Penghujung tahun 2016 lalu tampaknya menjadi pengharapan yang baik untuk menyongsong perbaikan tata kelola hutan khususnya hutan adat di Indonesia, menyusul diterbitkannya 9 hutan adat oleh pemerintah. Terdiri dari 8 penetapan hutan adat, yaitu Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang, Hutan Adat Bukit Tinggai, Hutan Adat Tigo Luhah Permenti, Hutan Adat Tigo Luhah Kementan, Hutan Adat Marga Serampas, Hutan Adat Amatoa Kajang, Hutan Adat Wana Posangke dan Hutan Adat Kasepuhan Karang. Serta alokasi hutan adat Pandumaan-Sipituhuta seluas 5.172 hektar, yang dikecualikan dari konsesi HTI perusahaan.
Penerbitan Hutan Adat ini menjadi pengejawantahan putusan MK 35/2012 soal hutan adat yang diklasifikasikan menjadi bukan hutan negara. Secara khusus Presiden Joko Widodo menyerahkan secara langsung Surat Keputusan (SK) menteri kehutanan dan lingkungan hidup atas hutan adat ini kepada 9 komunitas Masyarakat Adat dengan total luas area 13.100 hektar yang dimiliki sekitar 5.700 kepala keluarga.
Dalam sambutannya Presiden menekankan bahwa ini baru awal dari pengakuan hutan adat yang akan terus diiakui keberadaannya. Meski status hutan telah dimiliki oleh masyarakat adat, namun fungsi hutannya tidak boleh diabaikan dan tidak boleh diperjualbelikan.
“Sejak turun temurun masyarakat hukum adat sudah mampu mengelola hutan adat secara lestari berdasar kearifan lokalnya. Masyarakat hukum adat sejak dulu sudah tahu dan bisa menjaga harmoni, hidup manusia dengan alam. Saya rasa nilai yang penting dan harus diingat di masa modern ini,” jelas Presiden Jokowi.
Diakui Presiden sampai saat ini penetapan hutan adat oleh pemerintah masih berada pada angka yang sangat sedikit, sedangkan selama ini pemberian ijin diberikan kepada kalangan korporasi skala besar. “Yang ada di kantong saya sekarang ada 12,7 juta hektare yang akan terus kita sampaikan, tetapi hanya kepada masyarakat lokal, rakyat, kelompok tani, dan masyarakat adat sehingga betul-betul yang menikmati kekayaan hutan kita adalah rakyat setempat dan masyarakat adat,” imbuhnya.
Setelah acara tersebut, Presiden menyempatkan diri untuk mendengarkan sejumlah masukan langsung dari para pemangku adat yang hadir dalam pertemuan meja bundar. Kepala Negara ingin mendengar langsung masukan tersebut agar ke depannya upaya yang dilakukan pemerintah dapat betul-betul bermanfaat bagi masyarakat.
Turut hadir dalam acara tersebut di antaranya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Kepala Staf Presiden Teten Masduki, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, pemangku adat atau perwakilan penerima SK Hutan Adat dan para pendamping (LSM/CSO) serta akademisi.
Penerbitan hutan adat oleh pemerintah menjadi kabar baik bagi upaya penyelesaian konflik dan rehabilitasi atas pelanggaran HAM yang telah di tunjukkan dalam National Inquiry KOMNAS HAM 2016. Martua T. Sirait, Direktur Pengembangan Kebijakan, Samdhana Institute meinilai kebijakan yang diwakili oleh 9 hutan adat ini, mewakili hutan adat yang ada di Taman Nasional, Cagar Alam, Hutan Produksi dan Hutan Lindung, bahkan Hutan Adat yang ada di Jawa maupuan di luar Jawa, serta yang berada didalam kawasan hutan negara dan diwilayah disebut Areal Penggunaan Lain (APL).
Peristiwa ini dianggap bersejarah karena sejak 71 tahun hak konstitusional masyarakat adat dicantumkan dalam UUD 1945 dan 17 tahun sejak hutan adat disebutkan dalam UU Tahun 1999, ini kali pertama ditetapkan penetapan hutan adat di Indonesia, serta 3 tahun semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review UU Kehutanan No 41 tahun 1999 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Semoga penetapan hutan adat oleh pemerintah selanjutnya dapat memenuhi 40an juta hektar hutan adat lainnya yang masih belum mendapatkan kepastian sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak hak konstitusional sesuai dengan UUD 1945.
+ There are no comments
Add yours