Pasar Sempulur dan Kisah Kecil Lainnya

Barkah, salah satu pengurus Karang Taruna AKRAPP, masih menyimpan optimisme tinggi di Pasar Sempulur, pasar rakyat yang dibangun dengan kebersamaan, kekeluargaan dan kemandirian. (NOKEN/Dony P Herwanto)


Cerita oleh Dony P Herwanto (NOKEN Connecting Community)


Kabut tipis beranjak naik ke Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Tak banyak kendaraan melintas di jalan lintas Kulon Progo – Purworejo itu. Bisa dihitung dengan jari dalam rentang waktu 3 menit. Tak lebih dari 10 kendaraan.

Tak lama, matahari terbit di sela-sela Perbukitan Menoreh. Kami menunggu kedatangan Arwanto, Ketua Karang Taruna Pagerharjo. Kami bersepakat – awalnya – bertemu di Pasar Sempulur. Sayangnya, orang yang kami tunggu-tunggu tak kunjung datang.

Akhirnya, Tim Ekspedisi Connecting Communitites (Noken) memutuskan untuk mengikuti kegiatan bersama Sekolah Bisnis Papua untuk melihat dan belajar bersama warga di Samigaluh. Belajar tentang semangat membangun konsep wisata, mencetak generasi yang mencintai alam dan seisinya, serta belajar bersama bagaimana memertahankan seni tradisi setempat.

Di Sekolah Dasar Prennthaler Kalirejo, tak jauh dari Pasar Sempulur, pengelola sekolah mengajarkan kepada anak didik tentang pertanian organik. Inisiasi ini didasarkan atas keprihatinan pengelola sekolah tentang masa depan pertanian di Kulon Progo yang lambat laun mengalami kemunduruan dari segi jumlah.

Hebatnya, di sekolah ini, sejak dini anak-anak diajarkan tentang kemandirian pangan lokal dan kemandirian dalam pengelolaan. Ini sungguh luar biasa. Bayangan masa depan pertanian di Kulon Progo, terkhusus Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, terlihat cerah di tangan anak-anak ini.

Pangan lokal yang memang itu produk unggulan di Pagerharjo pun tak luput dikenalkan. Pengelola sekolah tak ingin – kelak – anak-anak tak menyadari potensi pangan lokal yang dimiliki desanya. Alangkah memprihatinkannya jika itu terjadi.

Potensi besar ini seperti tumbuh natural. Lahir dari keresehan bersama. Tak aneh, jika sudah mulai banyak warga yang menyadari akan pentingnya menjaga, merawat dan mengenalkan potensi yang dimiliki ke masyarakat lebih luas lagi.

Usai menghabiskan tegukan teh asli Samigaluh, rombongan bergerak ke Desa Boro, Kecamatan Kalibawang. Perjalanan memakan waktu sekira 50 menit. Melintasi Perbukitan Menoreh. Kanan kiri disuguhi jajaran persawahan yang tertata rapih dan pohon-pohon jati, mahoni serta sengon yang tampaknya dibiarkan tumbuh beitu saja. Terkadang, kami melihat pohon cengkeh dan cokelat yang ditata rapih.

Keluar dari jalan besar, sayup-sayup terdengar alunan gamelan dari salah satu rumah penduduk. Imajinasi langsung terbawa memasuki era di mana gamelan menjadi satu-satunya alat musik yang akrab atau menjadi teman tumbuh kembang di desa. Tapi kini, kenyataan sudah berkata lain.

Di dalam bangunan 20 meter x 10 meter itu, generasi muda Desa Boro tengah memainkan gamelan dengan begitu indah dan magis. Hidangan khas Desa Boro, seperti ubi ungu dan teh bunga telang, menjadi pelengkap presentasi indah Desa Boro.

Sungguh sebuah suguhan yang tidak dibuat-buat. Suguhan alami yang kaya dengan nuansa yang mungkin tidak pernah kita jumpai di tempat lain.

Meski tumbuh sendiri-sendiri, ada satu benang merah yang mampu menguhubungkan potensi-potensi lokal itu. Wisata. Ya, wisata mampu menjadi “jaring laba-laba” untuk menyatukan ragam kekayaan tradisi, dan pangan lokal menjadi satu bagian utuh yang akan meninggalkan banyak kesan.

Tentu, ini tak mudah. Baru kegitan wisatalah yang mampu mempertemukan potensi-potensi itu meski tidak disadari. Bahkan – mungkin – antara satu kelompok dengan kelompok yang lain tidak saling mengenal atau paling tidak mengetahui. Resiko tumbuh secara natural ya seperti itu.


Arwanto menghubungi kami. Ia mengabarkan permohonan maaf belum bisa menemui kami pagi itu. Tapi kali ini, dia berjanji akan menemui kami sore jelang malam di Pasar Sempulur. Meski belum bisa berjumpa dalam waktu yang lama, minimal kami bertemu Arwanto di Pasar Sempulur yang silam pernah menjadi kebanggaan warga Pagerharjo.

“Awal Desember 2019, pasar ini mulai ditinggalkan pedagangnya,” kata Arwanto mengawali pertemuan di halaman Pasar Sempulur.

Sejenak, Arwanto menarik nafas sangat dalam. Sesekali, ia memejamkan mata cukup lama..

Ada jejak kenangan Arwanto dan kolega di Karang Taruna AKRAPP saat membangun Pasar Sempulur. Teringat bagaimana kerja keras Karang Taruna Pagerharjo bersama Pemerintah Desa, dan The Samdhana Institute menghadirkan satu pasar yang menjadi ikon kebanggan Pagerharjo.

“Kami cukup dekat dengan Samdhana dengan adanya kegiatan yang diadakan di desa kami. Hubungan kami sangat dekat sebetulnya. Karena sampai saat ini pun kami masih selalu berkomunikasi dengan samdhana sendiri. Samdhana masih menanyakan keberadaan kami, apa kegiatan kami, seperti itu”.

“Dukungan dari Samdhana sudah cukup kuat karena kami kemarin sudah dimodali dengan adanya tempat untuk pasar Sempulur sendiri sudah dimodali oleh Samdhana. Masyarakat kurang berminat untuk datang ke pasar Sempulur. Harus ada satu kegiatan yang menarik untuk masyarakat, misal kesenian tradisi. Kami memiliki 20 pedukuhan dan hampir semua pedukuhan mempunyai kesenian”.

“Mungkin itu satu-satunya cara untuk menarik minat warga untuk datang ke pasar sempulur. Jadi mohon maaf sekali sampai saat ini kami belum menemukan solusi bagaimana cara menarik masyarakat untuk datang ke pasar Sempulur agar kemitraan dengan Samdhana ini terus berjalan.”

“Yang dijual di pasar sempulur itu makanan khas Pagerharjo. Dengan bermitra bersama samdhana, itu sangat menguntungkan kami. Kegiatan kami dapat support penuh. Kami tidak hanya kumpul-kumpul saja. Tapi setiap kami berkumpul selalu ada hasilnya dan kita bisa membangun UEP (Usaha Ekonomi Poduktif) karang taruna.”

Hambatan terbesar adalah komunikasi dengan pihak pemerintah desa.

Karena pasar sempulur diberikan ke Karang Taruna, pemerintah desa, dan kelompok Darwis. Perlu ada pertemuan serius membahas pasar Sempulur di masa depan.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours