Ruang Bertemu Inisiator Pendidikan Adat di Tanah Papua

Foto bersama peserta dan narasumber. (SAMDHANA/Sandika)

Sebuah pertemuan yang bertujuan untuk memberikan wawasan mendalam tentang pendekatan pendidikan berbasis budaya lokal, membangun kapasitas manajemen sumber daya manusia, kepemimpinan, dan memberikan keterampilan manajemen keuangan yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan sekolah melalui semangat entrepreneurship.

Pertemuan ini juga menciptakan ruang untuk pertukaran pengalaman antar inisiator sekolah, memperkuat jejaring kolaboratif, dan memotivasi mereka untuk terus berkontribusi pada pengembangan pendidikan di komunitas mereka.

Pertemuan berlangsung di Jayapura, 20-23 Februari 2024. Diikuti para inisiator sekolah komunitas, sanggar dan sekolah adat di wilayah Kabupaten Jayapura, Merauke, Teluk Bintuni dan Tambrauw.

Catatan Hari #01 : Ruang Bertemu, Inisiator dan Pendamping Pendidikan Adat Papua

Pendidikan Komunitas, yang mengajarkan adab, adat, manusia, semesta dan seisinya di lingkungan terdekat anak, sudah seharusnya menjadi pendidikan wajib. Bukan lagi sebuah alternatif pendidikan.

Mengapa tidak, karena apa yang ada di sekitar anak adalah miniatur sekolah yang mencerdaskan, berkarakter, dan memberi pengalaman anak untuk masa depan kehidupan yang terbaik.

Sebab pendidikan, bukan mengisi bejana kosong. Pendidikan adalah menciptakan pengalaman-pengalaman yang berkesan bagi anak.

Agar kelak, mereka tidak meninggalkan tanah tempat tumbah darah pertama mereka. Tidak meninggalkan pesan leluhur dalam syair-syair cinta yang suci dalam adat dan budaya mereka.

Menjadi beradab, hanya karena kita beradat. Dan pendidikan, adalah rumah ternyaman yang mengantar pulang dengan senyum.

Kita perlu banyak inisiator untuk sekolah-sekolah berbeda, unik, dan menjadi teladan di seluruh tanah dan air Indonesia. Juga Papua, yang gunungnya mengandung emas, dan sungainya mengalirkan permata.

Kita harus bersekolah dan belajar di tempat yang tepat. Rumah, sekolah, dan lingkungan yang membahagiakan, agar menjadi dewasa.

Catatan Hari #02 : Pemahaman Konteks Pendidikan Lokal

Di hari kedua (21/02) kami di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Jayapura. Kami belajar bersama. Membentang sejarah adat dan ulayat. Struktur adat sudah lahir sejak manusia hadir. Tatanan perabadan berubah sesuai zaman. Hidup berganti ritme, tetapi nilai hidup itu abadi. Tergantung kemana arah kita berpihak.

Diskusi bersama ketua Adat Kampung Tablanusu. (SAMDHANA/Sandika)

Bersama para Inisiator dan Pendamping Pendidikan Adat di Papua, kami berdiskusi sangat kaya. Inisiatif-inisitif baru untuk mempertahankan adat, budaya, dan bahasa di tanah surga yang tersembunyi terus berjalan.

Pendidikan Adat, adalah salah satu jalan pulang membangun peradaban yang ramah pada alam dan manusia. Menyesuaikan konteks dan konten di kehidupan yang mulia dan bermartabat. Hidup yang beradab dengan adat.

Seorang Tetuah Adat di kampung penuh batu kerikil ini bercerita kepada kami. Kampung ini dulu adalah lahan pertanian. Di sini ada sumber air dan sumber makan. Sedang masyarakat menghuni dua kampung tua sejak lama. Hingga November 2011, datang Guru Injil pertama di kampung tua di Bitiayo.

Gejolak perang di 1944 membuat masyarakat risau. Setelah Indonesia merdeka 1945, para Ibu di kampung tua mulai menyampaikan aspirasi untuk pindah ke kampung ini. Alasannya, terlalu jauh harus mengambil air dan berkebun dengan sampan yang cukup jauh.

Lobi-lobi dilakukan tetapi menemui jalan buntu. Alasannya di bawah rumah panggung banyak ikan yang siap ditangkap untuk dimakan. Sehingga banyak masyarakat menolak untuk pindah ke kampung yang berhadapan langsung ke lautan pasifik.

Alhasil, di tahun 1946 masyarakat kembali melakukan perundingan, lagi-lagi diisiasi oleh para Ibu. Mereka berkendak pindah ke kampung Tablanusu dengan telaga yang indah ini. Kubu pro dan kontra bersepakat untuk melakukan perundingan kesepakatan dengan permainan tradisional adat tarik tambang.

Kesepakatannya, bila pro yang menang, maka mereka semua harus pindah. Begitu pun sebaliknya. Jika yang menolak kalah, maka mereka akan tetap tinggal di kampung tua itu, Bitiayo namanya.

Hari H pelaksanaan tarik tambang dilakukan. Semua rakyat berpartisipasi. Hasilnya langsung terlihat, dan diterima secara bersama sesuai kesepakatan adat. Agak berbeda dengan pesta rakyat zaman kini.

Catatan Hari #03: Pendidikan Berbasis Budaya Lokal

Jadi ingat sebuah filosofi tua. “Jika Anda ingin mengubah hidup seseorang, pertama, ubahlah cara dia berpikir. Karena dengan cara pikir yang benar, ia akan menjalani hidupnya yang benar.”

Ibarat pohon, ia tumbuh karena habitat alam dan kondisi iklim yang sesuai dengan pertumbuhan. Ia tidak bisa dipaksa untuk ditanam di tempat yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Begitu juga dengan sistem pendidikan. Sebuah sistem pendidikan yang berhasil di sebuah daerah, tidak serta merta untuk diterapkan di daerah yang lain. Sebab kultur alam dan budaya orang-orang yang bisa saja sangat jauh berbeda.

Dua hari kami diskusi dalam sesi-sesi interaktif, sambil melakukan podcast untuk beberapa segmen yang manarik dan penting. Tentu dengan Narasumber dan host-host lokal secara berganti. Di hari ketiga, kami melakukan ekspolorasi sejarah dan budaya lebih mendalam. Langsung di sebuah kampung tua, di Bitiyayo, Depapre Distrik.

Kunjungan ke Kampung Tua Bitiyayo. (SAMDHANA/Sandika)

Perjalanan dengan boat laut hanya sekitar 10 sampai 15 menit di sebelah pulau persis di selat Depapref. Di sana adalah kampung tua, tempat pertama kali injil disiarkan oleh seorang guru Injil dari Ambil tahun 1911, Amos Pasalbessy. Ada sisa kampung tua dengan monumen dan sumur tua.

Di tempat ini, kami diskusi dan menimba ilmu tentang budaya dan cara guru memberi pencerahan Injil kepada para rakyat dan pengikut. Sampai pada kesepakatan-kesepakatan adat dan konfilik yang terjadi kala itu. Banyak hal terjadi begitu ajaib bagi warga, sampai Depapre sendiri dikenal dengan kampung satu malam di zaman Jepang.

Kami belajar bagaimana rakyat berkomunikasi, bagaimana para pemimpin mengambil peran dan keputusan, bagaimana rakyat bekerja dalam kesepatakan, dan bahkan sebuah hal sangat menarik adalah, ketika keputusan untuk pindah ke kampung Tablanusu, dengan permainan tarik tambang. Yang menang adalah suara yang harus diikuti.

Akhirnya, di tempat ini pun kami belajar dengan beberapa permainan tentang kepemimpinan, tata kelola, fokus, kolaborasi , dan juga ketepatan. Kami percaya , bahwa semua guru adalah pemimpin, dan semua pemimpin adalah guru. Semua pembelajar yang harus merubah cara belajar, cara otak berpikir.

Sesi kami terakhir adalah membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL), Menguatkan Jejaring dan Solidarity Night di malam hari. Tiga hari yang tak pernah hilang dari ingatan terdalam. Kampung yang indah dan orang-orang yang ramah, dan budayanya yang memikat. Juga cara berpikir.

Cerita Lainnya