Sumber daya alam tidak hanya bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Di tengah era digital dan revolusi industri 4.0, warga juga memanfaatkan sumber daya alam sebagai mata pencaharian yang berkelanjutan.
Hal tersebut disampaikan oleh empat narasumber yang hadir dalam acara Seri Diskusi “CangKir KoPPI” atau “Berbincang dan Berpikir Kreatif Kelompok Perempuan dan Pemuda Inspiratif”. Acara webinar yang dimoderatori Patti Rahmi Rahayu tersebut diadakan The Samdhana Institute pada Kamis (14/07/2022).
Dalam diskusi dengan topik Praktik Cerdas dalam Pengelolaan Sumber Pangan Lokal itu, Koordinator Program Kainkain Karkara Byak, Kumeser Kafiar menceritakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan di wilayah Padaido.
Warga mengelola sumber daya alam berdasarkan peraturan adat yang dimiliki, dikembangkan, dan dirumuskan oleh Lembaga Adat Bar Padaido. Untuk itu, penguatan lembaga adat menjadi titik utama kegiatan Kainkain Karkara Byak.
“Penguatan yang kami berikan juga terkait penyelesaikan konflik, jadi lembaga adat bisa menyelesaikan masalah, klaim, termasuk menyelesaikan masalah internal maupun eksternal, menghukum orang-orang yang melanggar aturan adat,” kata Kumeser.
“Tapi sejauh ini masih sebatas penguatan struktur, kami terus dukung agar lembaga adat ini bisa menerbitkan peraturan adat untuk semua orang yang berada di Padaido yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam,” imbuhnya.
Hal itu terlihat dalam pengelolaan wisata pantai di Kampung Sariba. Pantai di kawasan ini disebut Kumeser memiliki aneka jenis terumbu karang yang cocok sebagai lokasi diving. Tak hanya itu, pantai tersebut juga memiliki hamparan pasir putih sehingga kawasan ini cocok dijadikan sebagai destinasi wisata.
Demi menjaga ketertiban di kawasan wisata tersebut, Kumeser dan Kainkain Karkara Byak menggandeng lima masyarakat adat untuk mengelola potensi sumber daya alam di Padaido, mulai dari warga kampung hingga pengurus gereja.
Sementara itu, Ketua Baga Raksa Alas Mertajati, Putu Ardana mendorong pertanian organik di kawasan penyangga Alas Mertajati yang merupakan sumber mata air dan kawasan penyangga di kawasan tengah Bali.
Sebagai lembaga yang memperhatikan Alas Mertajati, Baga Raksa Alas Mertajati mengedukasi seluruh lapisan masyarakat untuk kembali mengonsumsi lagi makanan berbahan dasar organik.
“Makanan organik mulai diabaikan padahal potensinya sangat banyak, tumbuh banyak dan liar di halaman rumah warga, menurut ahli, makanan tersebut sangat sehat,” kata Putu.
Ia melanjutkan bahwa produk dari bahan organik kurang diminati setelah kehadiran produk olahan dari luar, salah satunya mie instan. Padahal, bahan pangan organik memiliki banyak manfaat untuk tubuh.
“Bukan hanya kaya serat tetapi ada juga sumber karbohidrat seperti umbi-umbian, untuk mengganti beras dan mie instan,”
Demi mendorong minat warga untuk kembali mengonsumsi makanan organik, Baga Raksa Alas Mertajati mengadakan festival kuliner di empat desa. Festival ini menghidangkan makanan menggunakan bahan dan resep lokal.
“Tidak ada resep dari luar atau barat, kami juga mengundang chef hotel berbintang, tanggapannya sangat luar biasa, ia memuji hasil olahan yang dibilang memiliki taste dan layak dihidangkan, itu membesarkan hati kami,” kata Putu.
Tak sampai di situ, Putu dan Baga Raksa Alas Mertajati juga mengadakan pelatihan untuk memasarkan olahan dari bahan lokal dan organik. Seperti, keripik dan abon.
“Kami menjualnya di beberapa tempat, di marketplace, pasar lokal, dan di event keagamaan, responsnya bagus sekali banyak yang repeat order, keripiknya enak, yang jelas itu semua sangat organik, sama sekali tidak tersentuh bahan kimia,” kata Putu.
Sementara itu, Arief Swasono menjalankan bisnis berbasis pemanfaatan limbah alam bernama Batik Alam Kampung Tambudan di Berau, Kalimantan Timur. Tak hanya sekedar berjualan, Arief juga menginisiasi edu-wisata batik ramah lingkungan.
“Edu-wisata batik ini kami memunculkan kembali batik dengan bahan pewarna alam seperti dari kulit pohon mahoni, batang nangka, dan pewarna alam lainnya mengingat potensi limbah kayu di Kalimantan sangat luar biasa,” kata Arief.
“Karena kami berbasis ekowisata jadi kami lebih memanfaatkan potensi alam dengan harapan kita tidak mengotori bumi,”imbuhnya.
Tak hanya itu, Arief juga terlibat dalam usaha eco-wisata hutan mangrove seluas 3.000 hektar bersama kelompok Mangrove Tumbuh Berseri. Kelompok ini memiliki sejumlah kegiatan, mulai dari pegecekan hingga patroli untuk menjaga kelangsungan flora dan fauna di kawasan tersebut.
“Usaha ini 2,5 persen untuk konservasi alam, dan alhamdulillah itu berjalan, kami menamam pohon mangrove, hadir dalam kegiatan blue carbon di Bali, itu tidak lepas dari support dan pendampingan serta semangat dari teman-teman,”kata Arief.
Bisnis Perlebahan yang dijalankan Nur Alfaizah bersama teman-teman nya di Bandung, merupakan hasil dari penelitian dan penerapan model bisnis terkait lebah yang tidak umum, dimana Nur menjadi penanggung jawabnya. Ia bersama timnya mendirikan pembudidayaan lebah bernama Bandung Bee Sanctuary di atas lahan pembuangan sampah.
“Ini dulunya dijadikan tempat pembuangan sampah, ini sangat disayangkan karena ini kawasan hijau, kami revitalisasi, kita ubah jadi suaka untuk lebah, kami juga kembangkan jadi edu wisata, mengenalkan jenis-jenis lebah dan madu yang dihasilkan,” kata Nur saat menunjukkan foto lokasi Bandung Bee Sanctuary.
Budidaya berbasis bisnis ini melibatkan anak muda dan warga lokal untuk menjadi peternak lebah. Setelah melalui proses yang panjang, tempat ini mengembangkan produk turunan dari madu, seperti sirup dan kue. Tempat ini juga menjual bibit tanaman untuk pakan lebah. Tak disangka, sekarang lokasi tersebut mendapat sambutan yang positif dan mendukung dari pemerintah dan warga umum.