Mbok Denik atau Ni Made Puriati, hidupnya didedikasikan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya pemetaan partisipatif, advokasi dan gerakan perempuan. Ia memandu karirnya sejak awal berdirinya Yayasan Wisnu, kini ia direktur yayasan.(SAMDHANA/Anggit Saranta)
Cerita oleh Yessi Agustina
“Denik, adalah singkatan dari Made Cenik, Made yang paling kecil, jadi lah Denik!” begitu cerita Mbok Denik, atau Ni Made Puriati, seorang perempuan kelahiran Mengwi, Bali, ini menceritakan asal muasal nama panggilannya. Dibesarkan dari keluarga petani dan buruh bangunan, Mbok denik adalah anak bungsu dari empat bersaudara dan ditambah enam saudara sepupu dibesarkan dalam satu pekarangan/ kempaon. Mereka bersebelas, terdiri dari delapan perempuan dan tiga laki-laki. Hidup dengan banyak perempuan dalam keluarga Mbok Denik tidak pernah dibesarkan dengan pemisahan peran antara laki-laki dan perempuan. “Kami keluarga petani, gak bisa hidup neko-neko, jadi semua pekerjaan di rumah harus diambil, kalau gak dikerjakan nanti susah”.
Namun berbeda dengan pengaturan peran dalam rumah tangga, Mbok Denik menceritakan kegiatan urusan adat di Bali, terutama dalam pengambilan keputusan, laki-laki memegang peranan yang cukup kuat dan berada didepan. Perempuan dalam hal ini mengambil peran sebagai sistem pendukung bagi terselenggara nya acara-acara adat. Hal ini disebabkan karena pengambilan keputusan urusan adat akan menyangkut tanggung jawab terhadap orang banyak dan juga secara sekala dan niskala (dunia dan akhirat) dimana akan menguras tenaga dan emosional. Selain itu, perempuan Bali juga turut berbagi tanggung jawab dalam aspek ekonomi keluarga.
Berbeda dengan anggota keluarga lainnya, mengejar pendidikan adalah salah satu yang tertanam dalam benak Mbok Denik untuk bisa memperbaiki nasib. Walaupun dalam beberapa hal ia merasa pemikiran itu tidak sepenuhnya benar. Berbekal keberanian mengejar pendidikan Mbok Denik menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarga besar yang meraih gelar sarjana. Lulusan Universitas Al-Falah Surabaya, Jawa Timur dan Universitas Panji Sakti, Singaraja, Bali ini merasa ia harus berani menjadi berbeda untuk dapat mewujudkan tujuan hidupnya sebagai perempuan interpreneur sosial yang sukses, sejahtera dan berbahagia. Keberanian untuk berbeda itulah yang mendasarinya bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Mbok Denik memutuskan bergabung dengan Yayasan Wisnu sejak tahun 2000. Saat ini ia telah menjabat sebagai Direktur. Ia mengungkapkan “Saya tetaplah orang kampung, cinta desa”. Kecintaannya terhadap desa, membuat Mbok Denik ingin terus membangun masyarakat desa. Salah satunya adalah dengan program Memuliakan Kembali Alas Mertajati Tamblingan Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa Buleleng Bali sebagai pusat belajar hutan lestari berbasis tradisi, yang dilaksanakan bersama Samdhana Institute. Sebagai koordinator program tersebut Mbok Denik mengungkapkan bahwa tujuan program ini untuk menyelamatkan Alas Mertajati sebagai sumber kehidupan dan penghidupan dan mengembalikannya sebagai pusat belajar hutan lestari.
Lebih lanjut program ini juga mengupayakan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan mendapatkan kembali Alas Mertajati sebagai hak ulayatnya dan menjadikannya hutan adat melalui skema perhutanan sosial. Hal ini sekaligus menyiapkan kawasan Adat Dalem Tamblingan untuk dikembangkan sebagai pusat belajar hutan lestari berbasis tradisi.
Program ini menyasar kepada generasi muda dan para orang tua melihat sisi positif dari apa yang sudah di lakukan oleh anak-anak mereka, “Banyak ibu-ibu yang komen, bangga dengan apa yang sudah dilakukan anak-anak mereka, dan mereka jadi lebih aware, mengenai isu-isu lingkungan”, begitu ujarnya.
Berbicara mengenai peran perempuan, Mbok Denik mengungkapkan bahwa di Bali ada ungkapan Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa “kita harus menjaga Ibu pertiwi yaitu bumi kita tercinta tapi jangan lupa tanpa adanya matahari, bulan dan bintang (Bapak Angkasa) bumi ini tidak akan berjalan dengan semestinya”. Artinya, perempuan itu sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga namun bukan berarti lemah atau harus lebih diutamakan, keduanya (Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa) mempunyai peran yang sama, jadi harus berjalan bersama-sama”.
Sehubungan dengan perayaan hari Perempuan Sedunia yang jatuh di bulan Maret ini, Mbok Denik ingin menyampaikan pesan kepada perempuan di Indonesia dan seluruh dunia, untuk jangan pernah takut menjadi berbeda. “Di Bali ada ungkapan, Soleh itu tidak salah, Soleh di Bali artinya “berbeda”. Jadilah perempuan yang berani untuk berbeda, tentulah berbeda yang berdasar” ungkapnya.
“Kamu boleh miskin, tapi jangan miskin daya dan cipta, teruslah membangun keberanian, teruslah menyuarakan aspirasi dan tidak pernah takut untuk berbeda”. Hal ini juga turut ia sampaikan karena sampai sekarang ia masih merasakan ketertindasan orang kecil di Indonesia, dan seringkali dinafikan keberadaannya. Mbok denik bercita-cita untuk terus menyuarakan suara orang-orang yang termarginalkan. Namun yang perlu diingat adalah less think and talking about it, but more doing it. ###
+ There are no comments
Add yours