Gerakan Damai Mama Sorgum Menjaga Biodiversitas

Maria Loretha dan sorgum di rumahnya di Desa Pajinian, Adonara Barat, Flores Timur. Selasa, 6 Februari 2024. (Shinta Maharani)

Dia dijuluki sebagai Mama Sorgum, ibu dari gerakan komunitas pangan lokal di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Selama 17 tahun, Maria Loretha memperjuangkan kedaulatan pangan, pertanian berkelanjutan, melestarikan benih lokal, dan bekerja keras mendampingi komunitas perempuan di pulau-pulau terpencil yang tandus.

Ibu dari lima anak ini konsisten mengajak orang untuk memanfaatkan lahan tidur dan menjaga keanekaragaman hayati supaya lahan pertanian tidak hanya menggunakan cara budidaya monokultur atau menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Ia mengingatkan pentingnya pangan lokal dan biodiversitas yang membantu melestarikan tradisi NTT dan mengatasi dampak perubahan iklim untuk kehidupan seluruh makhluk hidup yang lebih baik.

Siang hari pada pekan pertama Februari 2024. Dari beranda dapur beratapkan ilalang dan berdinding kayu yang sebagian terbuka di Desa Pajinian, Adonara Barat, Flores Timur, Maria Loretha sedang memasak bubur sorgum bersama anak bungsunya, Ily dan anggota Yayasan Agro Sorgum Flores (Yasores). Bau harum menguar dari bubur panas berkelir cokelat itu. Satu gelas bulir-bulir sorgum memenuhi kebutuhan lima orang, dua anjing, dan tujuh kucing. “Sorgum makanan sehat kaya protein. Bagus untuk kesehatan kami,” kata Mama Loretha, sapaan akrab Maria Loretha.

Riset Institut Pertanian Bogor menunjukan sorgum merupakan tanaman biji-bijian (serealia) yang menghasilkan biji dengan kandungan karbohidrat yang setara padi tetapi dengan berbagai keunggulan yang dapat menjadikannya karbohidrat sehat. Biji sorgum mengandung protein, vitamin B dan zat besi yang lebih tinggi dari beras. Sorgum dapat membantu mengatasi masalah kekurangan zat gizi pada sebagian masyarakat Indonesia.

Kandungan pati sorgum sebagian berupa resistant starch yang tidak mudah dicerna sehingga dapat mengenyangkan lebih lama tanpa menambah kalori. Sorgum juga mempunyai indeks glikemik antara 50-60 yang lebih rendah dari beras dari padi sehingga tidak cepat menaikan gula darah.

Biji sorgum terutama yang berwarna mengandung senyawa fenolik tinggi yang berfungsi sebagai antioksidan. Biji sorgum menghasilkan karbohidrat yang bebas gluten sehingga dapat dimanfaatkan menjadi pangan bebas gluten bagi difabel autis. Tepung dari biji sorgum juga dapat diolah menjadi berbagai makanan berupa roti maupun kue kering yang bebas gluten dan berprotein tinggi.

Menanam sorgum juga menguntungkan petani karena membantu konservasi tanah. Lahan tidak harus diolah kembali untuk menanam ulang. Sorgum hemat penggunaan air. Selain dikonsumsi manusia, sorgum juga bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Mama Loretha menyimpan bulir-bulir sorgum hasil penggilingan dan sorgum yang masih ada tangkainya di dapur. Sebagian bulir-bulir yang memenuhi wadah dari bambu ia jemur di bawah terik sinar matahari. Minat perempuan berusia 55 tahun itu melestarikan benih lokal bermula dari sebuah pertemuan para petani dan nelayan yang diinisiasi sejumlah organisasi non-pemerintah di kampung Hokeng Jaya Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur pada 2010.

Pertemuan itu mengumpulkan petani cokelat, padi, kopi, dan komunitas konservasi. Dalam suatu sesi diskusi, rohaniwan Katolik, Pater Petrus Nong Lewar, SVD atau dikenal sebagai Pater Piet Nong memperkenalkan pangan lokal dalam forum itu. Maria Loretha mengenang Pater Piet Nong menceritakan dongeng-dongeng tentang benih lokal yang muncul dari legenda Tonu Wujo. Cerita itu berasal dari suku Lamaholot yang mendiami Flores Timur, Pulau Adonara, Lembata hingga Alor.

Konon ada seorang perempuan yang mengorbankan dirinya agar semua anggota keluarganya tidak mati kelaparan saat musim kemarau melanda hingga mendatangkan paceklik. Tonu Wujo kemudian merelakan dirinya untuk berkorban agar semua anggota keluarganya selamat dari bencana kelaparan. Sebelum pengorbanan terjadi, Tonu Wujo berpesan setelah dia mati akan tumbuh semua jenis tanaman pangan. Kemudian munculah berbagai tanaman pangan dari tubuhnya yang terbaring di ladang.

Darahnya menjadi padi, tulang belulangnya menjadi sorgum atau dalam bahasa Lamaholot disebut sebagai Wata Belolong karena dia tumbuh tinggi seperti tulang-tulang. Ususnya menjadi jewawut, dan rambutnya menjadi jagung. Darahnya menjadi padi atau Besi Pare Tonu Wujo. Hingga kini, Besi Pare Tonu Wujo menjadi benih andalan warga Flores Timur. Bagi masyarakat setempat, benih lokal lebih tahan hama dan tahan lebih lama disimpan dalam waktu yang lama.

Dari situlah, Maria Loretha yang semula bercita-cita menyelamatkan benih lokal termotivasi mengembangkan sorgum lebih jauh. Pada April 2007, Maria Loretha bertandang ke rumah tetangganya, Maria Helan. Maria menghidangkan bubur sorgum yang rasanya sangat enak. Lalu dia meminta benih sorgum kepada Maria Helan untuk dia tanam.

Loretha juga berburu benih ke sejumlah desa di Flores Timur. Rupanya benih sorgum sulit dicari dan nyaris hilang. Dia mendapatkan informasi dari kawan suaminya bahwa di Desa Nobo, Ile Boleng ada benih sorgum. Maria terkejut melihat ladang yang ditumbuhi sorgum merah sedang berbulir. Dia kemudian meminta bibit kepada seorang petani di sana. Semula petani tersebut menolak memberikan. Loretha tak menyerah. Dia terus mendekati petani tersebut hingga dia mendapatkan benih. Loretha berjanji kelak akan membagi-bagikan benih kepada petani.

Dukungan Keuskupan Larantuka dan Komunitas Petani

Sorgum di Desa Pajinian, Adonara Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. (Shinta Maharani)

Gerakan Loretha melestarikan benih lokal sorgum mendapat perhatian Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka atau Yaspensel, yayasan di bawah naungan Keuskupan Larantuka. Yaspensel bergerak dalam pendampingan ekonomi umat Katolik yang kemudian diperluas tidak hanya umat Katolik, melainkan juga umat lainnya. Lembaga di bawah naungan gereja Katolik itu meminta Loretha membantu Yaspensel mengembangkan ekonomi umat dengan menanami lahan-lahan kering dan tandus. Jaringan Loretha yang luas dengan organisasi non-pemerintah membuat dia mendapatkan kepercayaan sebagai manajer program.

Suatu hari, Loretha menemui Uskup Monsinyur Frans Kopong Kung Pr untuk meminta izin masuk ke Pulau Solor. Namun, uskup malah menugaskan Loretha masuk ke kampung Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong karena uskup punya misi mengembangkan daerah terpencil. Likotuden saat itu merupakan kampung yang tandus. Tanahnya berupa bebatuan yang sulit untuk ditanami. Loretha menerima penugasan uskup dengan gemetar. Dia kemudian memantapkan tekad untuk sosialisasi ke kampung Likotuden.

Masalahnya, Loretha mendapatkan penolakan dari warga yang meragukan sorgum bisa tumbuh di sana. Penolakan itu terjadi tatkala dia berjumpa dengan warga dalam suatu pertemuan. Dia harus bolak-balik datang ke lokasi untuk menjelaskan kepada warga setempat. Dengan suara yang tegas, Loretha meyakinkan warga bahwa bibit sorgum bisa tumbuh. Saya punya keyakinan di balik batu simpan kelembapan dan air. Sorgum hanya butuh sedikit air,” kata Loretha.

Likotuden kini justru menjadi kampung yang sukses menanam sorgum dan menjadi pilot project. Kampung terpinggirkan di Flores Timur ini semula kering dan tandus. Lahan kering itu tak bisa ditanami pisang, kelapa, jagung dan tanaman lain. Satu-satunya tanaman yang bisa tumbuh saat itu hanya lamtoro. Loretha berhasil meyakinkan warga hingga mereka ramai-ramai menanam benin sorgum pada 27 November 2014 seluas tujuh hektare.

Cerita penolakan penanaman sorgum di Likotuden dikuatkan oleh Direktur Yaspensel, Romo Benyamin Daud, 53 tahun. Dalam pertemuan dengan warga, Romo Benya, sapaan akrabnya menggali pengalaman warga tentang Sorgum yang punya bahasa lokal Wata Blolong. Dia mendapatkan cerita bahwa orang-orang sepuh pernah mengonsumsi sorgum. Tapi, sorgum kemudian hilang karena adanya revolusi hijau yang digulirkan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru berkuasa. Revolusi hijau menekankan pada swasembada pangan, khususnya beras.

Di tengah-tengah menggali cerita itulah muncul penolakan terhadap ide untuk menanam sorgum pada ladang-ladang yang tandus. Warga menganggap sorgum telah punah dan tidak yakin bisa tumbuh. “Mereka sangat keras menolak,” kata Romo Benya.

Bersama Loretha, Romo Benya terus meyakinkan mereka. Sebagai pastur, romo duduk dan mendekati warga yang menolak. Lambat laun mereka mau mendengarkan. Romo Benya dan Loretha kemudian membagikan benih sorgum untuk ditanam. Hasilnya sorgum tumbuh subur tanpa menggunakan pupuk sama sekali. Pada panenan pertama, mereka bisa menghasilkan 100 ton sorgum. Setiap kepala keluarga rata-rata memanen dua ton sorgum. Selain dikonsumsi warga, Yaspensel menawarkan untuk membeli sorgum mereka supaya warga semangat menanam. Kini, Likotuden menjadi daerah yang sukses menanam sorgum. Warga memanfaatkan sorgum menjadi makanan olahan serta pakan ternak sapi dan babi.

Yaspensel punya banyak program pengembangan ekonomi masyarakat, salah satunya pangan lokal. Menjelang paskah, gereja Katolik bahkan memiliki tema khusus yakni kembali ke pangan lokal. Perjuangan Loretha terus menerus mendapat sokongan Romo Benya sejak sebelum dia menjadi Direktur Yaspensel. Tahun 2011, Romo Benya bertugas di Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka. Pada 2011 ia pertama kali bertemu dengan Loretha di kampung Watowiti, Flores Timur. Saat itu Romo Benya diminta untuk memberkati benih.

Tahun 2014, keusukupan menugaskan Romo Benya sebagai Direktur Yaspensel dan mendapat tugas untuk mencari perwakilan umat yang bergerak dalam bidang pangan lokal. Sejak saat itulah, Romo Benya meminta Loretha untuk membantu Yaspensel. Loretha bertugas sebagai manajer program. “Ibu Loretha punya kekuatan mendampingi komunitas,” kata Romo Benya.

Wilayah pendampingan Loretha kini semakin bertambah. Dia mendampingi komunitas petani yang sebagian besar anggotanya adalah perempuan. Mereka tersebar di Kecamatan Bajawa dan Mbay di Flores, Lembor, Manggarai Barat, Nangapanda, Ende, Lembata, Sumba Timur, dan Pulau Sabu. Loretha mendatangi satu per satu komunitas di daerah-daerah pelosok yang sulit air, minim penerangan listrik, dan jalan yang sulit dilalui.

Dalam tradisi orang Flores, Suku Lamaholot menempatkan peran perempuan pada posisi penting. Perempuan dalam tradisi Lamaholot disebut Lera Wulan Tana Ekan yang berarti sang pencipta yang tertinggi. Perempuan bukan sekadar melahirkan dan merawat anak-anak, melainkan memelihara seluruh kehidupan. Mereka menyiapkan makanan, air, dan seluruh kebutuhan rumah. Dalam berbagai ritual adat, misalnya kematian, perempuan punya posisi penting.

Perempuan digambarkan sebagai Besipare Tonu Wujo, menyimbolkan kehidupan atau ibu bumi. Perempuan sebagai ibu bumi melahirkan kehidupan. Perempuan punya kuasa atau mengambil keputusan saat bertani di ladang, berkebun. Kuasa perempuan itu misalnya sejak mulai menyiapkan benih, menanam, menyimpan benih, merawat kebun, memanen, menumbuk, dan menjual hasil panen ke pasar hingga menghidangkan makanan di meja makan. “Tidak boleh sembarang orang. Perempuan memagang kuasa soal pangan,” kata Loretha.

Meski perempuan menjadi simbol yang kuat, tapi dalam praktek keseharian mereka harus menghadapi serangkaian tantangan dalam budaya patriarkiyang masih kuat di NTT. Sylvia Walby dalam buku berjudul Theorizing Patriarchy menyebutkan patriarki sebagai sistem struktur sosial dan praktek di mana laki-laki lebih mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Patriarki terdiri dari enam struktur yaitu mode reproduksi patriarki, relasi patriarki pada pekerjaan dengan upah, relasi patriarki dalam keluarga, kekerasan laki-laki, relasi patriarki berhubungan dengan seksualitas, dan relasi patriarki dalam lembaga budaya.

Loretha mencontohkan budaya patriarki yang masih kental di Flores, misalnya anak laki-laki dalam keluarga kerap diutamakan ketimbang anak perempuan ketika hendak melanjutkan sekolah. Selain itu, patriarki juga muncul dalam sejumlah ketentuan adat. Dalam adat perkawinan, dikenal syarat penyerahan gading gajah sebagai mahar bagi perempuan yang menjadi taruhan. Sejumlah ritual adat tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Situasi yang tidak setara itu membuat mereka harus bernegosiasi. “Seperti ada pertentangan bahwa tradisi mengakui perempuan setara. Tapi, dalam kenyataannya perempuan tidak di depan,” ujar Loretha.

Dia mengamati situasi itu saat diundang dalam sejumlah acara ritual adat, misalnya ritual membuka kebun, memanggil hujan, dan syukuran warga yang membeli kapal laut. Loretha yang merupakan keturunan masyarakat adat Dayak menyebutkan tak pernah minder ketika duduk bersama para ketua adat yang merupakan laki-laki. Sebagai keturunan Suku Dayak, Loretha tak pernah punya masalah dengan warga keturunan Suku Lamaholot. Orang Flores menurut dia terbuka terhadap orang dari suku lainnya.

Dalam pertemuan-pertemuan itu, ia banyak mendengar Loretha kerap melihat peran-peran perempuan lebih banyak di dapur, bukan mengambil keputusan. Dalam pesta adat, laki-laki biasanya menyantap makanan terlebih dahulu dan perempuan belakangan. Menurut Loretha, tidak mudah bagi perempuan untuk mendobrak tatanan patriarki yang menyebabkan ketidaksetaraan. Dalam setiap pertemuan di sejumlah komunitas perempuan petani, Loretha seringkali menyelipkan pesan pentingnya berbagi peran dengan suami atau pasangan hidup.

Bersama suaminya, Jeremias Letor, Loretha saling berbagi peran dalam mengurus keluarga agar beban tidak ditanggung oleh salah satu pihak. Di sela mengurus program Yaspensel maupun Yasores, Loretha tetap mengurus dapur. Dia memasak hingga menghidangkan makanan yang sehat untuk keluarganya.

Perempuan yang dikenal tegas ini juga merawat anak-anaknya. Suaminya bertugas membersihkan rumah, menjemur pakaian, dan mencabut rumput di kebun. “Gotong royong, berbagi peran itun kuncinya,” kata dia.

Dia juga mengajak setiap perempuan untuk tampil percaya diri, menambah pengetahuan, bekerja keras, mandiri, dan memperluas jaringan. Loretha menjadi contoh penjaga pangan lokal, termasuk bagi sebagian kalangan muda. Anak-anak muda kini mencoba melihat peluang ekonomi dari mengolah sorgum. Pada 2021 misalnya, sekelompok anak muda datang ke kantor Yaspensel di Larantuka untuk meminta benih. Mereka mengolah tepung sorgum menjadi beraneka ragam makanan yang dikombinasika dengan komoditas lain, misalnya beragam buah.

Pendampingan Komunitas Perempuan Petani

Dalam mendampingi komunitas, Loretha memperkenalkan jenis-jenis sorgum dan dongeng-dongeng tentang sorgum. Saat memperkenalkan legenda Besi Pare Tonu Wujo, sebagian perempuan paruh baya teringat dan menangis. Misi utama pendampingan itu adalah melestarikan sorgum, mendorong komunitas untuk mencukupi kebutuhan pangan yang sehat, dan memenuhi kebutuhan ekonomi.

Pendampingan Loretha membuahkan hasil karena memunculkan kepemimpinan perempuan di sejumlah kelompok tani sorgum. Di Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata misalnya terdapat komunitas Gebetan atau Gebetan Crew Desa Tapobali yang dipimpin Ambrosia Ero, 43 tahun. Ada juga Vibronia Peni, pemimpin kelompok petani sorgum Ile Nogo di Desa Wuakerong, Lembata.

Mereka kerap mendapat undangan organisasi non-pemerintah maupun pemerintah daerah untuk ikut dalam berbagai forum. Pertemuan-pertemuan itu menambah pengetahuan perempuan hingga mereka punya kepercayaan diri untuk mengutarakan pendapatnya.

Perempuan petani di Likotuden yang tidak punya latar belakang pendidikan juga menjadi berdaya. Ada yang menjadi bendahara kelompok tani. Di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur bermunculan ibu tunggal yang menjadi penyangga utama ekonomi keluarga.

Mereka kini memiliki pengetahuan pangan lokal, misalnya teknik budidaya sorgum. Mereka mempraktekkan cara menanam sorgum yang benar. Dalam satu lubang tanah cukup diisi dua atau tiga benih. Selain itu, mereka juga mahir memanen sorgum, mengolah bulir-bulir sorgum menjadi makanan yang enak, dan mampu berargumentasi bahwa sorgum menghemat air dan cocok untuk ditanam dalam situasi perubahan iklim.

Mama-mama di daerah pendampingan Loretha dan Yaspensel juga berhasil menjelaskan kepada kepala desa bahwa desa perlu menambah gizi anak-anak melalui pangan lokal. Itu terjadi di Desa Kawalelo, Nuhalolon, Solor Barat, Nurabelen. Loretha dan Yaspensel juga berperan mencari pembeli sorgum komunitas-komunitas yang mereka dampingi. Setiap tahun mereka harus menyiapkan Rp 200 juta untuk membeli sorgum.

Ketua komunitas Gebetan Crew Desa Tapobali, Ambrosia Ero menyebutkan Loretha punya peran penting dalam gerakan menjaga pangan lokal supaya tidak punah. Untuk menggaet anak muda supaya tertarik terhadap pangan lokal, Loretha membuat serangkaian pelatihan seperti mengolah sorgum menjadi kopi, membuat pakan ternak dari limbah sorgum, dan mengolah pangan lokal lainnya untuk menambah penghasilan, misalnya mengolah jewawut menjadi puding. “Kami bisa mandiri karena Mama Loretha membagi ilmu dan pengalamannya,” ujar Ambrosia.

Dia menaruh rasa hormat terhadap gerakan Loretha merawat pangan lokal hingga menjadi inspirasi bagi anak-anak muda. Ambrosia mengamati jatuh dan bangun perjuangan Loretha yang bukan seorang keturunan Suku Lamaholot dalam menjaga benih sorgum agar tidak punah.

Menurut dia, banyak anak muda yang tidak mengenal sorgum. Munculnya Loretha menjadi berkah bagi komunitas dan membawa semangat untuk ikut melestarikan pangan lokal. Dia berharap Loretha terus menjaga pangan lokal dan mendampingi anak-anak muda. Dukungan berbagai lembaga terhadap kegiatan pendampingan, kata dia sangat dibutuhkan. Ambrosia bercita-cita anak muda di kampungnya bisa mandiri, memiliki kios atau warung kecil yang menyajikan produk dan olahan pangan lokal.

Melawan Cetak Sawah Tentara dengan Cara Damai

Loretha masih ingat buldoser tentara yang melindas tanaman sorgum milik petani Kampung Raminara, Kelurahan Tangge, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Flores tiga pekan menjelang panen. Alat berat itu menggilas tanaman sorgum dengan bulir-bulirnya yang berwarna merah.

Petani di kampung itu merupakan dampingan Yaspensel. Loretha bersama Aliansi Petani Lembor memprotes penggusuran. Dia membuat petisi atau surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo ihwal pemaksaan percetakan sawah oleh tentara. Dia dan Direktur Yaspensel, Romo Benyamin Daud bahkan sempat dipanggil tentara.

Petisi itu membuat Kementerian Pertanian turun ke lokasi. Perlawanan Loretha, petani, dan Romo Benyamin berhasil. Pemerintah menarik tentara dari lokasi sehingga mereka batal menjalankan program cetak sawah. Lembor adalah salah satu lumbung beras di Manggarai Barat hingga Manggarai Timur.

Loretha menekankan bahwa perlawanan dia bukan melarang orang untuk menanam padi. Dia hanya mengajak orang untuk menjaga keanekaragam hayati yakni sorgum. “Aksi kami damai dan berhasil batalkan program cetak sawah,” kata dia.

Program cetak sawah sesuai janji kampanye Presiden Joko Widodo melibatkan tentara pada 2015. Sejumlah pegiat lingkungan mengkritik program cetak sawah yang menggusur warga dan merusak pangan lokal itu.

Meski tak banyak mendapatkan dukungan dari pemerintah, Loretha bersama Yaspensel dan komunitas dampingannya terus berjuang mempertahankan pangan lokal dan menjaga keanekaragaman hayati. Satu-satunya cara mempertahankan benih lokal di tengah gempuran benih impor menurut dia dengan cara menanam. Dia mendorong pemerintah untuk tidak setengah hati memperhatikan sorgum yang terbukti tahan terhadap cuaca ekstrem.

Pada 2019, Loretha mengapresiasi bupati yang mengeluarkan peraturan bupati tentang pangan lokal. Saat itu, setiap posyandu wajib memberikan makanan tambahan yakni sorgum bagi balita. Tapi, dukungan pemerintah menurut dia belum stabil. Suatu hari, pemerintah daerah bejanji untuk membeli benih sorgum milik petani. Yaspensel telah menyediakan benih dalam jumlah yang banyak di kantor. Tapi, pemerintah batal membeli benih itu dengan alasan refocusing anggaran. “Pemerintah seharusnya serius perhatikan sorgum,” kata dia.

Mendirikan Yasores

Loretha punya keinginan mendirikan lembaga mandiri yang ia kelola sendiri sejak enam tahun lalu sebagai bagian dari pengembangan sorgum. Yayasan Argo Sorgum Flores didirikan supaya dia bisa mengelolanya secara mandiri dan memberdayakan anak-anak muda. Samdhana memberikan dukungan dengan memperkuat kapasitas anggota Yasores misalnya bagaimana cara mengelola lembaga, pemetaan kebutuhan organisasi, struktur organisasi, legalitas, pendanaan hingga mimpi organisasi ke depan. 

Pada Maret 2023, berdirilah Yasores. Loretha melibatkan tujuh anak muda, berusia 23-33 tahun. Tujuannya supaya ada regenerasi dan perjuangan Loretha kelak bisa dilanjutkan anak-anak muda. Sebagian dari mereka merupakan lulusan sarjana. Ia punya syarat khusus yakni semua yang bergabung dengan Yasores harus siap terjun ke kebun atau berladang. Loretha membagi tugas dan setiap anggota Yasores. Contohnya ada yang bertugas sebagai bendahara, koordinator dokumentasi kegiatan, dan membersihkan kebun.

Penerima Ashoka Award itu punya harapan anak-anak muda mencintai kampungnya, tanahnya, dan makanan yang ada di kampungnya. Kegiatan Yasores mengenalkan sorgum kepada tamu-tamu yang datang ke dapur Yasores, menanam, dan peningkatakan kapasitas. Loretha bercita-cita Yasores kelak bisa mengembangkan sorgum lebih kuat untuk tujuan konservasi. Sebagai lembaga baru yang punya fokus menjadikan masyarakat adat menjaga kemandirian, Yasores, kata Loretha penting untuk terus mendapatkan dukungan peningkatan kapasitas.

Salah satu peningkatan kapasitas bagi Loretha dan anggota Yasores yang membuatnya bertekad untuk terus menggerakkan komunitas adalah forum yang mempertemukan perempuan dari delapan negara di Asia Tenggara pada 20-26 Mei 2023. Samdhana Institute menggelar pertemuan bertajuk Southeast Asia Women Environmental Human Rights Defenders (WEHRDs) Summit 2023 di Desa Pajinian. Ini adalah pertemuan perempuan pembela Hak Asasi Manusia dan lingkungan. Mereka membicarakan perlindungan ekosistem, ketahanan pangan, dan kedaulatan hingga pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat.

Perempuan pembela hak asasi manusia merupakan semua perempuan yang bekerja pada isu hak asasi manusia apa pun dan orang-orang dari semua jenis kelamin yang bekerja untuk memajukan hak-hak perempuan dan hak-hak yang terkait dengan kesetaraan gender. Pembela HAM mencakup aktor dari kalangan masyarakat sipil yang tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pembela hak asasi manusia atau mereka yang bekerja di bidang hak asasi manusia non-tradisional di antaranya jurnalis, pekerja kesehatan, aktivis lingkungan, aktivis perdamaian, aktor swasta, aktor pembangunan dan kemanusiaan.

Perempuan pembela HAM berperan penting dalam mendorong perubahan sosial melalui aksi individu dan kolektif untuk mengatasi diskriminasi dan kesenjangan, serta memajukan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk dalam konteks pencegahan konflik, perdamaian, dan keamanan serta pembangunan berkelanjutan.

Dari rumahnya di pesisir Adonara yang ditumbuhi rimbun pohon cokelat, kelapa, sorgum, pisang, mangga, belimbing, jambu dan tanaman lainnya, Loretha menyatakan akan terus mendampingi komunitas perempuan petani secara berkelanjutan. “Pendampingan seumur hidup,” ujar Loretha.

Sumber:

  1. Wawancara Maria Loretha pada Ahad, 4-6 Februari 2024 di Desa Pajinian, Adonara Barat, Flores Timur.
  2. Wawancara Direktur Yaspensel, Benyamin Daud, Selasa, 6 Februari di Larantuka, Flores Timur.
  3. Wawancara Ketua Komunitas Gebetan Crew Desa Tapobali, Ambrosia Ero.
  4. Samdhana Institute (2023), Sharing Stories In The Sorghum Fields.
  5. Sylvia Walby (1990), Theorizing Patriarchy, Oxford, UK.
  6. United Nations Human Rights, Who Are Women Human Rights Defenders?
  7. Direktorat Riset dan Inovasi Institut Pertanian Bogor (2022), IPB Sorice: Beras Sorgum Kaya Manfaat, Bantu Atasi Masalah Gizi Ganda (MGG) di Indonesia, Bogor.

Cerita Lainnya