Menjaga Tradisi “Igya Ser Hanjob” Ditengah Desakan Kebutuhan Ekonomi di Pegunungan Arfak

Marianus Mandacan dan istri berangkat ke kebun kopi mereka di di Kampung Mbenti Kabupaten Pegunungan Arfak. Pak Marinus adalah orang Arfak dari sub Suku Miyah, begitu juga sang istri. (SAMDHANA/Andi Saragih)


Cerita oleh Andi Saragih


Hari masih pagi, Bapak Marianus Mandacan tengah bersiap hendak berangkat ke kebun. Pagi pagi sekali beliau sudah bangun dan mengumpulkan segenap tenaganya untuk menggerakkan sendi tubuh yang sudah mulai kaku karena dinginnya pagi, ditambah umurnya yang telah menginjak kepala 6 membuat sendinya tidak sekuat dulu menahan udara dingin. 

Parang, ember dan karung sebagai alat untuk merawat dan memanen kopi sudah disiapkannya sejak malam tadi. 

Sambil menunggu sang istri memanaskan air untuk disuguhkan sebagai minuman sebelum berangkat ke kebun, pak Marinus duduk sebentar dekat perapian, mencuri kesempatan menghangatkan tubuhnya.

Setelah semua beres Pak Marinus dan istripun pergi ke kebun, Pak Marinus memanggul panah dan menjinjing parang,  sementara mama mama membawa Noken dan peralatan lain yang sekiranya diperlukan dikebun nantinya.

Pak Marinus memang memiliki kebun kopi yang saat ini sedang berbuah, kopi yang telah ditanam beberapa tahun sudah waktunya untuk dibersihkan dari rumput yang mengganggu.

Selain kopi, Pak Marinus juga memiliki kebun nanas yang luas. Nanas dari kampung ini sangat terkenal karena manisnya yang luarbiasa. Pak Marinus adalah orang Arfak dari sub Suku Miyah, begitu juga sang istri.

Diseberang pegunungan, tepatnya di bagian selatan, hidup juga satu keluarga dari suku Arfak bernama Yusak Towansiba. Ia memiliki seorang istri dan 4 orang anak. Satu anak tertuanya sudah menikah dan hidup dalam satu rumah dengannya. Mereka hidup di Distrik Neney, wilayah perbatasan antara kabupaten Manokwari Selatan dan Kabupaten Pegunungan Arfak.

Berbeda dengan Pak Marinus, Pak Yusak menggantungkan kehidupannya dari hasil bertanam keladi (Caladium sp)  dan berkebun tanaman kakao (Theobroma Cocoa).

Pak Yusak Towansiba dan istri sangat rajin mengurus kebunnya. Dalam satu bulan, ia dapat menjual 6 hingga 8 karung keladi dengan pendapatan kotor antara 1 sampai 2 juta.  Sementara penghasilannya dari kebun kakao tidak banyak diharapkan, selain luas lahannya yang kecil juga karena serangan hama dan penyakit.

Pak Yusak adalah orang Arfak dari sub Suku Sougb.

Yusak Towansiba menggantungkan kehidupannya dari hasil bertanam keladi dan berkebun kakao. Yusak adalah orang Arfak dari sub Suku Sougb di Distrik Neney, wilayah perbatasan antara kabupaten Manokwari Selatan dan Kabupaten Pegunungan Arfak.
(SAMDHANA/Andi Saragih)

Kedua keluarga ini adalah gambaran tentang bagaimana keempat sub suku yang ada di Arfak memenuhi kebutuhan hidupnya. Keempat sub suku Arfak, baik Hatam, Miyah, Moile dan Sougb, tidak memiliki tradisi yang terlalu jauh berbeda walaupun dari sisi bahasa sedikit ada pengecualian.  Keempat sub suku di pegunungan Arfak menggantungkan seluruh kebutuhan hidupnya kepada keberadaan sumber daya alam.

Hal lain yang sama dalam keempat sub suku ini adalah prinsip saling menghargai atau menghormati sau sama lain, yan tertuang dalam istilah “Igya Ser Hanjop”.

Menurut Purbokurniawan dkk, Igya Ser Hanjop  dapat diartikan sebagai sikap dan prinsip adat orang arang Arfak yang sangat menjaga dan menghormati hak, yang diistilahkan dengan “berdiri menjaga batas”. Batas yang dimaksud dalam pemahaman ini adalah termasuk dalam hal batas wilayah adat, batas kekayaan alam dan batas kebudayaan.

Batas juga tidak dipahami sebagai bentuk garis yang memisahkan, tetapi sebagai bentuk pengakuan antara satu dengan lainnya.  Prinsip ini telah lama dijalankan oleh Pak Marinus dan Pak Yusak dalam kehidupan sehari hari.

Dalam membuat kebun contohnya, mereka tidak akan membuka kebun baru dilahan yang bukan hak dari keluarga atau marganya. Jikalau membuka lahan di luar hak keluarga, maka harus meminta izin atau restu dari pemilik yang sebenarnya adalah mutlak dilakukan.

Aspek saling menghormati dalam budaya Arfak juga terlihat pada sesi perkawinan. Mempelai pria benar benar harus menghormati permintaan keluarga mempelai wanita seberapa sulit maupun mahal permintaan pihak perempuan. Sulit dan mahalnya mas kawin juga menjadi keluhan yang diutarakan oleh Pak Marinus dan Pak Yusak. Mas kawin yang pada zaman dahulu lebih mudah dipenuhi karena masih kuatnya budaya kerjasama antar keluarga kini makin sulit untuk dipenuhi pihak laki-laki, karena saat ini gotong royong mulai menipis. Kalau dulu mas kawin cukup dengan benda benda berhaga berupa kain timur atau senjata, kini sudah harus ditambahkan dengan uang yang kadang sangat besar nilainya.

Pada masa dulu ketika perkawinan telah terjadi, perempuan yang menjadi istri harus benar benar mengabdi kepada suami dan memastikan mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan memberikan keturunan kepada keluarga suami. Jika hal itu tidak terjadi, maka seringkali berakhir dengan konflik dalam keluarga.

Apalagi dengan makin mahal dan sulitnya mas kawin, maka pihak laki-laki  seringkali menuntut lebih tinggi kepada perempuan. Walau begitu kejadian seperti ini semakin terkikis karena makin hadirnya kesadaran diantara komunitas tentang pentingnya kesetaraan hak dan pencegahan tindakan kekerasan dalam penyelesaian masalah.

Pak Marinus dan Pak Yusak berharap nilai-nilai adat dapat kembali kepada nilai yang sebenarnya, yakni saling menghargai terus dijaga dan dipertahankan, dan bukan mengembangkan nilai adat berdasarkan kebutuhan ekonomi para pihak.

Mungkin statement ini perlu mendapat perhatian dan kajian lebih dalam untuk memahaminya.

Asal Usul Orang Arfak

Asal usul orang Arfak dikisahkan melalui cerita yang terkandung didalam mite, cerita rakyat ataupun dongeng yang dituturkan secara lisan.

Mite pertama, orang Arfak yang tinggal dikawasan Manokwari yakin bahwa dunia dan alam semesta diciptakan oleh Ajemoa, yaitu dewa yang menciptakan nenek moyang pertama orang Arfak, Siba. Dan Siba ini mempunyai tiga orang anak, yakni Iba, Aiba (pria) dan Towansiba (wanita). Dari sinilah yang kemudian menurunkan berbagai klan atau marga Saiba, Ahoren, Towansiba, Inyomusi, Iba dan sebagainya.

Mite kedua, orang Arfak meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari binatang (hewan). Misalnya dalam Gill Crravell (1988, dan dalam salabai 2009: 18) mengemukakan bahwa suku Hattam, suku Meyakh dan suku Moile berasal dari (hewan) anjing, yang mengisahkan dari seorang laki-laki bernama Imnyena yang memiliki seekor anjing betina. Anjing itu kemudian mengandung dan melahirkan seorang manusia berjenis kelamin perempuan dan dua ekor anjing. Bayi manusia  dan kedua binatang masing-masing bernama Ninab dan Wanio. Bayi manusia ini kemudian tumbuh dan besar menjadi seorang gadis. Ia menikah pertama di daerah Meyakh dan keturunan-nya memakai klan Mandacan Indou, Salabai. Sough, Tibyai, Demih, Ullo, Wonggor, Dowansiba. Selain klan yang disebutkan, sebagai suku Arfak Hatam adalah suku Arfak Moyle dan suku Arfak Sough.

Sistem Mata Pencarian

Orang Arfak hidup dari hasil berkebun. Kebun biasanya akan dibuka di sekitar kampung di tanah tanah milik komunal. Kebiasaan ini dilakukan secara berpindah-pindah. Suatu bidang tanah yang hendak dijadikan ladang pertama-tama dibersikan dari semak-semak dan pohon-pohon kecil yang ada didalamnya. Setelah pembersihan, ladang itu ditanami bibit keladi dan anakan pisang terlebih dahulu. Kemudian barulah pohon-pohon besar ditebang.

Batang pohon yang dipotong dikumpulkan pada tempat tertentu  atau ditaruh pada pinggiran (batas) kebun. Lalu batang pohon besar serta dahan, ranting dan daun pohon dipotong-potong  tersebar didalam kebun, Setelah kering kebun itu dibakar dan dibersihkan untuk proses penanaman bibit.

Aktifitas tambahan biasanya mereka membuat pagar untuk melindungi dan menjaga tanaman dari babi yang dianggap sebagai hama bagi tanaman.

Jenis tanaman yang ditanam selain pisang dan keladi adalah petatas, singkong, papaya dan sayur-sayuran (terutama bayam dan Gedi) serta jagung, kacang tanah, dan tebu.

Selain itu, bagi mereka yang tinggal di pegunungan Arfak, mereka juga menanam jenis tanaman dengan kualitas tinggi seperti kentang, wortel, bawang, kol, seledri, buncis dan sawi yang dibawa dari luar, sejak 1950-an.

Tanaman ini bagi mereka di pegunungan Arfak, biasanya memanfaatkan lahan disekitar halaman rumah untuk menanam tanaman tersebut. Hasil kebun dipanen kurang lebih 3 sampai 8 bulan bahkan setahun lebih. Setelah dipanen kebun itu dibiarkan lalu membuka lahan baru untuk membuat ladang baru. Setelah 5-10 tahun kemudian barulah lokasi itu dapat dibuka kembali menjadi ladang karna dianggap tanah itu sudah kembali subur seperti sedia kala.

Berburu dan meramu adalah mata pencarian tambahan yang dilakukan oleh suku Arfak dengan menggunakan busur dan anak panah.

Berburu di hutan dilakukan satu sampai dua minggu dengan membuat tempat peristirahatan berupa pondok di tengah hutan.

Binatang yang banyak diburu adalah kuskus pohon, tikus tanah, kangguru pohon, dan babi hutan. Selain itu mereka juga mengambil daun-daun yang bisa diambil untuk dikonsumsi seperti sayur pakis dan sayur genemon.

Untuk peternakan, orang Arfak selalu beternak babi yang sudah menjadi tradisi turun temurun. Babi tidak hanya dipelihara untuk dikonsumsi atau diperdagangkan, tetapi juga sebagai alat upacara adat, pembayaran mas kawin, dan pembawa damai ditengah konflik diantara sesama suku Arfak.

Bentuk mata pencarian lain yang sering dilakukan oleh orang Arfak yaitu menangkap ikan di tepi sungai dan dipinggiran danau Anggi.

Sebelum mengenal uang sebagai alat tukar, perdagangan mereka pada jaman dulu dilakukan dengan cara barter dengan hasil mata pencarian atau perhiasan harta benda. Barang-barang itu ditukarkan dengan barang-barang yang di miliki oleh orang lain sesuai kesepakatan bersama.

Orang Arfak menggunakan ternak babi, manik-manik dan gelang tangan sebagai alat tukar. Namun dalam perkembangan ketika mereka sudah mengenal uang sebagai alat tukar, hasil-hasil dari mata pencarian mereka itu dijual untuk memperoleh uang guna mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari melalui pasar.

Covid-19 dan kehidupan orang Arfak

Kita telah banyak membaca, mengetahui bahkan sebagian orang tidak dapat bertahan  menghadapi pandemi covid-19.

Di pegunungan Arfak, situasi yang terlihat sangat biasa-biasa saja, tidak ada orang yang menggunakan masker ataupun protokol kesehatan lainnya.

Memang, jika melihat jumlah penduduk per luasan wilayah, maka potensi penularan dari kegiatan berkumpul di kabupaten ini mungkin yang paling rendah dibandingkan daerah lain yang memiliki ruang publik terbatas dengan jumlah manusia yang banyak dan aktivitas yang cukup tinggi. Karakter orang Arfak yang hidup berjauhan karena topografi pegunungan  juga turut membantu mengurangi resiko penularan menjadi sedikit lebih rendah.

Meski demikian semua pandangan diatas masih asumsi tidak berdasar. Karena faktanya potensi terkena paparan virus tidak hanya terjadi di kabupaten pegunungan Arfak tapi juga di kabupaten lain seperti Manokwari, dimana mobilisasi masyarakat Arfak cukup tinggi daerah ini.

Beberapa masyarakat Arfak yang ditemui percaya adanya Covid-19, tapi semakin hari semakin merasa bahwa Covid-19 itu tidak menyebabkan sesuatu yang luar biasa, karena mereka tidak melihat secara langsung atau tidak pernah mendengar orang orang di pegunungan Arfak yang meninggal karena Coviid-19.

Walau demikian, mereka mengaku bahwa Covid-19 tidak terlalu memberikan dampak terhadap kehidupan mereka. Pelarangan berdagang hanya terjadi dimasa awal pandemi, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi pelarangan.

Masyarakat cenderung hidup normal, yang dapat dilihat dari mayoritas penduduk disana tidak menggunakan masker atau disinfektan.

Meskipun program pemberian vaksin dari pemerintah daerah terus dilakukan, masih sedikit sekali masyarakat di Arfak yang bersedia divaksin. Sebagian besar dari mereka masih merasa takut, disamping minimnya sosialisasi dan edukasi yang diberikan tentang hal ini.  

Cerita Lainnya