Belajar dari Masyarakat Adat Suku Moi Kelim Menjaga Keberlangsungan Keanekaragaman Hayati Alamnya

“Kami di sini adalah bagian dari Masyarakat Adat Suku Moi Kelim. Kami menjaga hutan. Di sini tidak boleh ada penebangan liar. Juga tidak boleh ada pembangunan-pembangunan lainnya.”

Inilah gambaran bagaimana Masyarakat Adat suku Moi Kelim di Kampung Klabili, Distrik Selemkai, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya memperlakukan hutan adatnya.

Dari Anis Kalami, seorang pemuda adat suku Moi Kelim di Klabili, ada sejumlah pantangan atau aturan adat yang dipatuhi oleh masyarakat terkait pemanfaatan hutan dan keragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Salah satunya, larangan mendirikan bangunan di dalam maupun di sekitar hutan.

Sebelum membuka atau mendirikan bangunan, Masyarakat Adat Moi Kelim wajib melakukan upacara adat. Ini merupakan cara mereka untuk berkomunikasi dengan leluhur dan meminta keselamatan dan perlindungan.

“Misalnya [ingin] membangun rumah atau bangunan yang lainnya di hutan, kami tidak asal tabrak [membangun] karena dapat menimbulkan hal yang tidak baik. Kami harus berpamitan [meminta izin] kepada leluhur di hutan,” kata Anis menambahkan. Kemudian proses ritual adat dilanjutkan dengan penyampaian kepada leluhur agar berkenan dipindahkan ke tempat lain, karena mereka percaya bahwa hutan menjadi tempat tinggal leluhurnya.

Arti Penting Flora dan Fauna bagi Masyarakat Adat

Selain karena menjadi tempat tinggal leluhur, masyarakat adat suku Moi di Kampung Klabili juga pantang berburu hewan di hutan, terutama spesies burung. Salah satunya, burung kasuari yang dijuluki oleh masyarakat adat sebagai hewan penanam pohon.

Sematan itu diberikan karena kasuari merupajan burung penyebar biji yang nantinya tumbuh menjadi pohon. Mengutip dari Mongabay Indonesia, dalam penelitian yang dilakukan oleh Stocker dan Irvine (1983) diketahui bahwa dalam satu tumpukan feses kasuari terdapat hingga satu kilogram biji dari 78 jenis tumbuhan dan 70 spesies di antaranya dapat berkecambah.

“Kami menjaga satwa di hutan, salah satunya hutan di Malagufuk, yang masih wilayah suku Moi Kelim. Kami patroli ke hutan. Jika melihat orang menangkap satwa kami akan lapor ke BKSDA [Badan Konservasi Sumberdaya Alam-Kementrian Kehutanan]. Setelah itu, kami bersama dari perwakilan kampung dan lembaga adat serta masyarakat adat melakukan pelepasan satwa ke hutan,” kata Anis.

Tidak hanya satwa, masyarakat juga tidak diperbolehkan menebang pohon di hutan. Salah satunya, pohon tali kuning atau pohon tali air karena pohon tersebut mengeluarkan air dari batangnya.

“Ada tali-tali [batang], itu biasa melingkar di pohon yang dapat mengeluarkan air. Biasanya di pohon besar dan bisa cari di Malagufuk,” kata Anis.

Anis Kalami memegang pohon tali kuning atau tali air. (KAOEM TELAPAK/Abu)

Pemanfaatan yang Berkelanjutan

Sejak beberapa tahun terakhir, Anis bersama pemuda adat lainnya terus mempertahankan nilai-nilai dan tradisi adat, demi menjaga keutuhan keanekaragaman hayati di hutan dalam wadah ekowisata berbasis komunitas. Kegiatan mereka bergerak dibawah naungan Sanggar Seni Budaya Alam Semesta Selemkai atau SALSES.

“Kami membuat program kerja. Berisi paket wisata di Selemkai. Seperti, berkemah dan birdwatching di hutan dan berkunjung ke kawasan pesisir di Pantai Della. Kami juga berencana untuk membangun pasar mama-mama,” kata Anis.

Burung Cenderawasih Raja. (dok. SALSES/Yoram)

Usaha ini dikelola secara berkelanjutan dengan menekankan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati. Seperti, melarang pengunjung menggunakan parfum saat memasuki kawasan hutan karena dapat mengganggu satwa, menyediakan tempat-tempat spot khusus berkemah yang jauh dari kawasan hutan dan mewajibkan pengunjung untuk membuang sampah di tempatnya.

Bersama SALSES, Anis dan pemuda adat Suku Moi juga mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Moi Kelim dari pemerintah. Sehingga, masyarakat adat memiliki posisi yang lebih kuat dalam melindungi wilayah adatnya dari pihak-pihak luar.

“Bagi kami hutan menjadi penopang kelangsungan hidup masyarakat adat seperti menyediakan air, sumber makanan, contohnya sagu, masyarakat adat juga berdaya secara ekonomi dari wisata alamnya. Jadi ketika hutan terjaga berarti masyarakat adat juga pasti akan hidup karena masyarakat hidup tidak terlepas dari hutan,” kata Anis.


FOTO: Burung Julang Papua atau Rangkong Papua. (dok. SALSES/Yoram)