Konferensi Tenurial 2023 berlangsung di jakarta, 16-17 Oktober 2023. Dihadiri 750 orang yang bersasal dari berbagai wilayah. (SAMDHANA/Anggit)
Oleh Anggit Saranta
Krisis agraria dan ekologis yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia dalam satu dekade terakhir, menjadi bahasan utama pada pembukaan Konferensi Tenurial 2023, 16 Oktober 2023, di Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Konferensi yang berlangsung dua hari (16-17 Oktober 2023) digelar oleh koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Keadilan Tenure.
Mengambil tema “Mewujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis Melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam”, konferensi ini mendorong pelaksanaan Reforma Agraria Sejati serta pengelolaan Sumber Daya Alam yang beradab untuk mewujudkan keadilan sosial ekologis.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika selaku Ketua Panitia Pengarah Konferensi Tenurial 2023 menyampaikan, Konferensi Tenurial tahun ini memiliki peran yang sangat penting dan relevan dalam menyikapi isu agraria di Indonesia. Sebab, selama ini pemerintah dipandang belum mewujudkan roadmap Konferensi Tenurial yang telah siapkan dalam Konferensi Tenurial 2011 & 2017.
“Konferensi Tenurial 2023 menjadi sangat penting, sebab akumulasi masalah agraria dan kerusakan alam semakin masif terjadi di skala nasional maupun global. Krisis multidimensi ini membutuhkan respon, sikap, dan aksi kolektif jaringan koalisi masyarakat sipil untuk keadilan tenurial dan gerakan rakyat lainnya,” ujar Dewi Kartika, saat pembukaan Konferensi Tenurial 2023.
Ia menyebutkan salah satu bukti belum terwujudnya keadilan tenurial ini adalah banyaknya kebijakan dan program pembangunan yang justru menjadi penyebab utama hak-hak konstitusional petani, nelayan, buruh tani, Masyarakat Adat, hingga kelompok marjinal di perkotaan terdegradasi. Sebaliknya, program pembangunan tersebut justru berpihak pada kelompok investasi serta badan usaha skala besar.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama 2015-2022, telah terjadi sedikitnya 2.710 letusan konflik agraria yang berdampak pada 5,88 juta hektar. Letusan konflik tersebut disebabkan ragam bisnis dan investasi, pembangunan infratstruktur, pertambangan, hingga proyek-proyek strategis nasional di berbagai wilayah, termasuk pembangunan pariwisata premium.
“Konflik agraria dan perampasan tanah telah meningkatkan jumlah petani gurem dan petani tidak bertanah di Indonesia. Sebab, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan investasi tersebut sebagian besar menarget tanah-tanah pertanian produktif rakyat,” sambung Dewi Kartika yang juga adalah Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria.
Data Sensus Pertanian tahun 2013 menyebutkan sedikitnya 11,51 juta keluarga petani berstatus petani gurem. Hanya dalam kurun waktu lima tahun (2013-2018), guremisasi kelas petani melonjak tajam menjadi 15,8 juta keluarga atau bertambah sekitar 4,29 juta keluarga (BPS, Survey Pertanian Antar Sensus, 2018). Fakta terbaru, sebanyak 72,19% petani merupakan petani gurem dimana 91,81% diantaranya adalah petani laki-laki dan 8,19% merupakan petani perempuan (BPS-Sintesis, 2021).
Di sisi lain, regulasi yang mengarah kepada keadilan sosial dan lingkungan tidak kunjung diselesaikan dan diimplementasikan, seperti TAP MPR IX/2001, UUPA 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Perpres Reforma Agraria, hingga RUU Masyarakat Adat.
“Pemerintah justru melahirkan berbagai regulasi yang bertujuan memfasilitasi investasi dan kelompok elite bisnis dan politik. Mulai dari revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP),” ujar Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di hadapan media, saat berlangsungnya konferensi pers, 16 Oktober 2023.
Kondisi ini memuluskan jalan terjadinya kerusakan alam dan bencana ekologis yang menyertainya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa bencana ekologis banjir terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat tahun 2021-2022. BNPB mencatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir, kurang lebih 112 ribu warga mengungsi, dan 15 orang meninggal dunia. Banjir yang terbesar dalam 50 tahun terakhir.
“Model pembangunan yang timpang telah mengakibatkan kerusakan alam, meningkatnya bencana ekologis dan konflik sosial,” tambah Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.
Menurutnya, masyarakat tidak hanya kehilangan tanah, tapi juga kehilangan pengetahuan lokal dan kekayaan tradisional yang selama ini telah terbukti mampu menjaga bumi dan sumber daya alam.
***
Konferensi Tenurial 2023 diselenggarakan oleh Koalisi Tenure yang terdiri dari Organisasi Non Pemerintah, Organisasi Rakyat serta Akademisi yang secara rutin melaksanakan Konferensi Tenure sejak tahun 2011, dan melahirkan Peta Jalan Reforma Agraria, dan secara seksama peta jalan ini di ukur kembali dalam setiap tahun dan setiap Konferensi (5 tahunan) untuk mengukur kemajuan dan tantangan yang dihadapi masyarakat utuk menciptakan Keadilan Tenurial.
Konferensi Tenurial 2023 yang berakhir pada 17 Oktober 2023 menghasilkan empat rekomendasi yang dibacakan Ketua Steering Committee Dewi Kartika, setelah sebelumnya dilakukan pembacaan laporan 10 panel diskusi yang berlangsung selama pelaksanaan konferensi.
Pertama, meluruskan dan mengoreksi paradigma, kebijakan, praktik reforma agraria ataupun pengelolaan SDA, serta peraturan lain terhadap keadilan sosial-ekologis.
Kedua, mendesak agar dilakukan reformasi kelembagaan. Ketiga, mempercepat dan mengembangkan pengakuan atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria, baik di darat, pesisir, maupun pulau-pulau kecil. Keempat, memastikan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi bagi masyarakat adat, petani, nelayan, serta perempuan.
Konferensi ini mencatat bahwa Pemerintah belum berhasil memastikan realisasi janji Reforma Agraria seluas 9 juta hektar dan Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektar agar berkorelasi dengan kantong-kantong ketimpangan, konflik agraria, penetapan sepihak kawasan hutan, dan kemiskinan. Termasuk paradigma dalam menjalankan Reforma yang menjauh dari prinsip dan tujuan Reforma Agraria sejati.
Terlepas dari kondisi tersebut, konferensi ini juga mencatat sejumlah insiatif kolaborasi multipihak dan kemenangan gerakan rakyat yang dapat diraih. Beberapa di antaranya adalah pendaftaran tanah dan sumber agraria lain secara aktif dan partisipatif, pembangunan Gerakan Desa Maju Reforma Agraria, redistribusi tanah, pengakuan hak perempuan hasil dari penyelesaian konflik agraria konsesi (HGU) perkebunan swasta dan pembangunan ekonomi kerakyatan serta pengakuan hak hak masyarakat adat melalui.
Catatan lainnya regenerasi pejuang agraria, generasi muda petani, pemuda adat dan perempuan. percepatan pemetaan dan registrasi wilayah adat sebagai dasar pengakuan Masyarakat Adat, mengembangkan ekonomi melalui Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA, Perluasan dan penguatan koperasi milik nelayan dan perempuan, mendorong produk hukum pengakuan daerah terkait Masyarkat Adat, SK Hutan Adat dan kebijakan RTRW
Termasuk kemenangan-kemenangan gerakan masyarakat sipil dalam menegakkan hak-hak konstitusional rakyat melalui proses judicial review (gugatan) di MK terkait UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan), UU Perjanjian Internasional, UU Perkebunan, UUCK yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
“Seluruh inisiatif dan keberhasilan gerakan rakyat ini merupakan capaian kolektif, sekaligus kritik kepada pemerintah yang belum mampu menjalankan Reforma Agraria Sejati dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkeadilan,” beber Dewi Kartika.
Ia juga menekankan kepada semua pihak yang memiliki cita-cita dan visi yang sama tentang keadilan sosial-ekologis, untuk bergotong-royong memastikan hasil perjuangan rakyat dalam 10 tahun terakhir, termasuk hasil konferensi regional dan puncak konferensi Tenurial 2023 menjadi agenda yang memandu gerakan masyarakat sipil dalam memperjuangkan Reforma Agraria Sejati dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkeadilan dan arah bagi Pemerintahan kedepan.
“Pasca konferensi, kita akan bersama-sama memastikan hasil-hasil konferensi menjadi program kerja utama lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota hingga tingkat desa,” tegasnya.
***
Konferensi Tenurial 2023 dihadiri sebanyak 750 orang yang berasal dari berbagai wilayah, dengan keterwakilan perempuan mencapai 37 persen.
Konferensi Tenurial merupakan agenda Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial, untuk méndorong adanya pembenahan tata pemerintahan dalam hubungannya dengan penguasaan tanah-termasuk hutan, serta pesişir dan perairan. Konferansı Tenurial 2023 merupakan konferensi kali ketiga setelah dua konferensi sebelumnya tahun 2011 di Lombok dan 2017 di Jakarta.
Konferensi Tenurial melibatkan seluruh elemen masyarakat sipil, Petani, Masyarakat Adat, Nelayan, Perempuan, Buruh dan Masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan sehingga setiap aspirasi yang mendukung upaya perbaikan kebijakan dapat mengakomodir hak-hak setiap bagian dari masyarakat.
Proses Konferensi Tenurial 2023 dibagi menjadi tiga agenda, yakni prakonferensi konferensi nasional, dan pascakonferensi. Agenda prakonferensi fokus pada penyampaian isu, pengalaman, dan cerita keberhasilan di tingkat tapak untuk memperkuat dokumen konferensi yang telah disusun Tim Substansi.
Konferensi Tenurial diawali dengan rangkaian kegiatan Asia Share Learning di Bali pada tanggal 28 Mei sampai 2 Juni 2023, dilanjutkan dengan konsultasi regional di 7 wilayah di Indonesia tanggal 20-30 September 2023 lalu. Konferensi Regional ini diselenggarakan untuk merumuskan usulan yang akan menjadi rekomendasi perbaikan kebijakan perihal Reforma Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam bagi pengambil kebijakan, sera peta jalan masyarakat sipil untuk méndorong agenda tersebut.
Menyusul kemudian konferensi nasional yang menjadi ruang konfirmasi dan pembangunan legitimasi atas substansi yang telah dibangun selama prakonferensi.
Pascakonferensi melahirkan konsensus nasional dan peta jalan yang dihasilkan akan didorong ke dalam dokumen strategis pembangunan.
Sumber : Siaran Pers Konferensi Tenurial 2023. Executive summary Konferensi Tenurial 2023