Peluncuran Program Pengusahaan Hutan Berbasis Komunitas – Community Forestry Enterprise (CFE) di Indonesia

Samdhana Institute bersama AMAN, Rainforest Alliance dan Ford Foundation pada 14 November 2016 telah meluncurkan Program Pengusahaan Hutan Berbasis Komunitas – Community Forestry Enterprise (CFE) di Indonesia yang dihadiri penggiat perhutanan sosial baik fasilitator, regulator, masyarakat pengelola hutan dan praktisi. Launching yang dilaksanakan di Jakarta ini dilakukan dalam rangka memperluas akses dan hak atas ruang kelola rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui skema perhutanan sosial : Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakat (HKM), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Konservasi dan kemitraan dengan pengusaha, dan Hutan Adat (HA).

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial yang baru disahkan, menegaskan pentingnya program CFE ini.  Secara global, hutan di negara tropis 30% dikelola oleh masyarakat. Sementara di Indonesia masih kecil sekali hanya kurang dari 2% dari luas kawasan hutan. Target pemerintahan saat ini adalah menjadikan 12,7 juta ha (10%) menjadi perhutanan sosial, dengan skema Hutan Desa, HKM dan HTR, bersama sama Hutan Adat dan Kemitraan Konservasi dan Pengusahaan Hutan yang masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Acara peluncuran CFE di Indonesia merupakan tindak lanjut diskusi pada bulan Maret 2016 lalu, saat itu forum menyepakati untuk mengirim perwakilan melihat langsung kegiatan CFE di Mesoamerika yang selanjutnya akan  berbagi pengalaman dan menyusun rencana aksi serta rekomendasi untuk pelaksanaan program CFE di Indonesia. Acara peluncuran ini juga ditujukan untuk menyusun strategi belajar bersama mendukung PHBM, dan mendorong CFE sebagai instrumen membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat.

Sekjen AMAN Abdon Nababan memaparkan bahwa secara “de facto” masyarakat adat sudah mengelola wilayah adat, tapi dari “de facto” untuk menjadi “de jure” tantangannya luar biasa. Keluarnya Permen LHK tentang Hutan Hak (permenLHK no P.32/2015) dan Perhutanan Sosial (permenLHK no P.83/2016) dapat menjadi media untuk memulihkan trauma yang dalami masyarakat disalam dan sekitar hutan yang selama ini dipinggirkan, syaratnya dialog harus terus dibangun melalui pendekatan multipihak.“Saya sangat yakin, begitu urusan legalitas beres, akan lebih mudah dilakukan, bahkan lebih mudah dibanding di Mesoamerika sana. Karena kondisi masyarakat adat di Indonesia jauh lebih baik. Baik dari sisi tatanan sosial, budaya, relatif masih berfungsi,” jelas Abdon.

Rainforest Alliance selama ini memang lebih banyak bergerak pada pengembangan agroforestry tingkat tapak. Dengan adanya pembelajaran baik yang dibawa dari Mesoamerika, Rainforest Alliance mendukung upaya yang lebih optimis dalam pengelolaan hutan di Indonesia. “Ini adalah sesuatu yang kalau diluar bisa sukses, kenapa di Indonesia tidak bisa, padahal di modal dasar yang dimiliki masyarakat di Indonesia sangat kental, kultur gotong royong masih kental, dan kami juga memandang ini sebagai kesempatan yang baik untuk berkolaborasi,” terang Nurdiana Darus, Director for Southeast Asia Rainforest Alliance.

Sementara itu Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bpk. Apik Karyana, dalam sambutan pembukaan acara Peluncuran CFE di Indonesia menekankan perlunya memastikan rantai bisnis dalam perhutanan sosial dapat berjalan dengan baik. Memastikan kawasannya sendiri, masyarakatnya harus siap mengelolanya sendiri. Serta perlunya memastikan bertemunya antara penjual dan pembeli produk dari perhutanan sosial ini. “Saya kira itu harus dibahas, sehingga rantai bisnis di perhutanan sosial bisa jalan semua. Kelihatannya industri kayu kita terus turun, harapannya ini bisa mendorong peningkatan nilai tambah industri kayu kita,” jelasnya.

Paparan hasil kunjungan ke Amerika Tengah, yaitu ke San Juan-Mexico disampaikan Mirza Indra, Direktur Pemberdayaan Ekonomi dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Lestari (PEPSAL) PB AMAN. Dalam perjalanan selama 12 hari, dirinya bersama Arifin Monang Saleh (Deputi III PB AMAN), Neni Rochaeni (Samdhana Institute) dan Ap Aristoteles – Kepala KPH Kabupaten Biak – Propinsi Papua, melihat secara langsung bagaimana komunitas San Juan dan Oaxaca di Mexico mengelola hutannya. Komunitas ini mampu menghasilkan kayu 70.000  meter kubik per tahun secara lestari, umumnya jenis pinus dan dengan kerapatan hutan yang tinggi.

“Modal awal tetap dari kayu yang ada, dijual, dikembangkan menjadi usaha lain, di rapatkan dalam general assembly. Dan setiap usaha, ada struktur organisasi masing-masing, dipimpin oleh seorang manajer. Yang mengurusnya dipercaya, yang diurus juga percaya, sehingga nilai tambah hutan meningkat” terang Mirza Indra.

Steve Rhee, program officer di Ford Foundation Indonesia mengatakan bahwa ide yang dibahas dalam peluncuran ini bukanlah ide baru, namun momentumnya yang pas. Menurutnya selama ini yang susah adalah mencari momentum dan narasumber yang pas untuk menghubungkan antara Indonesia dan Mesoamerica dan Brazil. “Ternyata benar setelah kita pelajari bersama, ada banyak cerita dari sana yang bisa di aplikasikan disini. Tapi yang saya belum dengar, bagaimana peran pemerintah disana ?,” ungkapnya.

Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) Wiratno dalam presentasinya menekankan bahwa obyek perhutanan sosial adalah adalah hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi dan non kawasan hutan. Mekanismenya melalui Hutan Desa, HTR, HKm, kemitraan kehutanan, hutan rakyat dan hutan adat. “Penyiapan kawasannya adalah 12,7 juta ha,  dan penting 7,4 juta ha telah dipetakan sendiri atas inisiatif masyarakat. Hal ini harus didorong oleh Satgas Urusan Masyarakat Hukum Adat yang akan dibentuk pemerintah, untuk diprioritaskan,” jelasnya.

Ben Hodgdon, Director of Forestry Rainforest Alliance menyampaikan latar belakang perubahan kepemilikan hutan dari negara dan dialihkan ke komunitas. Ada sekitar 30 persen kepemilikan hutan beralih secara global, dari penguasaan negara pada penguasaan rakyat, dan hal ini terjadi dibanyak tempat di Amerika. Kini juga menjadi salah satu agenda Indonesia. Tujuan dari perjalanan pembelajaran dari mesoamerika adalah untuk bertukar hikmah pembelajaran, dan setelah kembali ke Indonesia, apa yang bisa didapat dari hasil pembelajarannya, dapat langsung disesuaikan dan dipraktekkan di Indonesia.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours