Dua Jam Bersama Punggawa Bombat

Sudut kedai “Pinus Kopi Sikembang” yang dikembangkan dan dikelola pemuda Dukuh Kebaturan Desa Kembanglangit di Batang. (NOKEN/Anggit Saranta)


Cerita oleh Dony P Herwanto (NOKEN Connecting Community)


Nasrulloh memutuskan tidak pulang cepat, malam itu. Ia memilih menemani kami – Tim NOKEN, Connecting Community bermalam di Sikembang Park. Dia terlihat sibuk. “Benar, tidak mau tidur di guest house,” kata Nasrul meyakinkan kami.

Setelah memastikan Kedai Pinus Kopi ditutup, dia berjalan lebih dulu meninggalkan kami yang menggunakan mobil. Hanya menggunakan penerang melalui gawai, Nasrul berjalan cepat, meski pada akhirnya, kamilah yang sampai terlebih dahulu di halaman Sekretariat Bombat.

Malam itu gerimis. Sikembang Park cukup dingin. Di sejumlah tempat, listrik padam. Penyebabnya, ada pohon tumbang yang memutus aliran listrik di Kecamatan Bandar dan Blado. Sungguh malam yang sempurna untuk mendirikan tenda dan membuat api unggun, pikir kami.

Ada yang menyala, tak jauh dari pintu masuk Sikembang Park. Nyala api, tepatnya. Nasrul memanggil kami untuk ikut bergabung dengannya. Sudah ada 3 orang, selain Nasrul yang berada di lingkaran api unggun itu.

Kendaraan yang tadinya terparkir di halaman Sekretariat Bombat, harus kami pindahkan mendekat ke lokasi api unggun. Malam itu, akhirnya, kami mendirikan tenda. Tak butuh waktu lama, dua tenda berdiri tak jauh dari api unggun.

Kami duduk melingkari api unggun. Udara semakin hangat. Nasrul menikmati secangkir kopi dari biji Kopi Mbajing yang kami bawa dari Kulon Progo. Tak lupa, botol minyak kayu putih menjadi teman setia malam itu, dan malam-malam berikutnya.

Nasrul terlihat memejamkan mata. Meletakkan cangkir kopi di atas meja. Ia mulai mengisahkan perjalanan Bombat kepada kami yang malam itu memang berharap mendapatkan kisah dari dekat tentang Bocah Mbaturan, akronim dari Bombat yang berdiri tahun 1999.

“Ini adalah wadah bagi pemuda di Dukuh Kebaturan, Desa Kembanglangit di bidang sosial, dan olahraga,” kata Nasrul memulai cerita. “Yang bergabung semua pemuda Dukuh Kebaturan, Desa Kembanglangit,” lanjutnya.

Selain Bocah Mbaturan, Bombat juga masih memiliki nama yang sangat filosofis; Brayan Oerip Maju Bareng Ati Tentrem. Begini terjemahan dalam Bahasa Indonesia; hidup bersama, maju bersama, hati akan damai.

Nasrul memandang ke atas. Memastikan malam itu hanya gerimis. Dan kami tak sabar mendengar kisah selanjutnya.

Pilihan Sikembang sebagai epicentrum kegiatan Bombat bukan tanpa alasan. Juga bukan pilihan berdasarkan wangsit. Lokasi Sikembang memang sangat potensial dari segi akses dan juga tempat yang strategis, karena memang kerap dipakai berkegiatan.

Agustus 2016,semua pemuda-pemudi yang tergabung di Bombat pun mulai membersihkan Sikembang terutama di petak 49i. Langkah awal ini ditandai dengan dibukanya Sikembang sebagai salah satu destinasi wisata.

Tak ingin langkahnya terganggu, Bombat pun akhirnya mengajukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) ke Perhutani. “November 2016, kami resmi bekerjasama dengan Perum Perhutani KPH Pekalongan Timur,” kata Nasrul.

Sekali lagi, Nasrul menuangkan Kopi Mbajing yang kami sajikan ke dalam cangkirnya. Api mulai mengecil. Tim NOKEN mengambil sejumlah ranting dan beberapa bilah bambu yang tergeletak tak jauh dari tempat kami berada.

Nasrulloh

Ingatan Nasrul tentang perjalanan Bombat memang tak diragukan lagi. Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengingat kejadian demi kejadian sebuah perjalanan. Awal mula Bombat membangun Sikembang penuh dengan cemoohan. Dipandang sebelah mata oleh banyak orang.

Bahkan, ada yang menertawakan dan pesimis. “Bikin tempat wisata kok di hutan. Modalnya berapa?, Kalian tidak punya pengalaman sama sekali di bidang itu,” kata Nasrul mengulang kalimat dari warga yang dia ingat saat kali pertama membangun Sikembang yang awalnya hanya memiliki luas 3 hektare, dan kini sudah mencapai 11 hektare.

Meski mendapat sorotan negatif, pemuda-pemudi yang tergabung di Bombat tidak goyah membangun Sikembang. Cobaan demi cobaan terus dilalui. Proses tak mendustai hasil. Sikembang pun menjelma sebagai tempat wisata wajib kunjung ketika berada di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Ketika Sikembang sudah terlihat mampu mendatangkan banyak orang, bersama itu pula masalah datang. Semua orang ingin berjualan di Sikembang. Bahkan, Nasrul pernah dihadap ibu-ibu di kampung yang tidak diperbolehkan berjualan di Sikembang.

“Kami akhirnya mengadakan pertemuan dengan warga, tokoh masyarakat, dan pemerintah desa. Kami ingin menjelaskan kenapa kami tidak mengijinkan warga untuk mendirikan warung di Sikembang,” jelas Nasrul.

Alasan penolakannya adalah? “Kami punya konsep satu pintu. Warga boleh berjualan dengan cara menitipkan produknya di Sikembang, dengan syarat produk handmade, bukan produk beli di pasar,”.

Pilihan konsep ini, semata untuk menata Sikembang agar memiliki tampilan yang bagus, nyaman dan tertib. Ini terlihat sampai sekarang. Warung-warung berdiri dengan sadar estetika dan ruang gerak.

Masalah tidak berhenti di situ. Sambil merapihkan jaketnya, Nasrul kembali bercerita; selain dengan warga Dukuh Kebaturan, Bombat juga berhadapan dengan petani pesanggem atau penyadap getah yang sudah bertahun-tahun menggarap petak 49i.

Dengan rembug sedulur, Bombat mampu menyelesaikan persoalan dengan petani pesanggem yang pada akhirnya merelakan lahan garapan mereka dijadikan kawasan wisata dengan syarat, ada ganti rugi dan penggantian lahan garapan baru.

“Kami melayangkan surat ke Perhutani terkait dengan penggantian lahan untuk petani pesanggem dan penyadap. Perhutani bersedia mengganti lahan baru. Dan Bombat mengganti uangnya,” kata Nasrul.

Pendekatan rembug sedulur inilah yang kelak akan terus digunakan untuk menjaga soliditas Bombat.

Dengan makin dikenalnya Sikembang, perubahan demi perubahan pun dilakukan. Yang awalnya hanya sebagai titik swafoto, kini Sikembang mampu mengembangkan konsep wisata yang lebih beragam, diantaranya camping ground, outbond untuk dewasa dan anak-anak, kegiatan rapat, gathering, pondok wisata dan kedai kopi.

Semua itu tersaji dalam satu komplek Sikembang Park yang dalam waktu dekat akan membangun restaurant di seberang Sikembang.

Malam mulai larut. Dingin menembus hingga kulit. Tak ada lagi orang selain Nasrul dan Tim NOKEN yang masih duduk melingkari api unggun yang mulai kehabisan pendarnya. Nasrul yang seharusnya kembali ke rumah, harus menunda kepulangan demi mengisahkan perjalanan Bombat.

Bombat tak sendirian dalam mengembangkan Sikembang. Tahun 2019, The Samdhana Institute memiliki Program DGM-I. Mengetahui ada program itu, Bombat tertarik untuk mengajukan proposal ke Samdhana. Ketertarikan Bombat karena program itu menyangkat tentang hak akses untuk pengelolaan hutan dan lifelyhood.

“Dalam program ini, kami membuat konsorsium dengan 13 desa di Kabupaten Batang dan Pekalongan,” ucap Nasrul.

Setelah berhasil mendapatkan program DGM-I, Bombat segera mengajukan legalitas pengelolaan hutan, agar mampu melakukan sosialisasi perhutanan sosial, pemetaan hutan, penyusunan dokumen perhutanan sosial, penyusunan dokumen NKK dan pengiriman dokumen ke KLKH.

Selain itu, Bombat juga melakukan pelatihan untuk penguatan kapasitas kelembagaan Pokdarwis dan anggota Bombat, pelatihan tour guide dan instruktur outbond, serta pelatihan membuat souvenir.

Tak berhenti di situ, Program DGM-I juga menyasar kelembagaan dan produksi pertanian masyarakat di lokasi sasaran proyek. Di sini, Bombat mengadakan pelatihan untuk kelompok wanita tani dan pelatihan pembibitan serta penanaman kopi, alpukat, jeruk, teh, aren, nanas madu dan serehwangi.

Kopi Mbajing di dalam teko mulai tandas. Pun di gelas Nasrul dan Tim NOKEN. Apa yang dilakukan Bombat menjadi pengetahuan yang pantas untuk kami kabarkan ke komunitas-komunitas yang kelak akan kami temui.

Pengetahuan dari Bombat sudah kami masukkan dalam Noken. Api unggun sudah kami padamkan. Sikembang mulai sunyi. Nasrul undur diri. Kami memilih merapihkan gelas dan cangkir kopi di atas meja, sebelum akhirnya masuk ke dalam tenda dan mimpi indah.

“Jangan lupa datang ke sini lagi,” kata Nasrul sebelum menyalakan sepeda motornya.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours