Nyala Asa di Tepi Sungai Lojahan

Lojohan coffee shop, sebuah kedai kopi tepi sungai yang berlatar belakang daya juang 4 anak muda menjaga lingkungan dan kedaulatan desa. . (NOKEN/Anggit Saranta)


Cerita oleh Dony P Herwanto (NOKEN Connecting Community)


Kami terkejut saat Arifin Wanabidre dan Mohammad Nasrulloh dari Bombat menyebut ada kedai kopi yang dibangun di tubir sebuah sungai di Dukuh Tampingan, Desa Tombo, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Malam itu, usai bertamu dan bertemu dengan pegiat kedai kopi Sapta Wening, kami – Tim NOKEN, Connecting Community diajak bermalam di guest house yang terletak di tengah komplek wisata Sikembang Park yang terletak di Dukuh Kebaturan, Desa Kembanglangit, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

“Malam ini istirahat di tempat kami saja. Batang sedang dingin,” kata Arifin Wanabidre. Tapi, kami lebih nyaman memanggilnya Gus Ipin, itu setelah kami melihat sticker yang menunjukkan pemilik kendaraan itu adalah seorang Nahdiyyin. Jaringan Gusdurian. Begitulah kalimat yang tertempel di bagian belakang mobil plat F itu.

Tunai menyantap makan malam, Tim NOKEN, Connecting Community dituntun menuju Sikembang Park. Gerimis mengiringi perjalanan kami menuju tempat yang diusulkan Gus Ipin. Sekira 20 menit, kami pun sampai di Sikembang.

Salah satu pemuda keluar dari bangunan minim cahaya. Dia berjalan ke arah kami, membukakan portal yang terbuat dari besi tempa. Bagian dalam Sikembang terlihat pekat. Gelap. Hanya beberapa pendar cahaya terlihat di sejumlah bangunan yang belum kami kenali.

Mobil kami berhenti di halaman sekretariat Bombat. Itu segera kami kenali dari papan yang tertempel di bagian depan bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu itu. “Sini saya bantu bawa tas-tasnya,” kata Nasrul. Kami pun bersepakat untuk tidak menolak tawaran bantuan itu. Hehehe.

Di keremangan malam, di antara gerimis yang tak kunjung reda, di depan kami sekira 50 meter, berdiri dua buah bangunan berbentuk segitiga, berlantai dua, terbuat dari kayu Jati Belanda yang dibeli dari bekas PLTU di Batang. Di depan kami, Gus Ipin berjalan sangat hati-hati. Dia terlihat tidak ingin terpeleset sedikit pun di depan tamu-tamunya. “Kalau hujan, jalannya licin. Hati-hati,” katanya.

Kami nurut. Malam itu, kami adalah “santri-santri” dari seorang “Kyai” yang mampu membina anak-anak muda Desa Kembanglangit membangun sebuah lokasi wisata. Membangun sebuah tapak mimpi yang dulu – barangkali – tidak ada dalam bayangan mereka.

Masing-masing dari kami – Tim NOKEN – mendapat 1 kamar. Gus Ipin dan Nasrul memastikan semua keamanan, kenyamanan dan kebersihan kamar kami. Setelah itu, berbincang sebentar tentang agenda esok hari. “Besok kita pergi ke kedai kopi pinggir kali di Dukuh Tampingan, Tombo. Sekarang istirahat dulu,” kata Gus Ipin, sekalian pergi meninggalkan kami.

Malam itu, gerimis tak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Pohon pinus memberi alasan tersendiri bagi kami untuk memejamkan mata, berharap semua akan baik-baik saja. He..he..he.

***

Wahyu Dwiyanto, Ketua Bombat, berjalan agak tergesa menghampiri kami yang tengah menikmati sarapan di antara tegakan pohon pinus. Tiga gelas teh hangat membuka obrolan pagi kami dengan hal-hal ringan, seperti inisiasi Sikembang, Perhutanan Sosial dan gerakan anak-anak muda Batang.

“PS (perhutanan sosial,red) mulai ada hasil yang bagus. Tempat kami akan dibuat percontohan oleh Devisi Regional Semarang, untuk Perhutani. Kami kan dapat 196 hektar perhutanan sosial, yang 60 hektar jasa lingkungan, sisanya untuk agribisnis,” kata Wahyu membuka obrolan pagi di bawah rindang pohon pinus yang menua.

Kami menyimak dengan khusyuk setiap detail langkah-langkah yang dilakukan Bombat. Terlebih, apa yang dilakukan Bombat saat ini mampu menginspirasi sejumlah pemuda di Batang dan Pekalongan untuk berbuat yang sama. Meski hanya beberapa yang mampu bertahan.

Tak lama berbincang dengan Wahyu, Gus Ipin dan Nasrul menghampiri kami. Gus Ipin memastikan apakah tidur kami semalam nyenyak atau tidak. Tanpa komando, kami jawab, “nyenyak kok,”.

Setelah menandaskan segelas teh dan beberapa kudapan, Gus Ipin menunaikan janjinya, mengajak kami kami “ngopi” di tepi sungai. Sang Presiden Republik Jeruk pun tak menyia-nyiakan waktu. Tim NOKEN, Gus Ipin dan Nasrul bergegas meninggalkan Sikembang Park yang pagi itu masih tenang menuju ke Dukuh Tampingan.

Benar kata banyak cerdik pandai atau filosof, untuk mendapatkan sesuatu yang indah, butuh perjuangan yang tak mudah. Ini gambaran singkatnya; kami harus melewati jalan yang berliku. Naik turun. Masuk kampung keluar kampung. Jalanan hanya sanggup dilewati satu mobil sebenarnya, tapi jika sedang ada mobil dari arah yang berlawanan, satu di antaranya atau bahkan keduanya harus menepi.

Sepanjang perjalanan menuju Kedai Lojohan Coffee, kami dihamparkan dengan pemandangan yang indah. Barisan pohon cokelat yang rapih, susunan pohon kopi yang natural dan sesekali melihat kebun jeruk.

Pada turunan terakhir, kedai Lojohan Coffee sudah terlihat. Sendiri, menyendiri di tepi sebuah sungai. Tim NOKEN, Gus Ipin dan Nasrul disambut hujan begitu memasuki area parkir yang masih beralas tanah. Sekira 150 meter jarak antara area parkir dan kedai.

Kami putuskan mengambil benda-benda apa saja untuk melindungi diri dari hujan.

Ada 4 pondokan yang terbuat dari bambu dibangun di tepi sungai yang jernih sekali airnya. Kami pilih satu pondok yang paling dekat dengan bangunan inti. Setelah hujan reda, Karyanto, orang yang dipercaya menjadi leader di Lojohan Coffee datang. Ini orang yang diceritakan oleh Gus Ipin. Orang yang kami tunggu-tunggu untuk didengar kisahnya membangun Lojohan Coffee.

Sekilas, Karyanto, atau Yanto ini perawakannya mirip Chicco Jerikho, pemain Film Filosofi Kopi yang melegenda itu. Kebetulan, mereka berdua sama berambut panjang, tinggi dan penyuka kopi. Barista pula. Makin klop sudah kemiripannya.

Lojohan Coffee menjadi tempat “Menoken” yang sempurna. Paling tidak, kami akan mendengarkan kisah daya juang 4 anak muda menjaga lingkungan dan kedaulatan desa.

Aroma biji Kopi Tampingan menguar dari dalam kedai yang sederhana. Harum dan memikat. Di sekeliling kedai, ada beberapa pohon kopi dan cokelat. Chicco, eh, Karyanto memulai cerita tentang banyaknya anak muda yang meninggalkan desa karena godaan materi.

Lojohan Coffee adalah salah satu epicentrum baru di Tampingan yang dibangun dengan semangat mengurangi urbanisasi. “Tujuan utama kami adalah meminimalisir jumlah anak muda yang ingin pergi ke kota,” kata Yanto.

Roti bakar di atas meja. Langit Tampingan mulai mendung. Tak lama, Kepala Desa Tombo, Mustajab ikut bergabung dengan kami. Ikut mendengarkan apa yang tengah dikisahkan Yanto. “Saya selalu semangat mengajak anak-anak muda untuk mengembangkan potensi desa. Lojohan Coffee salah satunya,” kata Mustajab.

Yanto makin berapi-api mengisahkan perjalanan Lojohan Coffee yang dibangun jauh dari pusat pergerakan manusia. Kota. “Tiga bulan awal, kami sengaja tidak posting apa-apa terkait tempat ini,” ucapnya.

Kami makin mengernyitkan dahi, mencoba menerka arah pembicaraan Yanto. Falsafah jawa, “gethok tular” sepertinya kuat dia pegang dan dijadikan pegangan membangun Lojohan Coffee. “Awalnya yang beli di sini adalah para pemancing. Sekarang yang datang kebanyakan dari kota,” jelas Yanto.

Mendengar cerita Yanto, kami makin menggelengkan kepala, tanda kagum. Kagum dengan semangat juangnya membangun Lojohan Coffee yang memang lokasinya… ah datang sendiri saja.

Hujan turun tak tanggung-tanggung. Deras. Lekas kami pindah ke dalam kedai. “Awal tahun, kedai ini kebanjiran. Debit air sungai tinggi dan masuk ke halaman kedai,” ucap Yanto sambil menyusun kursi untuk sejumlah tamunya, termasuk Tim NOKEN.

Suara mesin kopi beradu kecang dengan deras hujan. Debit air semakin tinggi. Tidak terlihat wajah panik di antara kami yang berada di dalam kedai. Aroma biji kopi Tampingan makin kuat menusuk hidung. Wangi yang sempurna.

Menurut Yanto, tak jauh dari Lojohan Coffee, ada 2 proyek besar, PLTMH dan Galian C yang dimiliki orang kaya di Batang. “Kami tak ingin lingkungan kami rusak,” kata Yanto. “Makanya sekuat tenaga, kedai ini harus terus ada, meski tak mengejar banyak pedatang,” lanjutnya.

Lojohan Coffee menjadi komunitas dampingan Bombat yang bermitra dengan The Samdhana Institute melalui program DGM-I. Sejak sertifikat Perhutanan Sosial keluar, banyak lahan yang digarap untuk ditanami kopi.

Sekira 60 menit, hujan reda. Tim NOKEN, dan Bombat berpamitan dengan Yanto yang memiliki impian berkeliling Indonesia dengan ide “Kopi Gowes”. Ide ini sejalan dengan Tim NOKEN yang ingin “Menoken” di sejumlah tempat, menemui komunitas-komunitas yang inspiratif dan menyebarkan kisah baik ke banyak orang.

Tim NOKEN meninggalkan Lojohan Coffee dengan senyum mengembang. Nyala asa mempertemukan banyak komunitas untuk saling belajar kian membesar. Lojohan Coffee telah mengajarkan kepada kami arti ketulusan, keseriusan dan kebahagiaan.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours