Wolas Krenak, Uslina Monim (personil Mambesak) turut bernyanyi dalam Pembukaan Menoken Mambesak dan HUT Mambesak ke-46 Tahun 2024 di Halaman Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura. (SAMDHANA/Anggit)
Oleh Anggit Saranta
Thontje Wolas Krenak masih kukuh menyimpan ingatan. 46 tahun lalu ia adalah saksi kesepakatan Arnold Ap, Sam Kapissa, Yoel Kafiar, Eddy Mofu, Martiny Sawaki dan 42 individu lainnya mendirikan grup seni musik dan budaya Mambesak. Kelompok musik Papua yang berakar pada lagu-lagu dan tarian rakyat, dan menampilkannya dalam bentuk nyanyian dengan iringan Ukulele, Tifa, Bas, dan Gitar. Ia merasa energinya kembali saat Oyandi, Fakala dan Hegateri menyanyikan karya-karya Mambesak pada pembukaan Menoken Mambesak, sekaligus peringatan HUT Mambesak ke-46 tahun 2024 di halaman Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua, 5 Agustus 2024.
Mambesak dalam Bahasa Wos Byak (Bahasa Biak), ‘Man’ yang artinya burung dan ‘Besak’ artinya menyala atau bercahaya (burung Cenderawasih), karena keindahannya dan hanya ada di Papua, lantas disepakati nama dari grup tersebut adalah Manbesak, dan mejadi symbol dari kekayaan dan kejayaan tanah Papua. Simbol yang muncul berkat merdunya suara dari burung cenderawasih, yang kemudian mereka uraikan melalui nyanyian lagu lagu tentang lingkungan hidup dengan pelestarian alam.
Wolas Krenak tak bisa menyembunyikan kegembiraan yang terpancar di wajahnya. Apa yang telah dimulai sejak 46 tahun lalu bersama Mambesak, masih terus berlangsung. Rasa bahagia bahwa musik Papua dengan 250 suku dan tujuh wilayah budaya tetap dinyanyikan dengan semangat oleh generasi muda Papua. “Kami menyanyi supaya Republik ini juga bisa menyanyikan lagu-lagu dari Papua. Kenapa? karena Garis Besar Haluan Negara dalam UUD 45 katakan, kebudayaan daerah itu menjadi puncak kebudayaan nasional, sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika” katanya.
Ia menegaskan tak hanya “Yamko Rambe Yamko” dan “Apuse” saja. Papua memiliki tarian, lagu-lagu yang dinyanyikan, ribuan patung yang dibuat dan ribuan noken yang dianyam. Bahkan, tabuhan Tifa kini sudah banyak digunakan, khususnya di tanah Papua untuk pembukaan acara-acara, menggantikan gong.
“Saya senang sekarang banyak orang menyanyikan lagu Mambesak. Para pemuda menyanyi lagu Mambesak, menyanyi untuk tanah ini. Menyanyi untuk tanah ini, menjadi berkat yang luar biasa. Mambesak ini menjadi kekuatan, salah satu yang memberi spirit untuk semua. Mambesak-Persipura-Black Brothers,” terang Wolas Krenak, pengurus Bidang Seni dan Tari Group Mambesak.
Spirit yang terasa kental begitu Oyandi, kelompok musik folk dari Kampung Tamakuri, Distrik Sawai, Kabupaten Mamberamo Raya, tampil membawakan lagu-lagu Mambesak seperti “Piruje” (Nabire), “Awino Sup Ine” (Biak), “Syabo Motira” (Kaimana), “Kemim Wambu”, “Kenate Derane” (Jayapura) dan lainnya. Nyaris seluruh masyarakat yang hadir di halaman Musium Loka Budaya sing a long dan bernyanyi bersama. Tak terkecuali Wolas Krenak dan Uslina Monim, diantara anggota Mambesak lain yang hadir, bahkan turut bernyayi dan menyaikan satu lagu dengan iringan Tifa.
Nelius Kawaki, pendiri kelompok Oyandi adalah satu dari sekian banyak pemuda Papua yang mengagumi dan meneruskan karya-karya Mambesak. Menjadikannya sebagai inspirasi dan spirit bagi generasi sampai hari ini dengan semboyan “Menyanyi dulu, kini dan nanti”. Sejarah karyanya harus ada yang meneruskan, agar budaya Papua tetap dilesatarikan. “Dulu mereka sering menyanyi, kini ada generasi yang melanjutkan, sehingga pesan-pesan Mambesak kita lestarikan, kita nyanyikan terus berulang-ulang,” katanya.
Enrico Yori Kondologit, kurator Musium Loka Budaya Uncen mengayunkan langkahnya perlahan, menyisir tepi beranda Musium yang menjadi panggung utama. Tatapannya tak lepas dari para pengunjung halaman musium yang sebagian tersebar di berbagai sudut kawasan Uncen, Jayapura. Helaan nafas terdengar lirih, seperti menunjukkan gemuruh keharuan.
Dalam sambutannya ia memaparkan bahwa hari kelahiran Mambesak dari tahun ke tahun selalu dirayakan dengan inisiatif penyelenggaraan bersama. Khusus tahun ini, Samdhana Institute hadir mengenalkan Menoken dan komunitas Menoken, bersama-sama dengan Yayasan Anak Dusun Papua (YADUPA) dengan program masyarakat pribumi, maka disepakati kolaborasi Menoken Mambesak. Kegiatan bersama yang menjadi wujud bahwa Noken bukan hanya sebagai benda kebudayaan material, tetapi noken memiliki nilai filosofi yang tinggi di dalam kebudayaan Papua.
“Kita sebenarnya sedang merajut kerja-kerja kebudayaan untuk tidak boleh kerja satu atau dua orang, tapi kerja harus secara kolektif dan itu ide dasar yang sudah diletakkan oleh Mambesak dengan bukti dari 40 anggota Mambesak itu terdiri dari berbagai macam suku di tanah Papua, dan semua lagu dikeluarkan mulai dari volume satu sampai empat itu dari berbagai macam daerah,” kata dia.
Perayaan HUT Mambesak tahun lalu ada tujuh kolaborator, pada penyelenggara tahun ini Samdhana turut hadir dan mendukung terjadinya aksi budaya tersebut. “Kami berharap tahun-tahun berikutnya bertambah penyelenggara sehingga pengakuan terhadap ekspresi budaya itu lebih banyak dan itu yang kita inginkan,” katanya.
Enrico juga mencatat, bahwa 46 tahun lalu Mambesak sudah membayangkan hutan Papua akan mengalami perubahan fungsi dan penurunan luasan akibat masifnya pembangunan yang merusak lingkungan. Simak saja pada lagu tentang hutan Sagu yang sewaktu-waktu akan hilang. “Makanya mereka (Mambesak) ini sudah punya visi yaitu adalah kita menyanyi dahulu, kini, dan nanti. Karena mereka tahu dan sudah memperkirakan masa depan dengan masuknya transmigrasi, pembangunan, kebutuhan akan tanah, tak lupa juga mereka selalu menampilkan slogan Papua bukan tanah kosong dan tanah itu tidak bertambah yang bertambah itu manusia. Kebutuhan akan tanah itu semakin tinggi, maka ruang-ruang hidup termasuk di dalam Hak Asasi Manusia (HAM) terancam dan bukan saja secara fisik tapi terancam secara budaya seperti hilangnya lagu dan benda-benda kebudayaan,” ujarnya.
Pada akhirnya spirit dan motivasi itu mampu menggerakkan segenap elemen untuk menggelar peringatan HUT Mambesak dari tahun ke tahun, hingga pelaksanaan ke-46 tahun 2024. Yaitu dengan Menoken Mambesak.
Menoken sejatinya berangkat dari kata noken, tas yang dibuat perempuan Papua menggunakan bahan alam, seperti serat pohon, kulit kayu, atau daun yang diproses menjadi benang yang kuat. Benang-benang tersebut kemudian diikat atau dianyam menjadi sebuah tas.
Oleh komunitas menoken, kata noken yang semula wujud kata benda digerakkan menjadi kata kerja dengan aktivitas menoken. Sebuah gerakan dari nilai-nilai atau filosofii noken itu sendiri. Noken adalah kasih kerahiman. Kasih itu adalah kekuatan yang bersumber dari tindakan kepedulian, solidaritas, kelenturan, keterbukaan, transparansi, dan keberdayagunaan. Seperti sebuah rahim, noken melindungi dan merawat kehidupan, memberi cinta. Menoken adalah penyembuhan, penyatuan, dan pendamaian.
“Menoken adalah praksis dari noken. Merayakan pengetahuan, keindahan, karya dan kreativitas dalam kebersamaan dan solidaritas,” terang Ambrosius Ruwidrijarto dari Samdhana.
Menoken Mambesak muncul dari diskusi bersama dengan para pelaku seni-budaya, nilai semangat menoken dan Mambesak dapat merengkuh dan menghidupi nilai-nilai dan cara hidup menurut Filosofi Noken, spiritualitasnya, karena keselamatan dan kesejahteraan manusia, alam semesta, benda yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, semua saling terhubung, sebagaimana setiap utas saling terhubung dan terajut menjadi sebuah noken.
Ruwi beranjak dari tempat duduknya, sesaat setelah Habel Sawaki, host dialog budaya melempar pertanyaan mendalam apa itu Menoken. Ia pun mulai merinci perjumpaannya dengan Noken yang lantas bersambut dengan kegiatan Menoken yang telah berlangsung di berbagai tempat dalam empat tahun terakhir. Jawa, Papua, NTT, Sumatra hingga Timor Leste dan Los Angeles telah berlangsung Menoken dalam wujud berbagi cerita, berbagi sumberdaya yang saling terbuka yang lantas menumbuhkan rasa saling percaya. Menoken juga telah membuat banyak komunitas, masyarakat adat dan komunitas lokal saling terhubung tanpa batasan formal. Perjumpaan santai tanpa agenda setting, menumbuh kembangkan pengetahuan masing-masing peserta Menoken.
“Noken dan Menoken, telah tumbuh dan berkembang. Menjadi sumbangsih Papua untuk Nusantara bahkan dunia,” jelasnya.
Malam semakin larut, nada-nada Mambesak masih membahana bersama Hegateri, kelompok musik yang terdiri dari siswa-siswi muda Jayapura yang menutup panggung musik akustik. Barisan penonton sedikit bergeser ke samping panggung, tempat berlangsungnya pemutara film Papua yang didaulat langsung oleh Max Binur dari Mabesakologi. Sementara peserta menoken lainnya telah mendirikan tenda di halaman samping Musium Loka Budaya.
Begitulah budaya Mambesak yang telah membawa mereka untuk berkumpul dan saling terjalin. Sederhana, namun sarat makna.