Usulan Hutan Adat Marga (Rae) Baho, Sebuah Upaya Legal Perlindungan “Moss dan Atrow”

Ketua Marga Baho bersama perwakilan tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh peremuan Marga Baho menunujukan peta wilayah adat yang diusulkan ke pemerintah Daerah Kabupaten Maybrat. (Yunus Yumte)


Cerita oleh Yunus Yumte


Semangat untuk melindungi hak ulayat adat, hutan adat, nilai adat dan praktek-praktek tradisional adat yang terkait erat dengan perlindungan hutan di tunjukan oleh Marga Baho, Suku Aifat di Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat. Pemetaan wilayah adat yang mereka lakukan sejak 2017 sampai dengan pengusulan penetapan hak ulayat dan hutan adat pada  tanggal 24 November 2020. Semua upaya ini dilakukan tidak lepas dari keinginan masyarakat adat untuk mempertahankan zonasi adat dan nilai adat “Moss” dan “Atrow” yang mereka percayai, hormati dan dipakai sebagai panduan penataan wilayah oleh Sebagian besar masyarakat adat suku Aifat di Kabupaten Maybrat.

Moss” merupakan zona inti perlindungan adat yang oleh masyarakat adat Maybrat, Suku Aifat dipercaya sebagai tempat peristirahatan arwah-arwah nenek moyang yang telah meninggal. Dalam bahasa sehari-hari masyarakat adat Maybrat mengenal moss sebagai zona larangan atau keramat yang penetapannya telah dilakukan oleh para leluhur sebelumnya dan tetap dipertahankan hinga saat ini.

Sedangkan ‘Atrow’ merupakan zona penyangga terhadap “moss’’ yang peruntukannya untuk pemanfaatan terbatas. Kedua zonasi tersebut umumnya ditutup oleh hutan primer yang tidak dapat dimasuki atau dimanfaatkan secara sembarang tanpa persetujuan pemilik adatnya. Secara ekonomi, Atrow menjadi satu zona kunci bagi kehidupan Masyarakat Adat Maybrat secara khusus Suku Ayfat. Dalam etimologi (pemenggalan kata) bahasa Maybrat At berarti tempat berburu, mencari dan meramu dan Row yaitu terpencil, jauh atau terisolasi, sehingga secara harafiah Atrow dapat diartikan sebagai tempat berburu atau meramu hasil hutan yang jauh dan terisolasi. Atrow biasanya dimiliki oleh satu kelompok Marga (Rae) yang digunakan untuk kegiatan subsisten (berburu, memancing, meramu bahan makanan) dan dalam pemanfatannya dibatasi baik dari sisi jumlah maupun waktu pemanfaatannya.

Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif hak ulayat adat, luas wilayah adat Marga Baho adalah 2,918.1 ha. Dimana didalamnya terdapat 3 titik ‘Moss” yaitu Moss Ane Mana, Moss Menis dan Moss Ske dengan total luasan mencapai 37.7 ha. Sedang Atrow seluas 2,533.7 ha. Di luar kedua zona tersebut terdapat zona budidaya seluas 347 ha yang terdiri dari kebun (ora), bekas kebun (ribouh), kampung, dan hutan yang dapat dikonversi menjadi kebun (touf).

Usulan Penetapan Hak Ulayat dan Hutan Adat Marga Baho

Tanggal 24 November 2020 menjadi hari penting bagi komunitas adat Marga Baho, karena keseluruhan hasil pemetaan wilayah adat bersama dengan profil masyarakat adat Baho telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Maybrat disaksikan oleh BPSKL Maluku Papua dan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat. Dokumen pengusulan berupa peta wilayah adat dan profil masyarakat adat diterima langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Maybrat, Bapak Johny Way, S.Hut, M.Si di Aula Kantor Bupati Maybrat. Dalam sambutannya, Sekda menyampaikan bahwa “Nanti kalau hutan adat ini sudah jadi maka ini jadi yang pertama di Papua, sehingga semua yang sudah dikerjakan ini saya harap kedepan jadi model untuk seluruh tanah papua dan Papua Barat”. Sambungnya “Pemda [Kabupaten] Maybrat berkomitmen melegalkan secara Hukum seluruh hutan adat milik marga Baho dan marga lainnya agar status kepemilikannya sah dimata Hukum. Hutan Marga tersebut salah satunya ialah hutan adat Marga Baho yang ingin diabadikan melalui peta sehingga diharapkan menjadi model bagi seluruh hutan adat di tanah Papua pada umumnya”.

Pengusulan Penetapan Hak Ulayat Dan Hutan Adat Marga Baho Disaksikan Secara Online oleh BPSKL Maluku Papua dan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

Edison Wafom, Staff Cabang Dinas Kehutanan Wilayah 8 Provinsi Papua Barat yang sekaligus merupakan fasilitator pemetaan dan pendamping Marga (Rae) Baho menyampaikan bahwa “Sampai sekarang kita (Kabupaten Maybrat-Red) belum ada perda, jadi kita berharap DPR atau pemerintah yang ada bisa mendorong ini ke dalam suatu program legislasi daerah”. Dukungan regulasi daerah menjadi penting karena mandat dari Peraturan Menteri LHK No 17/2020 Tentang Hutan Hak dan Hutan Adat. Senada dengan Edison, Ibu Lilian Komaling, S.Hut Kepala Seksi Tenurial dan Hutan Adat di BPSKL Maluku Papua mengatakan bahwa Perda menjadi payung pengakuan dan perlindungan keberadaan masyarakat hukum adat yang berada didalam kawasan hutan. Sebagaimana Amanat UU No 41/1999 Pasal 67 Ayat (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

Kehadiran Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Maybrat juga menjadi perhatian dari Sekda. Sekda mengarahkan agar seluruh tanah dan hutan adat di Kabupaten Maybrat bisa dipetakan untuk segera didorong ke DPRD untuk mengeluarkan PERDA.

Hutan Adat Marga Baho telah juga masuk dalam daftar prioritas fasilitasi hutan adat oleh Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat. Bapak Yunus Krei, selaku Kepala Bidang RHL dan Perhutanan Sosial di Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat didalam presentasinya menunjukan bahwa terdapat 7 Marga yang telah menunjukan rencananya untuk mengusulkan hutan adat. Salah satunya adalah Marga Baho, Suku Ayfat yang akan mengusulkan 2,900 ha wilayah adatnya. Di kesempatan yang sama Bapak Krei juga mengingatkan bahwa hutan adat perlu dikelola dengan baik sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Pendampingan berkala menjadi penting sehingga masyarakat dapat mengelola dan mendapatkan manfaat yang besar dari sumber daya hutannya. 

Gambar trend perubahan tutupan hutan Marga Baho Dalam 20 Tahun Terakhir, Berdasarkan Data Global Forests Watch – Hansen.

Usulan hutan adat dengan semangat perlindungan zonasi adat dan perlindungan sumber daya hutannya menjadi penting untuk Marga Baho. Hasil studi deforestasi yang dilakukan oleh Jarot Pandu Panji Asmoro dari Balai Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Manokwari yang didukung oleh Samdhana Institute, Juni 2020 terhadap wilayah adat Marga Baho menunjukan bahwa kehilangan hutan di wilayah adat Marga Baho relative kecil atau sekitar < 10% dalam 30 Tahun terkahir. Sekalipun wilayah adat Marga Baho secara legal telah berada didalam areal konsesi PT. Bangun Kayu Irian. Trend deforestasi/kehilangan hutan yang relative rendah tersebut merupakan dampak dari kekuatan zonasi, nilai adat serta praktek-praktek pemanfaatan tradisional yang dilakukan oleh komunitas adat Marga (Rae) Baho. Selain itu, aksesibilitas ke dalam wilayah adat Marga Baho juga belum terbuka, sehingga tekanan terhadap hutan juga rendah sebagaimana daerah lain yang umumnya memiliki tekanan tinggi sebagai impact dari kemudahan akses.   


Artikel ini ditulis dengan tambahan informasi dari sumber :

Edison Wafom, 2019. ATROW; KONSEP KAWASAN LINDUNG TRADISIONAL MARGA BAHO SUKU AYFAT MAIBRAT. THESIS – KARYA TULIS ILMIAH, PENDIDIKAN PASCASARJANA UNIPA. MANOKWARI. 

papuabaratnews.co, klikwarta.com, penatelukcendrawasih.com

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours