Cerita dari Desa Benuang, Kecamatan Toho, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat
Oleh Sumiyati Suryani (ALPEKAJE)
Hari masih sangat pagi, matahari belum sepenuhnya bersinar ketika Ibu Moelan (54 thn) bersiap untuk pergi ke sawah. Perlengkapan sudah siap, ada arit dan parang dimasukan dalam ambin/terigai yang terbuat dari rotan, dan bekal untuk makan siang disawah.
Bu Moelan tidak sendiri. Ada beberapa tetangga yang sudah menunggu di luar. Mereka adalah kelompok aleatn yang beranggotakan 10 orang perempuan dan laki-laki. Hari itu, sesuai jadwal yang telah disepakati, mereka akan bersama-sama bekerja di sawah milik Bu Moelan. Sudah menjadi tradisi dan budaya turun-temurun mengelola pertanian secara aleatn (gotong-royong) demi ‘efisiensi tenaga kerja’. Aleatn dilakukan untuk berbagai jenis pekerjaan seperti di sawah mulai dari membersihkan lahan sampai panen padi; menanam bibit, menebas/membersihkan lahan karet; menugal di ladang jagung sampai panen, dan membersihkan lahan sawit. Selain itu aleatn juga dilakukan pada acara pernikahan dan kematian, mencari kayu api, mengumpulkan daun untuk membungkus nasi, mengambil sayuran dari kebun, dan memasak.
Kali ini yang mereka kerjakan di sawah Bu Moelan adalah menanam padi (biasa dilakukan bersama oleh perempuan dan laki-laki). Padi yang ditanan terdiri dari beberapa jenis, ada padi pandan wangi, padi merah, padi hitam dan padi pulut (ketan). Bibit-bibit padi ini mereka tanam secara terpisah berdasarkan jenisnya di petak sawah yang berbeda. Dari semua jenis padi yang ditanam, padi pandan wangi yang lebih banyak ditanan. Harga beras saat ini cukup tinggi, namun beras merah dan beras hitam masih sedikit masyarakat di kampung yang berminat mengkonsumsinya.
Selain bersawah, mereka juga aleatn di lahan kebun Bu Moelan yaitu menanam bibit karet. Karet yang ditanam adalah karet lokal, yang bibitnya saat ini lebih banyak diperoleh dengan cara okulasi. Kebetulan harga karet masih cukup baik, karena menoreh karet baru akan dilakukan saat harga sedang baik. Sebetulnya ada kecenderungan harga karet sering turun, dan ini yang menyebabkan sebagian petani mengganti pohon karet dengan tanaman sawit.
Mereka juga akan mengambil sagu yang masih tersedia di kebun. Sesekali mereka lakukan budidaya dengan mengambil tunas baru lalu dipindah-tanamkan. Namun budidaya tanaman sagu ini semakin berkurang karena keterbatasan lahan, karena hutan semakin terbuka dan masyarakat saat ini lebih banyak menanam sawit. Padahal banyak yang bisa dimanfaatkan dari tanaman sagu: dikonsumsi umbutnya atau bakal daun muda, setelah besar diambil batang sagunya untuk dioleh menjadi pati/tepung sagu, sisa batang yang tidak mengandung pati dibiarkan saja selama satu bulan sampai muncul ulat sagu yang memiliki kandungan protein tinggi. Ini semua dilakukan oleh perempuan, sementara laki-laki akan memproses pengolahan daun tanaman sagu untuk digunakan sebagai atap rumah.
Tanaman lain yang biasa digarap di kebun adalah enau, yang merupakan salah satu tanaman endemik Kalimantan. Tanaman enau membutuhkan lingkungan yang masih bagus dan sumber air yang cukup. Ibu Moelan dan kawan-kawannya punya peran dalam menjaga keberlanjutan budidaya enau karena tangan-tangan merekalah yang membuat gula enau/aren yang diperlukan terutama untuk membuat tumpi untuk upacara atau ritual adat dan pesta pernikahan, selain tentunya untuk dipasarkan. Tantangan yang dihadapi tanaman enau sama dengan sagu, yaitu semakin menyempitnya lahan untuk melakukan budidaya, sehingga saat ini hanya bisa memanfaatkan tanaman lama.
Selain di kebun, ada pula kegiatan di sawah. Padi sawah yang ditanam adalah varietas unggul (usia tanam 3 bulan), padi merah, padi hitam dan padi pulut (ketan). Selain untuk konsumsi keluarga, kelebihan dari hasil panen akan dijual agar bisa mengganti biaya produksi. Untuk menjaga keberlanjutan benih, Ibu Moelan dan kawan-kawan petani perempuan mengambil peran mulai dari proses pemisahan biji padi, memilih bulir dengan diirit atau diinjak dengan kaki supaya biji beras yang didalam padi tidak patah. Setelah itu dijemur dengan meletakkan beberapa helai daun jeruk yang antara lain berfungsi sebagai penanda bahwa padi sudah siap diangkat dan siap disimpan jika daun jeruk sudah layu (karena untuk benih hanya perlu mengeringkan kulit padi saja bukan sampai biji beras – dalam bahasa lokal: karikng bulu). Daun jeruk juga berfungsi sebagai pestisida alami untuk mencegah benih terkena kutu padi. Benih disimpan sama seperti menyimpan hasil padi lainnya yaitu di dalam karung dan yang memeliharanya adalah ibu-ibu di rumah (dulunya benih disimpan di dalam lumbung namun sekarang mereka simpan di dapur).
Pemulihan benih terkadang tidak dapat dilakukan jika sudah terlihat banyak ketidakseragaman pada tanaman padi baik itu secara fisik bulir padi maupun pada tinggi rendahnya batang padi.
Kondisi ini terjadi setelah 5 sampai 6 kali tanam (pada benih berlabel biru).
Ada satu ritual yaitu pesta naik dango, ini adalah ritual mensyukuri berkat yang diberikan oleh sang pencipta dengan mempersembahkan hasil panen. Dalam acara ritual adat biasanya lebih banyak laki-laki yang berkumpul di ruang pertemuan, sementara perempuan lebih banyak berperan menyiapkan masakan dan bahan-bahan untuk acara adat/doa-doa, serta acara tarian. Dalam proses ini ada juga ritual memberkati benih yang akan ditanam pada periode budidaya selanjutnya. Persiapan benih lebih banyak disiapkan oleh perempuan.
Selain dilakukan secara ritual adat tradisional, ritual ini mengalami transisi dengan memohon atau mempersembahkan padi pada ibadah atau sembayang keagamaan. Banyak peran yang dapat diambil oleh perempuan seperti Ibu Moelan dan perempuan lain, namun banyak pula tantangan yang harus dihadapi seperti berkurangnya lahan pertanian dan juga berkurangnya ketersediaan air di alam akibat konversi lahan. Ibu Moelan dan kawan-kawan akan terus memelihara yang tersisa, sambil berharap akan terjadi penghentian konversi dan degradasi lahan dan hutan.
FOTO: Kegiatan Menugal anggota kelompok dan masyarakat di Desa Benuang. (Sumiyati Suryani/ALPEKAJE)