Berbagi Cerita di Ladang Sorghum

Tantangan Perempuan Memperkuat HAM dan menyelamatkan Lingkungan

Penyusun: Siti Maemunah

Bayangkan. Di sebuah pulau kecil, kamu bertemu dengan perwakilan perempuan-perempuan dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Indonesia, Filipina, dan Thailand. Lantas menghabiskan beberapa hari bersama mereka, mendengarkan cerita pengalaman hidup mereka yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan, perkebunan-perkebunan skala besar, dan kawasan konservasi, maupun di perkotaan. Mereka bekerja dengan perempuan lain dan berjuang bersama menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menyelamatkan lingkungan. Mereka disebut perempuan pembela HAM-lingkungan, Women Environmental Human Rights Defenders (WEHRDs).

Sepanjang 20-26 Mei 2023, Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel),  Yayasan Agro Shorgum Flores (Yasores),  dan Samdhana Institute mempertemukan perempuan para wakil pembela HAM-Lingkungan dari delapan negara di Asia Tenrgara  dalam pertemuan bertajuk  Southeast Asia Women Environmental Human Rights Defenders (WEHRDs) Summit 2023. Tak hanya perempuan dewasa, anak-anak muda juga ikut serta, termasuk kelompok inklusi sosial.

Mereka  berkumpul di pulau Adonara,  Kabupaten Flores timur, provinsi Nusa tenggara Timur, yang jaraknya hampir 2000 km ke arah timur dari Ibu kota negara. Yang unik, pertemuan tersebut dikemas dalam bentuk kemping di ladang sorgum pada pesisir pantai desa Pajinian.  Mama Loretha – pendiri Yasores dan suaminya – Jeremias Dagang Letor merupakan pasangan suami istri pemilik dan pengelola lahan yang sejajar dengan laut tersebut.

“Wilayah ini adalah pertanian lahan kering dan lahan basah yang ditumbuhi kemiri, kelapa, sorgum, coklat, mete, dan vanili. Kecamatan Adonara Barat merupakan penyangga pangan Flores Timur. Pada 2004, saya dan dan suami, bapak Yeri memutuskan menebang 37 pohon mete dan 19 pohon kelapa agar kami bisa menanam tanaman pangan. Kami memiliki lahan pertanian kering di wilayah Timur dan lahan pertanian basah di wilayah Barat Adonara. Ada persawahan, sumber sayur mayur pun tercukupi, yang masih terbatas adalah air bersih”, ujar Maria Loreta, perempuan keturunan Dayak dari Kalimantan, yang kemudian menikah dengan laki-laki keturunan Adonara, Jeremias Dagang Letor atau dipanggil singkat Bapak Yeri.

Maria Loreta kerap dipanggil sebagai “Mama Sorgum” karena semangat dan perannya dalam mengembangkan tanamanm sorgum sebagai tanaman pangan keluarga di Flores bahkan di NTT.  Sebenarnnya sorgum bukan tanaman baru. Tanaman ini bahkan lekat dengan cerita rakyat, legenda tenatng perempuan bernama Tonu Wujo, seperti yang diceritakan Romo Benyamin, pimpinan Yaspensel. Tono Wujo merekalakan dirinya dikorbankan sebagai persembahan dalam ritual yang dilakukan saat menghadapi paceklik di tanah Flores. Darah perempuan satu-satunya dalam keluarga itu berubah menjadi padi, semantara tulang belulangnya menjadi tanaman sorgum. Kelekatan sorgum dengan tutur masyarakat adat membuat Loreta yakin tanaman sorgum yang sudah jarang ditanam dan dikonsumsi ini harus dipulihkan. Ia yakin sorgum akan menjawab persoalan pangan, kesejahteraan petani dan pemulihan lingkungan di Adonara dan pulau-pulau kecil lainnya di NT.

Sejak pertama mencicipi  sepiring panganan berbahan sorgum dengan taburan kepala di atasnya, Loreta langsung jatuh cinta kepada sorgum. Pada pertemuan Adonara, ia menghadiahkan kain tenun kepada Maria Helan, perempuan adat di Pajinian yang mengenalkannya pertama kali kepada sorgum. Semangat memperjuangkan keamanan dan kedaulatan pangan inilah yang melatari pertemuan perempuan pembela HAM-Lingkungan se Asia Tenggara ini diselenggarakan di pulau Adonara. Cerita berikut adalah catatan yang disusun dari cerita yang dibagi dan dituturkan oleh para perserta perempuan perempuan di tengah ladang sorgum.

Perempuan pembela HAM-lingkungan?

Siapakah perempuan pembela HAM-lingkungan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa memulai dengan definisi yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan tentang Perempuan pembela HAM (PPHAM). Mereka adalah perempuan yang membela HAM perempuan dan HAM pada umumnya, maupun setiap orang – baik perempuan maupun laki-laki yang berjuang untuk penegakan dan pemajuan HAM khususnya hak asasi perempuan. (Komnas Perempuan, 2022). Namun definisi tersebut kurang lengkap untuk menjelaskan perempuan pembela HAM-Lingkungan, sebab ada kata “lingkungan” yang belum mampu dijelaskan dalam definisi  tersebut. Perempuan Pembela HAM-Lingkungan tak hanya memperjuangkan HAM perempuan tapi juga berjuang untuk penyelamatan lingkungan. Upaya pembelaan  tersebut bisa dilakukan sendiri maupun bersama kelompok.

Mereka berjuang untuk  mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat, termasuk melindungi ekosistem, dan hidup dengan prinsip bahwa wilayah dan sumber daya mereka tak hanya dimanfaatkan saat ini tapi juga ditujukan untuk generasi masa depan. Dalam deklarasi Adonara yang dihasilkan dari pertemuan perempuan pembela HAM-lingkungan di Asia Tenggara diketahui bahwa entitas para perempuan ini tidak homogen, ada perempuan adat,  perempuan dari komunitas lokal, masyarakat sipil, pembela dari pembela, dan pendidik, yang merupakan pendukung masyarakat, penjaga kearifan lokal, pelindung kekayaan alam.

Sesi presentasi dan berbagi oleh peserta perempuan. (Siti Maemunah)

Tantangan Perempuan Pembela HAM-Lingkungan

Perempuan memiliki pengetahuan yang tersituasikan (situated knowledge) dan unik antara satu dan lainnya sesuai dengan pengalaman hidupnya. Tak hanya karena perannya secara biologis yang berbeda dengan laki-laki, namun juga pengalaman sosial perempuan yang bergantung kepada letak dan kondisi geografi serta karakter sosial budaya setempat dimana dia hidup. Termasuk pengalaman hidup di wilayah yang pernah mengalami penjajahan oleh bangsa Eropa.

Peserta pertemuan yang berasal dari Asia Tenggara ini hidup pada wilayah geografi yang beragam,  seperti Phillipina dan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Namun ada juga yang memiliki kesamaan karena dilintasi oleh sungai Mekong, yang secara ekologis mempengaruhi aspek sosial budaya warga di negara Kamboja, Thailand dan Laos. Sejarah penjajahan mempengaruhi bagaimana dinamika politik ekonomi di masing-masing negara.

Di Indonesia, pengalaman dijajah Belanda mewariskan sistem politik hukum yang penuh kekerasan terhadap masyarakat adat dan lokal yang mempertahankan dan merawat  wilayah adat atau wilayah kelolanya. Pada 1870, penguasa jajahan mengeluarkan Doomenverklaring yang mengklaim seluruh tanah jajahan adalah milik negara, kecuali yang bisa membuktikannya secara sah. Cara ini membuat negara dengan bebas mengeluarkan konsesi-konsesi bagi korporasi skala besar untuk melakukan eksploitasi alam dan menyebabkan kerusakan lingkungan.

Bagi perempuan, perjuangan mempertahankan tanah dan  menyelamatkan lingkungan tak hanya berhadapan dengan negara dan korporasi, tapi juga tatanan sosial yang memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua. Perempuan dianggap bertannggung jawab mengurus kerja-kerja domestic. Situasi ini secara sistematis dipengaruhi oleh dinamika politik dan kebijakan negara. Salah satunya UU Perkawinan Tahun 1974 yang memposisikan laki-laki sebagai kepala keluarga.

Peserta perempuan dari region Mekong. (Siti Maemunah)

Dalam pertemuan Adonara dilakukan pertukaran pengetahuan dan pengalaman antar perempuan yang membuat kita paham apa saja tantangan-tantangan yang mereka hadapi dan bagaimana merespon hal tersebut untuk menguatkan peran mereka sebagai pembela HAM-Lingkungan. Setidaknya terdapat empat tantangan yang dihadapi oleh perempuan pembela HAM-Lingkungan di Asia Tenggara, baik tantangan dalam skala individu, keluarga, komunitas, dan tantangan berhadapan dengan pemerintah dan korporasi saat menghadapi proyek-proyek pembangunan yang mengancam seperti proyek pertambangan hingga penetapan kawasan konservasi. Berikit penjelasannya:

Pertama. Tantangan sebagai (individu) perempuan. Perempuan memiliki multi beban karena menjalankan fungsinya dalam reproduksi bilogis, di saat yang sama mengurus kerja-kerja domestik, pengasuhan juga kerja-kerja ekonomi untuk mendapatkan uang tunai. Situasi ini berdampak pada tekanan  psikis dan fisik. Tentu saja tantangan ini berbeda antara perempuan satu dan lainnya. Perempuan sebagai ibu rumah tangga umumnya kesulitan membagi waktu antara mengurus ruang domestik dan ruang politik yang memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan. Tanpa pengetahuan yang cukup membuat perempuan idak percaya diri. Keletihan karena multi beban juga menyebabkan mereka menjadi cepat marah, dan jenuh. Pada beberapa komunitas, perempuan bahkan memiliki keterbatasan dalam bergerak seperti larangan melakukan perjalanan sendiri dan berkomunikasi dengan masyarakat setempat, khususnya jika sudah berkeluarga.

Mengunakan Rasa

Di dalam gerakan, kami menyadari bahwa kita tidak akan mampu tanpa ada dukungan dari laki-laki, begitu juga sebaliknya laki-laki pun tidak akan kuat untuk memenangkan sesuatu yang akan diraih tanpa dukungan perempuan. Bagaimana caranya salig dukung? Kami biasanya diskusi dari hati ke hati, seperti bagaimana saya bisa berjalan sampai ke Adonara? Saya harus rembukan ke suami saya, keluarga kecil atau keluarga inti saya, dan komunitas juga mengetahuinya. Saya berkomunikasi dengan rasa terhadap suami, dan anak-anak juga keluarga. Tanpa menggunakan “rasa” sangat sulit. Jadi di dalam tubuh kita ada rasa, ada pikiran, ada ucapan yang keluar, lalu kita bergerak untuk bertindak, itu bisa diselaraskan dan kita akan berhasil. Matur nuwun.

(Gunarti dari Kendeng, Mei 2023)

Faktor ekonomi dan pengetahuan menjadi tantangan penting bagi perempuan pembela HAM-lingkungan. Umumnya mereka tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi diri sendiri dan mendapatkan dana untuk perjuangan, seperti dana untuk melakukan demonstrasi. Mereka perlu dibekali kemampuan membantu penguatan ekonomi lokal, misalnya menenun, dikuatkan aksesnya  terhadap keuangan dan pasar. Mereka juga perlu memiliki kecakapan  melakukan pengorganisasian, termasuk melakukan mobilisasi masa. Mereka juga perlu pengetahuan untuk memahami generasi muda sekarang. Pengetahuan dan kecakapan ini bisa diraih jika perempuan berani keluar dari zona tidak aman yang mereka alami.  

Terakhir, perempuan berpotensi mendapatkan kekerasan  sehingga penting memikirkan membanguan jejaring pengaman sosial yang bisa membantunya.

Kedua. Tantangan merebut ruang politik dalam Keluarga. Dukungan suami, anggota keluarga dan teman sekitarnya terhadap perjuangan perempuan pembela HAM-Lingkungan sangatlah penting untuk membuat mereka percaya diri dan bisa membagi waktu. Sebab seringkali perempuan justru diragukan oleh keluarga sendiri, sebagian dilarang menghadiri kegiatan yang jauh dari rumah atau kampung, dan sering dianggap kerja-kerja kerelawanan tidak membawa keuntungan.

Dukungan keluarga akan memungkinkan perempuan untuk berbagi beban kerja dan waktu antara ruang domestik, pengasuhan dan politik. Sebab keletihan karena multi beban kerap menyebabkan mereka menjadi cepat marah dan sulit berkomunikasi dengan keluarga.

Belum lagi potensi menghadapi kekerasan berbasis gender, seperti tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi, didesak untuk menghentikan dukungannya terhadap perjuangan masyarakat, dan dilarang menjadi pemimpin. Dalam situasi tertentu hal ini membuat lemahnya perempuan melaporkan tindakan pelecehan dan kekerasan berbasis gender yang mereka alami.

Malam budaya. (Siti Maemunah)

Tanggung Jawab Bersama

Bagaimana caranya kita menjaga kerukunan keluarga adalah jangan punya pikiran negatif dulu. Seperti yang dikatakan mama Aleta, di dalam kehidupan saya sebagai sedulur sikep misalnya, tidak ada istilah cerai, karena kami, suami dan istri itu dalam wong Samin adalah satu untuk selamanya. Dalam pernikahan kami memang tidak ada mahar atau mas kawin seperti yang dikatakan saudara kita dari Papua bahwa perempuan ketika mendapatkan mahar tandanya dia sudah “terbeli”.

Kami sedulur sikep menerapkan bahwa di dunia ini ada dua tatanan, pertama tatanan orang, yang kedua tatanan sandang pangan. Orang jika perilakunya sudah ditata agar memanusiakan manusia, dan saling menghargai semua makhluk hidup, itu diutamakan lebih dahulu dan kita kuatkan dulu di dalam keluarga. Seperti juga yang dikatakan mama Aleta bahwa untuk apa kita menikah dan punya anak, jika tidak menjadi tanggung jawab bersama. Kami selalu cari solusinya, untuk apa kita berkeluarga, untuk apa kita punya anak atau keturunan kalau kita tidak mampu memikirkan dan kita bisa menemukan jalan keluar dari setiap masalah ? Kita tidur satu ranjang, sebaiknya bisa berkomunikasi dengan baik. matur nuwun.

(Gunarti dari Kendeng, Mei 2023)

Ketiga. Tantangan agar suara, pendapat dan pengalaman perempuan diperhitungkan dalam komunitas, sebab mereka juga anggota komunitas. Struktur sosial yang tidak mendukung Perempuan di tengah komunitas, membuat perempuan dianggap tidak memiliki kapasitas berperan dalam komunitas.  Pada beberapa komunitas adat, posisi perempuan dinomorduakan atau tersubordinasi. Kemampuan mereka tidak diakui atau dihargai.  

Dalam kegiatan di komunitas, biasanya dipimpin oleh laki-laki, sementara perempuan tidak memiliki suara atau melakukan sesuatu secara strategis, seperti dalam pengelolaan hutan rakyat. Di Kamboja, pada kenyataannya, ada satu kasus dimana laki-laki justru berkhianat. Ia justru melakukan penebangan pohon untuk keuntungan pribadi, bukan untuk kepentingan masyarakat. Hal ini mengakibatkan konflik antar komunitas. Banyak kepentingan didominasi oleh laki-laki.

Prosesi pembukaan. (Siti Maemunah)

Memulai Kerjasama

Pertama memang sangat sulit dan merupakan pekerjaan yang berat untuk membuat para perempuan memahami atau mengerti dan bersedia untuk bekerja sama. Saya mengumpulkan mereka untuk mengidentifikasi masalah mereka dalam kaitannya dengan tanah dan lingkungannya. Saya mencoba menjelaskan pada mereka dalam kaitan perusakan lingkungan yang kita hadapi. Memang sangat sulit, pada tahun-tahun awal mencoba melakukan upaya mengumpulkan teman- teman perempuan juga para laki-laki dan mempertanyakan apa saja yang menjadi masalah mereka. Kebanyakan mereka terutama laki-laki sejujurnya mereka tidak begitu bersedia bergerak bersama kami. Memang masyarakat kami umumnya masih rendah pendidikan, terbatas pada banyak akses dan ruang, mereka berkomunikasi hanya dengan bahasa lokal. Untuk menghadapinya kami membentuk kekuatan jaringan masyarakat adat yang selalu berdiskusi dan bersikap bersama menghadapinya setahap demi setahap. Memang tidak mudah. Dan pada saat ini memang kami belum sepenuhnya berhasil, masih di pertengahan jalan.

(Heng dari Kamboja, Mei 2023)

Kesadaran masyarakat terhadap dampak pertambangan atau proyek pembangunan lainnya masih kurang memadai, pengetahuan baru berpusat pada manfaat ekonomi, bukan resiko terhadap lingkungan dan ekonomi dalam jangka panjang. Misalnya polusi tanah dan air akibat pertambangan emas yang merugikan warga setempat, namun kerugian yang dialami perempuan dan anak-anak yang paling tinggi karena kebutuhan sehari hari seperti air untuk minum, memasak dan membersihkan badan. Sementara usaha-usaha pertanian ramah lingkungan dianggap tidak cepat menghasilkan uang tunai karena produksi yang lebih lambat dan belum  terstandarisasi. Perempuan pembela HAM-lingkungan perlu mengajak komunitas mendiskusikan bagaimana mencari jalan keluar dari masalah ekonomi.

Tantangan lainnya yang dihadapi perempuan pembela HAM-Lingkungan adalah bagaimana mengorganisir komunitas. Termasuk menghadapi anggota yang tidak kooperatif ataupun sulit bekerja dalam kelompok. Banyak orang menganggap kerja kolektif atau kegiatan organisasi sebagai sesuatu yang tidak penting dan sia-sia saja. Banyak anggota kelompok yang akhirnya tidak aktif dan memilih berkegiatan masing-masing.

Melibatkan Laki-laki dan anak-anak

Di dalam diskusi-diskusi kelompok di komunitas kami, kami juga selalu mengundang laki-laki untuk bergabung, atau jika ada acara semacam ini. Mereka bisa suami, saudara laki- laki, dan teman laki-laki di lingkungan kami yang kami ajak bergabung atau berkumpul bersama kami untuk berdiskusi, bertukar pikiran, sehingga mereka dapat paham apa dan bagaimana hal-hal yang kami perjuangkan.

Pertama, saya mengumpulkan laki-laki dan perempuan tanpa pembedaan laki-laki yang mana perempuan yang mana karena kita intinya memilih agenda atau judul diskusi kita yang tepat sehingga laki-laki juga dapat merasa punya kepentingan untuk menyelamatkan lingkungan karena berhubungan dengan pangan, ekonomi, dan kesehatan. Itu tanggung jawab tidak lepas dari laki-laki dan perempuan. Tanpa ada pangan, tanpa tata ekonomi yang baik, rumah tangga akan lumpuh. Ini yang kami lakukan dan setelah itu barulah kita dapat berbagai bagaimana strategi menguatkan perempuan dan laki-laki atau suami-suami di dalam rumah tangga masing-masing.

(Aleta Baun dari Mollo, Mei 2023)

Keempat. Perempuan juga berhadapan dengan pemerintah dan korporasi. Perampasan tanah oleh perusahaan nasional maupun transnasional dari China, Australia, dan negara industri lainnya. Ta hanya menguasai lahan, mereka juga menguasai benihnya. Tapi pemerintah justru menuduh para pembela ham-lingkungan melawan pemerintah dan perusahaan. Tak jarang kekerasan dilakukan untuk membungkam masyarakat dan pembela HAM-lingkungan.

Perempuan Menguatkan Perempuan

Dalam menghadapi tantangan berlapis seperti dipaparkan di atas, perempuan pembela HAM-Lingkungan aktif mencari jalan dari persoalan yang dialami, termasuk dari ruang-ruang politik di keluarga dan komunitas. Strategi yang disusun juga beragam, diantaranya dengan membentuk kelompok perempuan untuk melindungi hutan rakyat dan menantang dominasi laki-laki yang tidak membuka partisipasi dan keterlibatan perempuan. Mereka juga berusaha mempengaruhi pemegang kebijakan dengan mendorong pemerintah, seperti Kementerian Lingkungan Hidup diminta segara menetapkan hutan rakyat.  

Secara internal pada skala diri, keluarga, dan komunitas perlu dilakukan penguatan komunikasi. Strategi komunikasi yang tepat dengan keluarga harus ditemukan, terutama berkomunikasi dengan anak dan suami. Kita perlu menyediakan, mengatur dan membagi waktu untuk keluarga sejak awal-awal keterlibatan sehingga ada pemahaman dan saling mendukung dalam keluarga. Jika keluarga mendukung maka memudahkan perempuan fokus pada perjuangan.

Komunitas akan menilai bagaimana konsistensi perempuan membangun gerakan rakyat. Perempuan harus berani keluar dari zona nyaman dengan berpikir dan mencari jalan mendobrak dominasi gagasan arus utama. Termasuk bergerak bersama dan beraliansi dengan perempuan, maupun organisasi perempuan lain untuk saling menguatkan.  Kekuatan perempuan yang sudah ada perlu terus didukung, termasuk perempuan yang sudah terjun ke dunia politik, yang memiliki ruang untuk memperjuangkan kebijakan yang peduli pada perempuan dan kelompok marjinal lainnya.

Penguatan kapasitas diri, dan membuka pikiran untuk terus belajar sangatlah penting. Termasuk bersedia mendengarkan masukan, seperti masukan dari kelompok anak-anak muda. Mereka bisa jadi teman bahkan guru, karena biasanya mereka mampu mengakses informasi dari dunia digital lebih baik. Bercakap dengan mereka akan membuka peluang untuk berkolaborasi. Konsistensi membangun gerakan mensyaratkan konsitensi menjaga komunikasi yang baik dan berjejaring, termasuk juga dengan pemerintah.

Regenerasi pemimpin perempuan dalam komunitas perlu dipikirkan. Oleh karenanya melibatkan anak-anak muda, bekerjasama dan melakukan penguatan menjadi sangat penting. Contohnya yang dilakukan Mama Loretha dengan menjadi mentor anak- anak muda di pulau Adonara. Perempuan muda perlu diberi kesempatan belajar oleh  perempuan pendahulunya  yang berhasil menjadi pemimpin. Mereka juga perlu mendapat pendidikan tentang kekerasan berbasis gender dan cara menghadapinya, termasuk bagaimana menguatkan pengetahuan dan melindungi korban kekerasan, dan juga  memberikan penyadaran kepada pelaku.  Ruang-ruang diskusi perlu diperbanyak agar orang tidak menganggap kekerasan berbasis gender itu hal biasa, hal biasa yang umum terjadi di negara-negara yang menganut sistem patriarki.

Pada anak anak muda adat, penting dikenalkan pengetahuan tentang status perempuan dalam budaya, tradisi,  serta hubungannya dengan alam. Termasuk mendidik dan menumbuhkan kesadaran tentang menautkan hak Masyarakat Adat dengan HAM. Kearifan lokal menjadi nilai dan kekuatan untuk mempertahankan wilayah kelola baik kini maupun akan datang. Tanah yang dipertahankan dan dirawat adalah sumber penghidupan yang berkelanjutan.

Perempuan Muda dan Kampanye digital

Bagaimana agar  terjadi saling pengertian antara anak-anak muda  dan orang dewasa, bagaimana perempuan mendukung perempuan. Bagaimana ada lingk belajar sebagai proses yang berkelanjutan antar perempuan untuk memperjuangkan HAM-lingkungan. Pemahaman anak muda terhadap kerja-kerja perempuan pembela HAM-lingkungan. Hal ini setidaknya tertangkap dari kesaksian salah seorang anak muda dari Larantuka.

“Tantangan yang dihadapi mama-mama kami,  memasak makanan yang enak dan sehat untuk keluarga karena di samping mereka juga mendedikasikan waktu untuk memperjuangkan hak asasi manusia, melakukan kampanye dan aktivitas menghalau pertambangan yang tidak sesuai dengan kearifan lokal, dan bagaimana dampak buruknya mengena pada kami orang muda”

Tenda tempat menginap peserta. (Siti Maemunah)

Ada tantangan bagi anak-anak muda untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan lingkungan dan juga penegasan hak-hak adat dalam diri perempuan adat. Hal ini merespon kebanyakan anak muda lebih tertarik pada hal-hal yang terkait dengan handphone, gadget, media sosial seperti facebook, instagram, dan tiktok. Anak-anak muda yang datang pada pertemuan Adonara menyadari bahwa mereka tidak bisa lepas dari dunia digital. Tapi mereka justru menggunakan dan mengelolanya sebagai sebuah senjata untuk menyuarakan perjuangan dan terhubung satu sama lain. Menurut mereka kuncinya sederhana, harus dilibatkan berproses mulai dari perencanaan, didiskusikan, dirancang, dieksekusi dan speak up! Sampaikan terus melalui media, bicarakan terus. Mereka memang belum langsung bicara tentang masyarakat adat atau mengadvokasi persoalan lingkungan, mereka memilih masuk lewat pendekatan budaya dalam melakukan aksi dan dokumentasi, sebab budaya bertutur di Indonesia Timur masih sangat kuat.

Perempuan penenun Adonara . (Siti Maemunah)

Kreatifitas Perjuangan anak muda


Ada diskusi sangat menarik ketika bicara soal betapa apatisnya anak muda, dan tidak peduli terhadap kearifan lokal, maka saya berdiri di sini atas nama orang muda NTT, saya yakin mengatakan bahwa mereka tidak apatis. Kita bisa bawa mereka berkumpul hari ini di sini. Kenapa saya bicara demikian, karena satu bulan yang lalu 100 orang muda di NTT kumpul di Larantuka bicara tentang krisis ekologi dan perubahan iklim. Bagaimana kemudian mereka belajar bersama dan mengenali krisis ekologi yang terjadi secara kontekstual di wilayah mereka masing-masing dan menemukan solusi yang kreatif untuk kemudian mudah diterjemahkan ke orang muda yang lain sebagai pewaris dan yang akan melanjutkan perjuangan ini. Maka kemudian tawarannya adalah pertama tentu saja advokasi, dan tanpa melupakan fungsi media kreatif. (Anonim, Flores Timur, Mei 2023)

Sumber:

Komnas Perempuan (2022), Manual Perlindungan Keamanan Perempuan Pembela HAM di Indonesia, Jakarta

Samdhana Institute (2023). Kerangka Acuan Southeast Asia Women Environmental Human Rights Defenders (WEHRDs) Summit 2023, Bogor.

Samdhana Institute (2023) Catatan Notulensi Southeast Asia Women Environmental Human Rights Defenders (WEHRDs) Summit 2023, Bogor.

Wawancara Pribadi.

Cerita Lainnya