Empat Seniman Indonesia Menempuh Cara Unik Mengatasi Krisis Sosial Ekologi

Empat seniman di Indonesia yang menempuh cara unik melakukan perubahan mengatasi krisis sosial ekologi melalui kegiatan seni budaya. Keempatnya berbagi cerita dalam seri diskusi Cangkir KoPPI oleh Samdhana Institute. (Anggit Saranta)

Empat seniman yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia menempuh cara unik melakukan perubahan dalam mengatasi krisis sosial ekologi melalui kegiatan seni budaya. Mereka adalah Cokorda Sawitri dari Provinsi Bali, Slamet Diharjo dari Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Mila Rosinta dari provinsi DI Yogyakarta, dan Iqbal H. Saputra dari Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung.

Mereka berbagi cerita tentang kegiatan inspiratif dan perjuangan dalam menghadapi krisis sosial ekologi di wilayahnya dalam Serial kedua CangKir KoPPI (Berbincang dan Berpikir Kreatif Kelompok Perempuan dan Pemuda Inspiratif). Webinar ini di gelar dengan harapan untuk dapat membangun sinergi yang dapat mentransformasi pengalaman dan pembelajaran di peroleh menjadi gerakan masyarakat yang proaktif dalam mencari solusi atas krisis yang sedang terjadi. 

Webinar ini di selenggarakan The Samdhana Institute dengan dukungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia, dan Ford Foundation dengan tema “Mengatasi krisis sosial ekologi melalui pendekatan seni budaya dan inklusi sosial” pada Senin (30/11/2020).

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Dr. Hilmar Farid dalam pembukaan webinar ini menyampaiakan bahwa kesenian dan kebudayaan secara umum mempunyai peran yang sangat strategis. Pendekatan budaya dan kesenian bukan saja suatu alternatif, tetapi harusnya menjadi ‘mainstream’ atau tenaga utama untuk mengatasi krisis ekologi.

“Saya membayangkan kontribusi dari praktik-praktik yang baik di bidang kesenian dan kebudayaan secara umum, juga punya nilai yang pada masa sekarang justru menjadi andalan kita,” ujarnya. 

Pandemi, kata Hilmar, mengubah wajah sosial ekonomi secara amat drastis. Kondisi tersebut mengingatkan bahwa ada yang keliru dengan cara berinteraksi dengan alam. Kekeliruan tersebut sudah terlembaga dan menjadi begitu solid, baik dalam kebijakan ekonomi maupun institusi ekonomi dan korporasi besar. 

“Sekarang orang mulai berpikir apa jalan keluarnya, sementara yang stabil ini, yang sudah mapan ini, ternyata tidak bisa memberi jawaban krisis sosial ekologi yang ada dan perhatian mulai terarah pada banyak sekali praktik-praktik baik di tengah masyarakat dan akar rumput,” katanya.

Menurut Hilmar, Indonesia memiliki potensi sangat besar dan luar biasa, karena memiliki keragaman hayati yang tinggi, sekaligus keanekaragaman budaya yang besar. Seniman yang aktif sekarang mengembangkan kebudayaan intelektual di tingkat akar rumput, kata Hilmar, kini waktu yang sangat tepat. 

“Sekarang bagaimana menghubungkan yang baik-baik tersebut menjadi kekuatan dan solusi terhadap krisis sosial ekonomi yang ada. Bagaimana praktik-praktik yang baik ini bisa terhubung satu sama lain, membentuk sebuah jaringan yang alternatif,” ujarnya.

Deputy Executive Direktor Samdhana Institute Martua T. Sirait dalam pengantarnya mengatakan krisis sosial ekologi yang ada saat ini masih akan berlanjut. Hal itu menjadi satu tantangan bagi kita semua. Ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab semua itu.

“Karena itu kreativitas harus terus dibangun dan diperluas untuk mendapatkan cara-cara cerdas bagi pemulihan krisis sosial dan lingkungan yang akan terus kita hadapi, salah satunya pandemi Covid-19 yang kita alami saat ini,” ujarnya

Mengawali sesi berbagi pengalaman dalam diskusi Cangkir KoPPI ini adalah Cokorda Sawitri. Seorang seniman, sastrawan, dan aktivis perempuan yang banyak memberikan dukungan terhadap pelestarian budaya Bali. Pendiri Forum Perempuan Mitra Kasih Bali (1997) dan Kelompok Tulus Ngayah Bali (1989) tersebut aktif menyuarakan penyelamatan lingkungan melalui kesenian di Bali, salah satunya menyelamatkan air.

(GRID/Dita)

Sebuah video mengenai pertunjukan seni Arja Siki, kesenian tradisional Bali yang menampilkan Cok Sawitri dengan perannya sebagai Gubernur Air, cukup menuai banyak kontroversi. kesenian tradisi berupa monolog atau orasi Ia gulirkan di saat musim Pilkada sedang berlangsung sebagai bentuk pernyataan politiknya. “Orang lupa, salah satu hal yang membuat Bali akan ‘collapse’ itu bukan pariwisata seperti sekarang, yang bikin ‘collapse’ itu nanti air,” katanya.

Sayang, menurut Cok Sawitri, di Bali orang tidak pernah membicarakan air. Ketika terjadi banjir seperti di Denpasar, kambing hitamnya justru sampah. Padahal program pengelolaan sampah sudah lama dilakukan pemerintah di sana.

“Sumur resapan di pantai itu rasanya sudah payau, pemerintah tidak mau riil melihat, kita punya cadangan air tanah hanya satu di Jembrana, sementara masih ada 7 kabupaten lain yang memerlukan air, di tambah banyak persoalan air lainnya,” ujarnya.

Di Kota Denpasar, Bali, kata Cok Sawitri, pada 2010-an saja rumah tangga sudah memakai air kelas tiga atau kelas C dari sungai. Hal itu menjadi lucu karena air jenis itu yang dipakai masyarakat.

Menurut Cok Sawitri, krisis sosial ekologi sangat besar mempengaruhi caranya berkesenian dari dulu. Sebagai seniman ia memegang teguh sikap independen dan seni teaternya adalah melawan. Karena itu ia menyadari tidak akan mungkin mendapatkan tepuk tangan dari sikap kritisnya terkait kebijakan sosial ekologi.

“Jika kita menjadi seniman yang kritis, maka kita siap melakukannya ‘di jalan sunyi’ yang jauh dari tepuk tangan meriah,” katanya.

Turut berbagai pengalaman dalam diskusi ini yaitu Slamet Diharjo, seniman tari di Banyuwangi, Jawa Timur yang memilih menjadikan lahan sawah warisan dari ibunya menjadi sanggar seni, “Sawah Art Space”. Tempat itu digunakan lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut sebagai ruang belajar seni budaya bagi anak-anak dan pemuda kampung. 

(GRID/Dita)

Slamet yang akrab dipanggil “Syamsul” tumbuh di Desa Kemiren yang ditetapkan oleh Gubenur Jawa Timur sebagai Desa Wisata Adat Osing pada 1995. Desa tersebut dihuni masyarakat adat Banyuwangi, suku Osing.

Sebelum membuka “Sawah Art Space” mulanya ia terinspirasi dari sanggar lain di Banyuwangi, yaitu mengajar tari kepada anak-anak dengan membayar pendaftaran. 

“Misalnya per anak itu Rp5 ribu, tapi di desa saya itu nggak bisa, nggak tercapai sampai Rp100 ribu, akhirnya saya sadar apa arti uang itu bagi saya,” katanya.

Akhirnya Syamsul memilih mendirikan Sawah Art Space yang semata-mata untuk membentuk komunitas seni dan mengajar anak-anak di desanya berkesenian dengan gratis. Ia beruntung ada sekitar 30 seniman di Banyuwangi yang bersedia ikut dengannya melakukan kesenian tanpa pamrih. 

Mereka terlibat dalam kegiatan di Sawah Art Space dan mengajar generasi muda seni tradisi.

“Lambat laun pada 2018 saya mendirikan Sawah Art Space dan akhirnya bermanfaat lewat ‘support’ dari teman-teman,” katanya.

Tak kalah menginspirasi, Mila Rosinta Totoatmojo turut mengisahkan perjuangan nya dalam membangun sanggar tari yang Ia namakan Mila Art Dance School yang kini sudah mengajar lebih 3 ribu siswa untuk beragam genre tari.

Yang menarik, Mila membuka workshop khusus tari inklusi untuk kaum difabel. “Saya meyakini siapa pun berhak untuk menari, siapa pun bisa menari, dan siapa pun bisa mengejar mimpinya,” kata lulusan pascasarjana penciptaan seni tari ISI Yogyakarta tersebut.

Berangkat dari keyakinan itu, Mila berupaya memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk dapat mengejar mimpi nya di bidang tari, walaupun tidak mudah untuk dapat mewujudkan keinginan itu.

Inklusi sosial yang di usung Mila dalam Art Dance Schoolnya memberikan denyut baru bagi kaum difabel, untuk dapat menekuni “passion”mereka di bidang tari. Hal ini juga sangat di rasakan oleh tenaga pengajar yang juga turut belajar dalam proses nya.

Mila mendirikan sekolah tari juga karena melihat fenomena anak-anak milenial saat ini sedikit jauh dari tradisinya, khususnya tari-tari tradisi di Yogyakarta.

“Saya melihat fenomenanya di daerah perkotaan sedikit sekali para generasi penerus yang mempelajari tari-tari tradisi, saya harus membuat sebuah formula, gimana sih agar anak muda bisa dekat dengan tradisinya lagi,” ujarnya.

(GRID/Dita)

Ia menyadari anak muda yang sekarang lebih gandrung budaya K-Pop, balet, atau Yoga dan itu tidak bisa dipaksa. Karena itu ia membuka kelas berbagai genre dan membiarkan anak-anak muda masuk ke kelas-kelas yang ia sukai dulu, sebelum diajak mengenal tari tradisi. 

“Mereka anggap tari tradisi itu membosankan, tidak gaul, jadi saya punya cara tersendiri dengan masuk ke kelas satu per satu, ini loh ada tari kreasi dan ada tari tradisi yang harus kita lestarikan,” katanya. 

Mila mendorong anak muda mempelajari tari tradisi karena pada dasarnya tari tradisi di Indonesia adalah spiritual dan proses pencarian identitas diri bisa dari tari. 

“Saya katakan pada anak didik saya, tradisi kita keren, apa yang kita punya itu malah dipelajari di luar negeri, di Amerika banyak sekali komunitas tari bali, tari tradisi lain, apa mau nanti 100 tahun lagi kita belajar tari tradisional kita sendiri dari mereka, dari situ saya bangun kesadarannya,” ujarnya. 

“Saya katakan pada anak didik saya, tradisi kita keren, apa yang kita punya itu malah dipelajari di luar negeri, di Amerika banyak sekali komunitas tari bali, tari tradisi lain, apa mau nanti kita belajar dari mereka, dari situ saya bangun kesadarannya,” ujarnya. 

Putra daerah Iqbal H. Saputra turut memperkaya diskusi dengan bercerita mengenai inisiatif Ekowisata Kulong sampan yang di bangun nya bersama rekan-rekan nya. Iqbal merupakan seniman muda yang memilih pulang kampung ke Belitung pada 2018 setelah merantau di Yogyakarta selama 14 tahun. Lulusan pascasarjana di salah satu universitas di Yogya tersebut mendirikan Yayasan Pusat Studi Kebudayaan Belitung.

Iqbal menyatukan seniman lokal dan mengajar anak muda belajar sejarah, sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui kegiatan seni-budaya. 

(GRID/Dita)

“Yang kami perjuangkan adalah kesadaran berpikir,” kata Iqbal.

Ia mengatakan, nama Belitung menjadi buah bibir nasional dan internasional berkat novel Andrea Hirata, “Laskar Pelangi” pada 2005 yang kemudian difilmkan sutradara Riri Riza pada 2008. Ini berlanjut setelah Jokowi menjadikan Belitung sebagai salah satu dari 10 destinasi Bali baru Indonesia. 

Di Belitung ia melihat kemeriahan dan kemegahan atau dampak dari partiwisata itu tidak benar-benar menyentuh manusia sebagai subjek.

“Saya melihat, terutama di daerah saya di Kulong Sampan, teman-teman sejawat saya tidak berani menjadi subjek, mereka menjadi objek dari kepariwisataan, bahkan mereka tidak ada dalam konstelansi kepariwisataan, mereka ada di luar itu,” ujar ketua Dewan Kesenian Belitung tersebut.

Bersama kawan-kawannya, Iqbal membuat Ekowisata Kulong Sampan di sebuah lahan hutan yang terlantar. Tempat itu dijadikan semacam laboratorium belajar seni-budaya, politik, dan lainnya. Namun kemudian akibat dampak pariwisata, lahan tersebut menjadi perebutan banyak pihak. 

Ia bersama kawan-kawannya memperjuangkan mempertahankan agar lahan tersebut bisa menjadi hak milik masyarakat. Kini lokasi  Ekowisata Kulong Sampan menjadi tempat anak-anak-anak muda belajar tari, dan aktivitas seni budaya lainnya.

Dari cerita dan pengalaman yang dibagikan oleh para seniman Indonesia ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran bahwa ekologi sosial sangat berpengaruh kepada kelangsungan hidup suatu masyarakat, nilai-nilai yang di bangun dan di turunkan melalui bentuk budaya, literasi dan juga hubungan antara manusia dan alamnya perlu di pulihkan untuk mengatasi krisis ekologi sosial.

Langkah-langkah yang telah di tempuh oleh para seniman ini merupakan upaya yang tidak mudah, berbagai kendala dan kompleksitas dalam permasalahan ekologi  sosial menjadi tantangan bagi jiwa—jiwa teguh ini. Namun, setiap angkah di ambil dengan bertumpukan harapan untuk dapat membangun lingkar pengetahuan yang dapat menginspirasi melalui seni budaya yang mendepankan inklusifitas di tengah krisis ekologi sosial yang sedang di hadapi. (*)

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours