Hutan Bukan Warisan Kolonial

Direktur Operasional Indonesia Samdhana Institut, Martua T. Sirait hadir sebagai salah satu pembicara dalam Forum Dialog KOnservasi Indonesia di Jakarta, 26 Juni 2025. (Photo courtesy of PILI Green Network)

Revisi Undang-Undang Kehutanan yang tengah dibahas DPR RI menjadi momentum krusial untuk mengakhiri warisan kolonialisme dalam tata kelola hutan di Indonesia. Indonesia tidak boleh lagi menggunakan paradigma kolonial yang menganggap hutan sebagai komoditas milik negara semata. Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dinilai sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan tata kelola hutan Indonesia yang kompleks dan penuh konflik.

Diskusi ini bagian dari rangkaian kegiatan yang digagas oleh Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI), merupakan koalisi berbagai organisasi lingkungan hidup di Indonesia. FGD (Focus Group Discussion) yang diadakan kali ini bertujuan untuk menjaring masukan dari akademisi, anggota DPR, pemerintah, organisasi lingkungan, masyarakat adat, dunia usaha dan komunitas lokal.

Menurut Anggi Putra Prayoga, moderator diskusi dari FDKI, kerusakan hutan Indonesia tidak hanya disebabkan oleh lemahnya pengawasan, tetapi juga oleh kerangka hukum yang melegitimasi eksploitasi.

Pertanyaan mendasar pasca kolonial adalah bagaimana bangsa Indonesia membebaskan diri dari warisan hukum kolonial yang masih membayangi kehidupan agraria? Panitia Agraria waktu itu dengan sangat sadar memastikan bahwa UUPA tidak berada dalam kerangka domain verklaring, asas kolonial yang mengklaim seluruh tanah sebagai milik negara jika tidak dapat dibuktikan hak milik atasnya oleh rakyat.

UUPA membongkar asas state domain secara mendasar. Ia tidak berhenti pada kritik, tetapi menawarkan alternatif yang bersandar pada realitas sosial dan cita-cita keadilan. Penjabarannya pun bersifat holistik: tidak hanya mengatur tanah sebagai permukaan bumi, tetapi juga meliputi air, ruang angkasa, dan isi bumi. Di sini terlihat bagaimana UUPA melepaskan diri dari logika kolonial yang memisahkan manusia dari ruang hidupnya.

Lebih dari itu, UUPA tidak memandang alam sekadar ‘sumber daya’, sebuah istilah teknokratik yang mengandung watak eksploitatif. Sebaliknya, ia memperkenalkan gagasan Sumber-Sumber Agraria (SSA), yakni satu kesatuan yang mengandaikan relasi sosial, ekologis, dan kultural antara manusia dan lingkungan. Dengan begitu, UUPA tidak hanya mengatur tenurialitas, siapa menguasai dan memiliki apa tetapi juga mengatur hubungan antar manusia dalam memanfaatkan SSA tersebut.

Kesadaran akan pentingnya keadilan sosial juga mendorong Panitia Agraria menyusun UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil, sebagai pengatur relasi kerja di sektor pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, sehingga UUPA merupakan sebuah langkah menuju dekolonisasi yang sesungguhnya.

Sudah saatnya kita mengikuti proses historis dan filosofis yang dibangun oleh UUPA. Asas-asas yang terkandung di dalamnya harus menjadi cermin dalam setiap penyusunan undang-undang. Lalu dalam konteks UU Kehutanan, jika paradigmanya berubah, bagaimana penjabarannya dan bagaimana itu dijalankan dengan semangat paradigma dekolonisasi? ujar Dr. Martua T. Sirait dari Samdhana Institute. Ia menegaskan pentingnya reformasi paradigma dalam penyusunan UU baru agar tidak sekadar tambal sulam.

Dr. Martua T Sirait menutup diskusi dengan percakapan reflektif bahwa undang-undang kehutanan yang baru harus secara eksplisit menjabarkan asas-asas yang mendasarinya, termasuk menjamin keterbukaan informasi dalam proses pengukuhan kawasan hutan, dengan kejelasan mengenai keberadaan dokumen Berita Acara Tata Batas, akses publik terhadapnya, serta siapa yang menandatanganinya ini harus dibunyikan.

Kunci masuk UU Kehutanan berada pada perencanaan hutan yang menjadi inti dari tata guna hutan. Perencanaan hutan selama ini seringkali berhenti pada penggunaan pendekatan teknis dan melupakan aspek sosial. Sebagai contoh, pengambilan keputusan tata batas hutan dilakukan selama 17 hari.

Dengan demikian, inventarisasi harus meng-approach pendekatan etnografis dalam melakukan perencanaan hutan. Perencanan hutan menjadi inti dari tata guna hutan sekaligus menjadi titik berangkat penyelesaian tata batas. Sehingga, Kekuatannya ada di perencanaan hutan karena selama ini perencanaan hutan hanya memasukkan aspek-aspek teknis.

Pernyataan di atas relevan jika melihat data Kemenhut yang mengklaim hutan sebagai milik negara, menetapkan 106 juta hektare dari 125 juta hektare sebagai kawasan hutan, mencakup 66% ruang hidup masyarakat, sebuah warisan dari sistem domein verklaring kolonial. Padahal, berdasarkan Kementrian Kehutanan 2025, Indonesia telah kehilangan hampir 30 juta hektare hutan dalam empat dekade terakhir. Kerusakan ini bukan hanya akibat pembalakan liar, tapi juga kebijakan legal yang justru melegitimasi alih fungsi kawasan hutan.

Pandangan ini diamini oleh Dr. Yance Arizona, akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ia menekankan bahwa “Kalau kita ingin melakukan dekolonisasi hutan, maka kita perlu mengubah mindset yang sebelumnya bahwa negara yang paling bisa mengelola hutan menjadi hutan untuk rakyat. Rakyat menjadi pilar utama dalam pengelolaan hutan kedepan.” Menurutnya, rule of law dalam kehutanan harus dibangun dari prinsip keadilan sosial dan ekologis, bukan sekadar legalisasi atas kontrol negara.

Hingga kini, Penetapan kawasan hutan oleh pemerintah dinilai bermasalah karena dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat dan lokal. Meski sah secara hukum, kawasan ini sering tak mendapat legitimasi sosial. Bahkan, dalam setahun terakhir, penetapannya melonjak hingga 20 kali lipat dari rata-rata tahunan.

Isu dominasi negara juga dikritik tajam oleh Erwin Dwi Kristianto dari Perkumpulan HuMa. Ia menjelaskan bahwa konsep ‘Hak Menguasai Negara’ dalam praktiknya justru melegitimasi perampasan ruang hidup masyarakat. “Hak menguasai negara itu sebetulnya ingin mematahkan terkait argument domeinverklaring zaman kolonial dan patut diduga masih ada hingga sekarang. Padahal di luar domein itu ada hutan dan tanah umum yang bukan dikuasai oleh raja” tegasnya.

Hal ini diperkuat oleh temuan FWI yang menunjukkan bahwa 1,66 juta hektare deforestasi (2021–2023) justru terjadi di kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. Ini menunjukkan bahwa pendekatan negara yang sentralistik dan berbasis klaim formal atas tanah justru mendorong konflik dan mempercepat deforestasi.

Sementara itu, Difa Shafira dari ICEL memaparkan temuan masyarakat sipil terhadap substansi draf revisi UU Kehutanan. “Materi yang akan saya sampaikan merupakan rangkuman dari catatan masyarakat sipil atas matriks uji konsep yang waktu itu sempat diujikan oleh Badan Keahlian DPR,” katanya.

Menyoroti hal itu, O.Z.S. Tihurua dari KORA Maluku membagikan pengalaman implementasi UU Kehutanan di lapangan. “Masyarakat mulai merespon ketika terjadi penancapan tapal batas kawasan hutan yang dilakukan pada tahun 2020-2022. Masyarakat kaget ketika penancapan tapal batas itu. Karena selama pembahasan terkait penunjukan kawasan taman nasional, Kementerian Kehutanan hanya membahas tentang taman nasional, melalui diskusi masyarakat setuju terkait dengan sebagian wilayah hutannya untuk dijadikan taman nasional” ungkapnya penuh penekanan.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwasannya “Padahal, berdasarkan dokumen yang kami dapatkan penunjukan kawasan hutan baik taman nasional, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi, dan hutan lindung itu seharusnya dilakukan secara bersamaan di tahun 80-an hingga 90-an. Tapi di tahun 2020 an masyarakat terkejut, bahwa hutan yang telah dikelola oleh masyarakat ternyata masuk ke kawasan hutan negara” ujar O.Z.S. Tihurua

Pengalaman di lapangan membuktikan bahwa masyarakat adat bukan ancaman bagi hutan, melainkan pelindungnya. Namun, selama sistem hukum masih menolak pengakuan formal atas hak mereka, maka ketimpangan ini akan terus berlangsung. Tanpa perubahan mendasar dalam UU Kehutanan, negara akan terus gagal memenuhi mandat konstitusi untuk mengelola hutan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Artikel ini telah terbit sebelumnya di pili.or.id dengan judul“Hutan Bukan Warisan Kolonial, PILI Kawal Revisi UU Kehutanan”, 1 Juli 2025