Kelompok Anak ng Tribu Higaunen-Talaandig di Baungon, Bukidnon. (Courtesy of Anak ng Tribu)
“Padulong na sa pagkawala tungod kay wala na’y mga bantan-on nga mopursige sa pagtuon sa paagi sa tribu – maka moderno na kaayo ang sistema,” [Mereka menghilang karena tidak ada anak muda yang ingin belajar budaya dan tradisi suku kami. Sistem di masyarakat sekarang menjadi sangat modern,] keluh Anilao.
Anilao yang berusia dua puluh satu tahun mengamati bahwa Sistem dan Praktik Pengetahuan masyarakat adat (Indigenous Knowledge Systems and Practices/IKSP) mereka sebagai orang Higaunen-Talaandig sayangnya telah menghilang dengan cepat. Dengan kemajuan teknologi dan kenyamanan dari dunia modern, masyarakat adat di seluruh Mindanao semakin sulit untuk berbagi dan melanjutkan warisan hidup mereka dengan generasi muda. Ini adalah kisah sekelompok anak muda Lumad yang berani bermimpi untuk menemukan dan menghidupkan kembali jati dirinya. Di sinilah perjalanan mereka dimulai:
Warisan Budaya dan tradisi yang sedang sekarat (Dying Heritage)
Kelompok Anak ng Tribu Higaunen-Talaandig di Baungon, Bukidnon, pada awalnya dibentuk untuk mendorong dan menopang minat anak muda di komunitasnya terhadap tarian dan musik tradisional suku tersebut. Tarian dan musik adalah ekspresi utama dari identitas dan warisan mereka. Mereka juga memahami bahwa ini hanyalah bagian dari sistem budaya dan tradisi yang lebih besar lagi.
Mekanisme dan peluang untuk mempelajari dan menyerap budaya Higaunen-Talaandig mulai menghilang. Hanya sedikit interaksi yang terjadi antara anak muda dan orang yang lebih tua. “Mismo ang mga kabatan-onan nga lumad mag discriminate sa mga katigulangan,” [Pemuda Lumad sendiri mendiskriminasi para Sesepuh dan lebih mendukung gaya hidup yang lebih populer] Kata Anilao. Dia mengamati bahwa semakin banyak anak muda dari komunitas suku mereka memilih untuk tidak mempraktikkan budaya tradisional mereka. “Daghan wala kabalo unsa ilang mga katungod. Kung wala’y magpadayon, mawala na ang IKSP,” [Banyak yang tidak tahu haknya. IKSP akan hilang jika tidak ada yang melanjutkan,] tambahnya.
Selain itu, wilayah leluhur mereka telah dirambah oleh para pemukim yang tidak sesuai dengan tradisi mereka, termasuk tradisi yang sangat menjunjung tinggi nilai hutan dan lingkungan. “Amo nang simbahan, merkado, ug tulon-anan,” [Ini adalah gereja, pasar, dan sekolah kami.] katanya. Namun saat ini, keputusan penting tentang komunitas mereka tidak selalu sejalan dengan perspektif masyarakat adat. “Aduna’y mga panagbangi sa pamaagi sa panggobyerno…” (Ada cara-cara pemerintahan yang saling bertentangan.) Anilao menambahkan.
Meskipun isu-isu ini tidak mudah diartikulasikan oleh semua anggota muda komunitas suku, masih ada diantara mereka yang melihat bagaimana budaya dan identitas kesukuan mereka terabaikan serta merasakan dorongan yang kuat untuk mengubah situasi. Belajar kembali dan memahami tentang warisan tradisional mereka dan terus hidup dengan caranya.
Kesempatan untuk melakukan pertemuan
Pada tahun 2018, Anilao menghadiri ritual Panalawahig, untuk menghormati roh penjaga air. Di sana Ia bertemu dengan staf Samdhana Institute yang juga berasal dari suku Higaonon. Kesempatan bertemu itu menjembatani kemitraan antara Anak ng Tribu dan Samdhana Institute. Mereka diundang ke Perkemahan Ekokultural Pemuda Pribumi pertama yang diselenggarakan bersama oleh Samdhana Institute dengan komunitas domain leluhur Higaonon dan Bukidnon. Pertemuan dilakukan untuk menetapkan arah keterlibatan program dengan Samdhana Institute. Mereka mampu menyusun ambisi muda mereka kedalam rencana strategis lima tahun. Mereka menggunakan dukungan pertama untuk meningkatkan organisasi mereka, menyepakati fokus diluar dari sekedar menjadi kelompok pertunjukan budaya, dan menetapkan tujuan lain untuk pengembangan dan pengelolaan diri mereka sendiri.
Mereka sudah mulai melaksanakan kegiatan dari rencana lima tahun mereka, yang menurut Anilao, membahas dua masalah utama: perlindungan lingkungan dan mitigasi kekurangan makanan. “Dua dari tujuh (rencana) namo kay na implement na. Nag abri mi og ug organik na, ”[Dua dari tujuh rencana yang kami miliki sudah dilaksanakan. Kami memulai setidaknya empat taman komunal (terletak di empat barangay berbeda). Kami sedang mempraktikkan pertanian organik yang terintegrasi.] Kata Anilao. Kebun komunal tidak hanya menyediakan makanan bagi anggota dan keluarganya, tetapi juga tempat mereka belajar sistem pertanian tradisional mereka. “Gi promote namo mga traditional crops sama sa lutya, adlai, ug traditional nga coffee. ‘‘Mi og miller para sa adlai, humay, ug mais,” [Kami mempromosikan tanaman tradisional seperti talas, hanjeli atau buah jali, dan kopi tradisional. Kami bisa membeli penggilingan untuk adlai, beras, dan jagung.] Tambahnya. Anilao mengatakan, mereka berniat menanam jenis pohon asli, dan mereka sudah memiliki pembibitan untuk lawaan (Dipterocarp), balite (Ficus), dan pohon pinang asli. “Pag adto sa kinaiyahan, ibalik ang prinsipyo sa kagpangalasan. Mao ni ang pagtuon sa kinaiyahan, pahibalo sa mga kabatan-onang lumad. Ang lasang mismo ang among eskwelahan, pinaagi sa mga elders,” [Kami ingin menghidupkan kembali prinsip kapangalasan. Ini adalah studi tentang alam, pendidikan pemuda adat. Hutan adalah lingkungan belajar kita melalui para sesepuh kita.] Katanya.
Prospek masa depan
Anilao yakin mereka bisa mewujudkan rencananya, organisasinya sudah ada sejak enam tahun terakhir. “Mitigasi kekurangan makanan ug kagpangalasan ― nasugdan na namo before, pero mas mikusog tungod sa suporta nga nadugang,” [mitigasi kekurangan makanan dan konservasi alam – Kami akan terus memperkuat upaya-upaya yang telah dilakukan sebelumnya] Kata Anilao.
+ There are no comments
Add yours