Memahami Kesetaraan GEDSI dengan Lebih Baik

Sri Surani, fasilitator dari SAPDA saat memberikan pemaparan dalam pelatihan kesetaraan GEDSI di Yogyakarta, 18-21 Mei 2022. (Sandika/SAMDHANA)


Penyandang disabilitas memiliki kedudukan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Namun hingga saat ini, hal tersebut masih sering diabaikan.

Untuk memahami peran dan posisi penyandang disabilitas dalam masyarakat, pendekatan GEDSI (Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial) sangatlah diperlukan.

GEDSI akan memastikan perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lain mendapatkan keadilan dan kesetaraan dalam mengakses, mengontrol, melakukan partisipasi dan mendapatkan manfaat dari sumber daya yang ada untuk mencapai kesejahteraan.

Samdhana Institute sebagai lembaga yang berkomitmen untuk mengarusutamakan kesetaraan gender dan inklusi sosial bekerjasama dengan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) Yogyakarta, melaksanakan pelatihan Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di Yogyakarta pada 18-21 Mei lalu. Acara ini bertujuan memberikan pemahaman dan pengetahuan yang lebih baik tentang disabilitas.

Workshop ini diikuti oleh 42 orang peserta yang terdiri dari lima ragam kelompok disabilitas yang menjadi peserta sekaligus narasumber. Yaitu, Rio Walua (disabilitas netra), Agatha (disabilitas intelektual), Fikri Fibo (disabilitas tuli), Nurul Hardiyanti (disabilitas fisik) dan Salman Besari (disabilitas mental). Kemudian, 25 orang yang terdiri atas mitra Samdhana, 4 fasilitator dan 8 panitia.

Ita Natalia sebagai kepala program Capacity Development Samdhana membuka kegiatan workshop. Ia berharap peserta mengimplementasikan kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa dilakukan mulai dari lingkungan paling kecil, seperti keluarga, hingga lingkungan yang lebih besar seperti komunitas.

Selanjutnya, peserta mengisi pre-test maupun post-test untuk mengukur pengetahuan mereka terkait disabilitas. Peserta kemudian dibagi dalam lima kelompok dan mengikuti sejumlah sesi diskusi terkait GEDSI agar peserta dapat memahami konsep disabilitas, isu gender serta indikator kesetaraan gender menurut AKPM. Peserta terlihat antusias dalam mengikuti rangkain kegiatan tersebut.

Berdasarkan hasil diskusi kelompok, para peserta mengetahui kondisi yang dialami para difabel di daerah masing-masing. Seperti dari Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) Pontianak Erny Triforia.

“Ada perbedaan antara disabilitas yang ada di kota dengan disabilitas yang ada di desa, kalau di kota, dari segi akses kontrol pertisipasi dan manfaat seperti yang Mas Roy contohkan, mereka mendapat hampir semuanya akses terhadap pendidikan, modal, bantuan-bantuan, bahkan aksesnya ditawarkan,” kata Erny.

Selain mengikuti diskusi, peserta juga mengikuti seminar Internasional dengan tema Mengubah Perspektif Mengubah Kehidupan, Jalan Baru Menciptakan Keadilan Bagi Semua. Seminar tersebut menampilkan Rio Walua yang menyampaikan materi berjudul Hidup Sebagai Disabilitas dalam sesi seminar internasional.

Lulusan S1 Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menceritakan pengalamannya tentang inklusivitas selama menempuh pendidikan sebagai penyandang disabilitas netra. Selain itu, para peserta juga mengikuti seminar dari Ketua AMAN Sumbawa Jasardi Gunawan berjudul Masyarakat Adat dan Hak Hak terkait dengan GEDSI.

Dalam materinya, Jasardi melihat praktik inklusi sosial sudah mulai berjalan di Sumbawa. Ia bercerita bahwa masyarakat adat Sumbawa kini memiliki posisi dan peran dalam memanfaatkan tanah adat mereka. 

Tak sampai di situ, Jasardi juga mendorong akademisi dan kampus untuk menulis sejarah keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Sumbawa dalam materi pembelajaran untuk menguatkan pengakuan masyarakat adat di wilayah Kabupaten Sumbawa.

“AMAN Sumbawa tidak pernah putus asa. Kami berproses dan melakukan gerakan gerakan untuk mengembalikan konstitusional masyarakat adat kepada negara berdasarkan UU pasal 18B ayat 2. Ini sebenarnya hadirnya organisasi kami, hadirnya perjuangan kami, supaya hak di masyarakat adat ini sebagai hak asasi manusia,” kata Jasardi.

Seminar juga menampilkan Direktur Yayasan Konsultasi Independen Pembelaan Rakyat (KIPRA) Papua Irianto Yakobus. Ia menyampaikan materi berjudul Mengubah Perspektif dan Penerapan Program Inklusi Sosial di Timur Indonesia.

Dalam materinya, Irianto menyoroti beberapa hal terkait penerapan GEDSI dalam rangkaian program. Mulai dari, mengubah perspektif gender, memberikan wawasan tentang GEDSI dan mendorong program inklusi sosial.

“Nah saya pikir ketiga ini sangat sangat baik sekali nanti implementasi program di lapangan bahwa aktif lagi sehingga hak semua orang harus diupgrade lagi, melihat lebih tajam. Termasuk teman teman yang disabilitas dan juga rentan. Lalu mereka yang marginal. Kalau kita kaitkan dengan SDGs itu semua harus mendapatkan hak yang sama,” kata Irianto.

Sebelum kembali ke rumah masing-masing, peserta juga berkunjung ke sejumlah sentra industri untuk belajar langsung tentang praktik inklusi sosial dan kontribusi penyandang disabilitas dalam masyarakat.

Cerita Lainnya