Kegiatan Pemetaan Desa dilakukan oleh para perempuan di Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. (SAMHDANA/Rizqiah Ma’mur)
Berbicara soal pemetaan partisipatif, sebuah kegiatan yang jarang melibatkan perempuan, Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Banyumas, Jawa Tengah punya cerita unik tersendiri. Sejak awal, perempuan sangat terlibat dalam proses tersebut. Pada tahun 2018, LPPSLH (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan) yang telah bekerja di desa tersebut sejak tahun 1998, mulai bekerja untuk mendapatkan Izin Pemanfaatan Hutan untuk Perhutanan Sosial (IPHPS). LPPSLH menggunakan Peraturan No.39/2017 tentang Wilayah Kerja Perum Perhutani sebagai dasar. Bersamaan dengan upaya pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi terbuka tentang perencanaan, pengelolaan, advokasi, dan penetapan tujuan, termasuk mengidentifikasi potensi mata pencaharian desa.
Saat perjalanan untuk mendapatkan izin dimulai, desa perlu memperjelas perbatasannya dengan desa tetangganya. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), sebagai fasilitator proses, melatih masyarakat lokal, laki-laki dan perempuan, untuk menggunakan tools Global Positioning System (GPS) dalam prosesnya. Narsem, salah satu perempuan yang terlibat aktif dalam ekowisata di kawasan itu mengatakan betapa senangnya dia dengan pengalaman baru ini karena dia belum pernah melakukannya sebelumnya. “Pada saat diajak oleh teman-teman LPPSLH, saya langsung tertarik. Karena tentu akan ada pengalaman baru ketika kita melakukan sesuatu yang belum pernah. Kami diajak untuk berkeliling desa. Kegiatannya adalah partisipatif. ” Baik pria maupun wanita berjalan melalui desa mereka sendiri untuk memetakan perbatasan. Banyak dari perempuan yang menyadari bahwa mereka telah tinggal di Gerduren selama beberapa dekade, namun mereka masih belum mengetahui secara pasti perbatasan desa mereka sendiri. “Benar-benar menjadi pengalaman baru. Karena meski setiap saat lewat, tetapi kan tidak memperhatikan. Ada juga perbatasan desa yang sebelumnya tidak kami ketahui. ” Itu adalah pengalaman yang mencerahkan, seperti yang dikatakan Narsem.
Menariknya, saat memetakan Gerduren, warga menemukan sebuah kawasan yang berbatasan dengan Desa Tinggarjaya, dan selama 20 tahun tidak jelas status pemanfaatannya. Para perempuan yang terlibat dalam proses negosiasi dan setelah masalah diselesaikan, menjadi sorotan pada hari itu. “Pada saat perempuan ikut melakukan pemetaan dan ada daerah yang disengketakan dulu, maka mereka tampil ke depan. Itu ada tanah yang selama 20 tahun, statusnya tidak jelas. Sehingga perlu dirampungkan, kalau tidak bisa-bisa-berantem terus tanpa berhenti. Maka, ketika terselesaikan, itu menjadi salah satu poin penting. Apalagi negosiasi dilakukan oleh sebagian besar perempuan, ”ujar Surti Handayani, Anggota Panitia Pengarah Dedicated Grant Mechanism Indonesia (DGMI), yang mendukung inisiatif tersebut melalui Samdhana Institute. Ia mengaitkan keberadaan perempuan sebagai salah satu faktor kelancaran negosiasi dengan Tinggarjaya tanpa konflik lebih lanjut.
Surti juga menyebutkan, selama diskusi untuk mengelola ekowisata Gunung Pertapan, perempuan lebih siap dan secara logis berdebat tentang rencana ke depannya. Para wanita kini semakin percaya diri untuk menunjukkan kemampuan mereka. “Salah satu yang kini digeluti secara serius adalah Yayasan Gunung Pertapan sebagai ekowisata. Pada saat diskusi awal, ternyata perempuan lebih siap dalam merencanakan ekowisata. Mereka lebih mantap dalam berargumentasi atau rencana-rencana yang bakal dilaksanakan. Sehingga pada saat aksi di lapangan, para perempuanlah yang lebih tampil di depan”
Para perempuan tersebut mengetahui bahwa desanya memiliki banyak potensi dan semakin bersemangat untuk mengelolanya. Hutan desa memiliki luas total 285 hektar. Dengan ruang seperti itu, terdapat potensi yang sangat besar untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal secara signifikan. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dibentuk oleh Kepala Desa, Bambang Suharsono, dan para perempuan tersebut diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara terbuka. Menurut Bambang, hal tersebut karena para wanita sangat ingin mengolah ide dan mengelola situs.
Masyarakat Desa tersebut berharap agar kawasan wisata mereka dapat dikembangkan lebih jauh, dan semakin banyak perempuan yang dapat memperoleh pekerjaan. “Memang, nantinya tidak hanya menggarap Gunung Pertapan. Wisata di lokasi itu memang sangat penting keberadannya, untuk menyatukan semua potensi. Kami siap membuat produk olahan atau hasil kerajinan yang menarik bisa dipasarkan di lokasi wisata. Apalagi, saat ini sudah mulai ada peralatan yang menunjang membuat produk olahan. ” Narsem menuturkan, wisata Gunung Pertapan Gerduren telah membangkitkan harapan baru bagi masyarakat khususnya kaum perempuan. Para perempuan merasakan dampak positif dalam mengurangi pengangguran di desa, tidak hanya bagi penduduk setempat, tetapi juga bagi orang luar yang bekerja di Pertapan.
Surti berharap pengalaman ini tidak hanya terbatasa untuk satu generasi perempuan ini saja, tetapi akan di wariskan ke generasi yang akan datang. Para ibu bahkan gadis remaja harus didorong untuk berpartisipasi melanjutkan perjalanan. “Jangan sampai tidak melakukan kaderisasi. Sebab, tanpa kaderisasi, maka bisa saja nanti kan mandek. Oleh karena itu, kami terus mendorong kepada para perempuan untuk juga mengajak para ibuibu yang sudah tua untuk menentukan juga, tentu sesuai dengan apa yang mereka bisa. Keterlibatan mereka juga sangat penting.”
*Laporan Q1,2 dan 3 LPPSLH – DGMI reports
*Laporan Akhir LPPSLH – DGMI Report
*Buku Tapak Perjuangan untuk Hutan Berkeadilan – Lilik Darmawan LPPSLH
+ There are no comments
Add yours