Edison Wafom, pendamping Masyarakat Adat Marga Baho hadir sebagai salah satu narasumber dalam program siniar Ngopi Sore Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK. (Youtube Hutan Sosial)
Oleh Anggit Saranta
Edison Wafom meluaskan pandangannya, menelisik satu per satu aneka produk perhutanan sosial yang tengah dipamerkan pada Festival Perhutanan Sosial Nasional (Festival PeSoNa), 5-7 Juni 2023 di Jakarta. Di antara helaan nafas pendeknya, ia terlihat serius memperhatikan detail aneka bentuk dan kemasan produk hasil hutan non kayu yang dihadirkan peserta pameran. Bisa jadi, pria yang memiliki nama lengkap Septinus Zeth Edison Wafom itu tengah membayangkan ragam potensi di 2,918.1 hektar wilayah adat Marga Baho yang sebagian besar berhutan, yang bisa dikembangkan jika status Hutan Adat telah ditetapkan.
Kehadirannya di Jakarta merupakan wujud konsistensi mendampingi proses pengusulan Hutan Adat yang masih panjang perjalanannya. Edison hadir sebagai salah satu narasumber dalam program siniar Ngopi Sore Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK bersama Masyarakat Adat yang memperjuangkan Hutan Adat di Papua. Yaitu Yustina Ogoney dari Marga Ogoney, Kabupaten Teluk Bintuni.
Bagi Edison dan Masyarakat Adat Marga Baho, Suku Aifat di Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat Daya, hutan tidak terpaku pada arti formal yang mungkin jamak disebut dalam peraturan di negara kita. Ada subyek masyarakat yang menjadikan hutan sebagai tempat hidup dan berkembang dengan nilai-nilai budaya dan sebagai satu-kesatuan. Dapat dimaklumi jika semangat untuk melindungi hak ulayat adat, hutan adat, nilai adat dan praktek-praktek tradisional adat yang terkait erat dengan perlindungan hutan ditunjukan oleh Marga Baho.
Edison meyakini bahwa hutan mereka yang tutupannya terjaga dalam 20 tahun terakhir, manfaatnya akan semakin besar jika pengakuan aspek legal mereka dapatkan.
“Kita punya air terjun, kita punya kali-kali yang jernih, kita punya burung-burung yang bagus, hutan yang bagus bisa dijadikan pengamatan burung, penelitian dan segala macam. Hasil-hasil hutan bukan kayu, gaharu, masohi segala macam. Jadi kalau bilang potensi, cukup melimpah. Justru itu kita butuh pengakuan dari negara untuk kita sama-sama menyelamatkan potensi yang besar, ungkap Edison Wafon, saat memberikan paparan dalam siniar Ngopi Sore.
“Bukan hanya potensi besar, tapi Masyarakat Adatnya, karena itu juga menjadi potensi. Karena budaya, punya peradaban yang panjang yang tidak bisa kita pisahkan dengan hutan itu sendiri,” tegasnya.
Sejak tahun 2021 lalu, pengusulan Hutan Adat Rae Mana Ro Baho, Masyarakat Hukum Adat Marga Baho Suku Aifat Maybrat di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya, telah dilakukan. Diawali pemetaan wilayah adat sejak 2017 hingga penetapan hak ulayat dan Hutan Adat pada 24 November 2020. Upaya konkrit yang menjadi jawaban keinginan Masyarakat Adat untuk mempertahankan zonasi adat dan nilai adat “Moss” dan “Atrow” yang mereka percayai, hormati dan dipakai sebagai panduan penataan wilayah oleh Sebagian besar masyarakat adat suku Aifat di Kabupaten Maybrat.
“Moss” merupakan zona inti perlindungan adat yang oleh masyarakat adat Maybrat, Suku Aifat dipercaya sebagai zona larangan yang penetapannya telah dilakukan oleh para leluhur sebelumnya dan tetap dipertahankan hinga saat ini. Sedangkan ‘Atrow’ merupakan zona penyangga terhadap “moss’’ yang peruntukannya untuk pemanfaatan terbatas.
Menurut Edison, sebagaimana ditulis dalam thesis berjudul “Atrow, Konsep Kawasan Lindung Tradisional Marga Baho Suku Ayfat Maybrat “ untuk Pendidikan Pascasarjana UNIPA Manokwari tahun 2019. Kedua zonasi tersebut umumnya ditutup oleh hutan primer yang tidak dapat dimasuki atau dimanfaatkan secara sembarang tanpa persetujuan pemilik adatnya.
Secara ekonomi, Atrow menjadi satu zona kunci bagi kehidupan Masyarakat Adat Maybrat secara khusus Suku Ayfat. Dalam etimologi (pemenggalan kata) bahasa Maybrat At berarti tempat berburu, mencari dan meramu dan Row yaitu terpencil, jauh atau terisolasi, sehingga secara harafiah Atrow dapat diartikan sebagai tempat berburu atau meramu hasil hutan yang jauh dan terisolasi. Atrow biasanya dimiliki oleh satu kelompok Marga (Rae) yang digunakan untuk kegiatan subsisten (berburu, memancing, meramu bahan makanan) dan dalam pemanfatannya dibatasi baik dari sisi jumlah maupun waktu pemanfaatannya.
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif hak ulayat adat, luas wilayah adat Marga Baho adalah 2,918.1 ha. Dimana didalamnya terdapat 3 titik ‘Moss” yaitu Moss Ane Mana, Moss Menis dan Moss Ske dengan total luasan mencapai 37.7 ha. Sedang Atrow seluas 2,533.7 ha. Di luar kedua zona tersebut terdapat zona budidaya seluas 347 ha yang terdiri dari kebun (ora), bekas kebun (ribouh), kampung, dan hutan yang dapat dikonversi menjadi kebun (touf).
Tangga Penetapan Hutan Adat oleh Negara
Tak mudah bukan berarti tak mungkin. Barangkali sematan kalimat ini tepat untuk menggambarkan titian tangga menuju penetapan Hutan Adat oleh negara yang harus ditapaki Marga Baho Suku Aifat.
Angin segar keluarnya putusan MK 35 tahun 2012 menjadi penanda awal, secara de facto negara mengakui keberadaan Masyarakat Adat, dan menegaskan bahwa Hutan Adat bukan Hutan Negara. Dampak lanjut dari pengakuan itu, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan peraturan-peraturan yang membuka ruang bagaimana pengakuan Masyarakat Adat melalui penetapan Hutan Adat.
Dimulai sejak keluarnya Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 32 Tahun 2015 tentang Hutan Adat, yang kemudian direvisi menjadi Permen LHK No. 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, lantas direvisi kembali melalui Permen LHK No. 17/2020. Terbaru peraturan terkait Hutan Adat ada di Permen LHK No. 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan sosial.
“Ruang-ruang ini yang coba kita manfaatkan, salah satunya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Hutan Adat dan Hutan Hak,” beber Edison yang sehari-hari bekerja di Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat. Sebagai bagian komunitas Masyarakat hukum Adat Marga Baho suku Aifat ia aktif mendampingi komunitas Marga Baho sejak awal proses pengusulan Hutan Adat.
Langkah awal pemetaan wilayah adat dilakukan pada tahun 2017, merespon lima skema Perhutanan Sosial yang digulirkan pemerintah. Pilihan Hutan Adat menjadi Langkah yang sesuai dengan semangat Masyarakat Adat Marga Baho meski persyaratan yang harus dipenuhi cukup berat dan rumit.
“Banyak (syarat) itu kan Hutan Adat. Tapi kita berusaha untuk mengimbangi itu. Jadi mulai dari identifikasi potensi di dalam, Masyarakat Adatnya, proses itu kita mulai jalan dari 2017. Sampai perubahan-perubahan regulasi itu tadi kita akhirnya menyesuaikan, pas di perubahan terakhir Permen No. 21 Tahun 2019, kita mengusulkan lewat situ,” tambahnya.
24 November 2020 silam menjadi tonggak penting bagi komunitas adat Marga Baho, karena keseluruhan hasil pemetaan wilayah adat bersama dengan profil masyarakat adat Baho telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Maybrat disaksikan oleh BPSKL Maluku Papua dan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat. Dokumen pengusulan berupa peta wilayah adat dan profil Masyarakat Adat diterima langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Maybrat, Johny Way, S.Hut, M.Si di Aula Kantor Bupati Maybrat.
Dalam sambutannya, Sekda Johny Way menyampaikan bahwa “Pemda [Kabupaten] Maybrat berkomitmen melegalkan secara Hukum seluruh Hutan Adat milik Marga Baho dan marga lainnya agar status kepemilikannya sah dimata Hukum. Hutan Marga tersebut salah satunya ialah hutan adat Marga Baho yang ingin diabadikan melalui peta sehingga diharapkan menjadi model bagi seluruh hutan adat di tanah Papua pada umumnya,” ucapnya pada November 2020 silam.
Kabar baik sejak tiga tahun lalu itu perlu terus dijaga asa-nya hingga tujuan Hutan Adat tercapai. Masih ada pekerjaan besar yang perlu dikejar, yaitu Peraturan Daerah (Perda) yang menetapkan dan mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Dukungan Perda sebagai regulasi daerah menjadi penting karena mandat dalam Permen LHK No. 17/2020 Tentang Hutan Hak dan Hutan Adat mensyaratkan hal tersebut.
Fakta penting lainnya, Perda menjadi payung pengakuan dan perlindungan keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang berada didalam kawasan hutan. Sebagaimana Amanat UU No 41/1999 Pasal 67 Ayat (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
“Produk hukum kita rasa berat itu memang sebagian besar itu Perda. Karena yang namanya Perda itu kan kebijakan, politik di daerah. Produk hukum itu menjadi satu dasar hukum yang cukup berat untuk melakukan pengusulan ini,” ungkap Edison.
Sampai saat ini memang belum ada Perda pengakuan dan penetapan Masyarakat Adat di Kabupaten Maybrat. Edison dan Marga Baho sangat berharap adanya dukungan legistalif dan pemerintah yang ada, untuk mendorong ini ke dalam suatu program legislasi daerah. Meski demikian di tingkat provinsi ada Perdasus yang menjadi turunan dari Undang-Undang Otonomi Khusus. Di Papua Barat ada Perdasus nomor 9 tahun 2019 tentang pengakuan Masyarakat Adat dan wilayah adat. Perdasus nomor 10 pembangunan berkelanjutan. Sebelum pemekaran Provinsi Papua Barat Daya, Kabupaten Maybrat masuk dalam Provinsi Papua Barat.
Demi terus memupuk asa Hutan Adat yang dicita-citakan Komunitas Adat Marga Baho, Suku Aifat, Edison terus membina hubungan baik dengan stake holder agar prosesnya tetap berjalan. Terus membangun komunikasi dengan sesama komunitas Marga Baho, akademisi, LSM, tokoh agama dan stake holder lainnya. Ia sadar betul bahwa pengakuan Hutan Adat menjadi bukti, disitulah negara akan hadir. “Puji Tuhan walaupun kita sudah usul dari 2021, sampai sekarang kita masih tunggu teman-teman dari KLHK untuk proses yang sesuai diamanatkan Undang-Undang, validasi, verifikasi teknis dan lain-lain. Sebagian teman-teman yang mengusulkan itu masih menunggu teman-teman KLHK untuk proses itu.”
Hutan bagi Marga Baho memiliki ikatan yang kuat. Hutan adalah Ibu, hutan adalah nafas mereka. Menjaga dan melestarikan menjadi keharusan, sesuai adat mereka. Melalui penetapan ini negara hadir untuk memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat yang terbukti dengan budayanya, dengan kearifan lokalnya, mampu menjaga dan mengolah hutan secara berkelanjutan.