Penulis bersama Yolan dan mama-mama ORPA Namblong. (dok. Tanissa)
Oleh Tanissa Puti Rahmadiva
Seperti selalu ada yang memanggilku untuk ke Papua dan aku terus mencari tahu apa yang memanggilku. Dalam benakku, aku selalu mengagumi Masyarakat Adat Papua yang menurutku sangat khas dan berkarakter. Aku sangat ingin bertemu dengan saudara-saudaraku dari kawasan timur Indonesia, tepatnya Papua.
“Sentani Jayapura”, tulisan yang terpampang jelas ketika aku turun dari pesawat, suatu hal yang selalu dinantikan dan terasa seperti mimpi. Ya! untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke tanah surga Papua. Sesaat aku memandang sekitar dan menarik nafas panjang untuk menghadirkan diriku seutuhnya disini. Baiklah, perjalananku dimulai dan aku akan mengetahui apa yang memanggilku untuk ke Papua.
Agendaku hari pertama adalah bertemu staff lainnya dan membantu persiapan untuk acara hari ulang tahun gerakan Menoken Mamta, suatu jaringan antar komunitas yang membentuk ikatan satu sama lainnya, saling berbagi isi noken, seperti filosofi noken (kerajinan dari akar pohon khas Papua) yang saling terhubung, transparan, kokoh, dan dapat menampung banyak ilmu serta pengalaman. Namun kegiatan tersebut diundur ke hari esok, sehingga saat itu aku teringat akan suatu tempat yang sering disebut sebagai “Hena Uakhe Imea” atau Community Learning Center (CLC) di Distrik Sentani. Ada apa di Hena? Intuisiku mengatakan untuk kesana. Lalu aku mendapatkan kontak Mama Agustha Kopeuw dari salah satu team utama Menoken Mamta .
Sesampainya di Hena, aku melihat hutan yang asri dengan air sungai yang jernih ditengah-tengah kota Sentani, betapa lestarinya dan terjaga. Lalu ada seorang Mama yang menyambutku dengan kehangatan dan memelukku, seolah-olah aku adalah anaknya yang baru pulang setelah sekian lama, ialah Mama Agustha Kopeuw. Aku diajak keliling Hena dan mendengarkan mama bercerita banyak ditemani gemercik sungai yang menenangkan. Ternyata seseorang yang menyambutku dengan hangat itu adalah wanita hebat penggerak wanita didaerahnya, melalui spiritnya dalam melestarikan lingkungan dan karyanya dalam membuat berbagai kerajinan dari bahan alam. Mama mengalungiku noken buatannya kepadaku, dan ia berkata “Ini untukmu nak, agar kamu pulang selalu ingat Mama dan berkunjung kembali kesini”.
Keesokan harinya aku akan berkunjung lagi ke Mama dan mendapatkan pesan singkat dari Mama.
“Selamat pagi , Nisa. Semoga harimu baik dan hatimu senang berada di Sentani. Siap mama ada dirumah”.
Sejak mengenal Mama, aku merasa tidak sendiri di Sentani, aku menemukan tempat untuk pulang. Aku mengajak Mama dan Merlyn, salah satu Nokener Mamta untuk berkeliling Jayapura. Tiada hari tanpa papeda kuah kuning kakap merah, makanan kesukaanku dan akan selalu dirindukan dari Papua.
Perjalanan masih berlanjut, kali ini tujuanku ke Masyarakat Adat suku Namblong, perjalanan yang menyenangkan disuguhi dengan pemandangan savana bukit dan danau Sentani yang memanjakan mata. Namun, untuk sampai kesana tidaklah mudah karena tidak ada sinyal internet sehingga tidak bisa melihat melalui peta, dan tidak ada guide lokal, sehingga aku dan pak supir sedikit berpetualang untuk menemui perempuan yang memiliki semangat tinggi dalam pendidikan dan menjadi pengajar di Sekolah Budaya dan Sekolah Alam di daerahnya.
Akhirnya aku menemukan berlian tersembunyi, mereka adalah Yolanda Anadie Nasadit atau sering disapa Yolan dan Piternela Wouw atau sering disapa Nela. Yolan, mengajar di Sekolah Budaya Injo Yamo yang memiliki arti tempat belajar di distrik Nimboran, sekolah yang didirikan oleh ORPA (Organisasi Perempuan Adat) Namblong yang dipimpin oleh Mama Rosita ini berdiri dengan semangat perempuan-perempuan adat dalam melestarikan kebudayaan Namblong , dari mulai bahasa, kearifan lokal hingga tarian tradisionalnya. Ditengah keterbatasan dan jauh dari kota, Yolan memiliki minat dalam mempelajari ilmu komputer, untuk memajukan daerahnya dan mengajarkan ilmu komputer ke anak-anak sekitarnya yang berguna bagi pengelolaan administrasi sekolahnya. Perempuan yang bercita-cita ingin menjadi guru itu merupakan pengajar termuda yang berada di Sekolah Budaya Injo Yamo, karena semangatnya dalam berbagi ilmu kepada anak-anak sekitar.
Nela, mengajar di Sekolah Alam Yombe Yawa Datum di Distrik Nimbokrang, sekolah yang dikelilingi oleh pohon yang rindang. Semangat Nela begitu tercermin dari kefasihannya berbahasa Adat Suku Namblong dan mengajarkannya kepada anak-anak sekitarnya.
Kala itu, aku duduk di suatu pondok dekat dengan sekolahnya, Perempuan dengan hati yang bersih itu meneteskan air mata, menceritakan kisah kelamnya tiga tahun yang lalu mendapatkan perlakuan buruk berupa kekerasan fisik dan mental dari mantan suaminya. Akupun meminta izin untuk membagikan kisahnya.
Sebagai sesama perempuan hatiku terenyuh mendengarkan cerita Nela saat itu. Nela berkata “Biarlah apa yang sudah terjadi, tetap berbuat baik kepada sesama. Biarlah apa yang ku alami, Tuhan yang akan balas semuanya”.
Hal itu tidak menyurutkan semangat Nela dalam meningkatkan keterampilannya. Kemudian aku mengajak Nela ke salah satu wisata yang tidak jauh dari tempatnya untuk menghibur hatinya yang lara, yaitu Kali Biru. Airnya yang dingin dan jernih sangat menenangkan.
Seperti selalu ada yang memanggilku untuk ke Papua dan akhirnya aku mengetahui apa yang memanggilku, yaitu tokoh-tokoh perempuan pelopor pendidikan dan lingkungan disana.
Aku sangat beruntung mendapatkan kesempatan untuk bertemu para perempuan hebat yang akan selalu kuingat kebaikan dan semangatnya, mereka sudah seperti keluarga bagiku. Pada hari dimana aku pulang dari Papua, ada hal yang sangat ku rindukan untuk kembali lagi berkunjung ke tanah surga Papua, yaitu mereka.
Terimakasih orang-orang baik! Semoga baik masa depanmu, sebaik hatimu terhadap sesama, menjadi pemimpin panutan bagi kemanusiaan.