relasi kuasa dan kompleksitas lainnya. Hasil penelitianya terkait perkawinan anak, dengan menggunakan paradigma di atas, menunjukkan korelasi yang signifikan antara tingginya angka perkawinan anak dengan krisis sosial ekologis di daerah terkait.

Lies Marcoes saat memaparkan materinya terkait relasi gender, relasi kuasa dan kompleksitas. Foto : Anggit/Samdhana

Yekti Wahyuni juga mempresentasikan hasil penelitiannya di Desa Gajah Betalut, Kecamatan Kampar Kiri, Provinsi Riau tentang kepemilikan lahan yang matrilineal. Diceritakan mengenai hilangnya perempuan pada sejarah, dalam struktur adat, pengambilan keputusan dan lainnya. Ditegaskan, bahwa tidak hanya pemerintah bahkan NGO pun memiliki peran dalam penghilangan ini dengan tidak memasukkan nama perempuan namun laki-laki (kepala keluarga) sebagai pemilik kebun karet yang sebenarnya merupakan ruang hidup perempuan.

Sementara Yulia Sugandi, pengajar sosiologi pedesaan IPB yang banyak meneliti soal perempuan menekankan pentingnya melihat kompleksitas. Ada relasi-relasi di dalamnya yang tidak dapat dikontrol, saling berinteraksi, dan tidak linier. Hal ini harus dilihat secara keseluruhan, bukan dipahami secara komponen. Melihat dengan cara pandang eko feminisme disarankan oleh yang bersangkutan.

Selanjutnya diharapkan ada rekomendasi untuk Samdhana mengenai bagaimana menerapkan gender mainstream pada setiap aktivitasnya. Termasuk melanjutkan pengumpulan baseline data dari para mitra dan/atau komunitas yang terlibat aktivitas Samdhana serta pemetaan kegiatan (inisiatif) para pihak (stakeholders) agar tujuan kesetaraan dan keadilan gender tercapai.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours