Menanam Kebaikan, Tumbuh Kebaikan

Yakobus Handoko Saptoto Adi menyambut kunjungan komunitas yang belajar di kebun organik. (NOKEN/Dony P Herwanto)


Cerita oleh Dony P Herwanto (NOKEN Connecting Community)


Waktu seolah berjalan lambat dan tenang di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Kabut tipis menyelimuti sebagian desa di perbukitan Menoreh. Perlahan-lahan, matahari mulai menampakkan dirinya. Satu per satu, warga Samigaluh mulai beraktivitas.

Jalanan yang tadinya lengang, mulai riuh oleh deru kendaraan dan suara mesin pemotong kayu. Tim Connecting Comunities (NOKEN) tak ingin berlama-lama di Rumah Belajar Kopi Mbajing dan Vanilla Mbajing. Begitu secangkir kopi Mbajing tandas, Tim NOKEN bergegas mengikuti kegiatan Sekolah Bisnis Papua (SBP) yang diinisiasi Kaoem Telapak dan The Samdhana Institute.

Tujuannya? Sekolah Dasar Prennthaler, Kalirejo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Sekolah dasar ini mengembangkan pertanian organik dalam rangka mengajarkan kepekaan siswa terhadap lingkungan, alam dan sesama.

Wow, sungguh cerah masa depan pertanian di Samigaluh. Minimal, sejak usia dini, siswa sudah mengenal dan mengakrabi potensi alam yang dimilikinya.

Sekolah ini terletak di belakang Gereja Santa Lucia, Kalirejo. Tidak sampai 100 meter jaraknya. Turun sedikit pun tak terasa terjalnya. Teduh dengan dipayungi pohon pinus. Begitu sampai halaman sekolah yang saat itu tidak ada aktivitas belajar mengajar, kami disambut Yakobus Handoko Saptoto Adi, pendamping kebun dan Haryanto Yustinus, guru SD Prennthaler.

Sambutan hangat keduanya membuat pertemuan tidak terlihat canggung, meski baru kali pertama berjumpa. Sekolah ini menghadirkan nuansa pertemanan yang luar biasa. Haryanto dan Handoko pun lekas mengajak kami menuruni anak tangga – lagi – menuju lokasi kebun organik. Lokasinya, tepat di bawah halaman sekolah.

Dari atas, kebun organik itu tertata rapih. Kebun ini benar-benar terjaga dan dijaga sepenuh hati. Dikerjakan dengan tulus dan sungguh-sungguh. “Ini dikelola oleh siswa dari kelas satu sampai kelas 6,” kata Handoko begitu sampai di kebun organik.

Kami, yang hadir di lokasi itu, menyimak penjelasan Handoko dengan takzim. Seperti seorang murid kepada gurunya. Ya, siang itu, Handoko adalah guru yang baik bagi kami.

Lahan kebun organik ini menjadi ruang belajar alternatif bagi siswa. Kelas dalam wujud yang paling ideal untuk mengajarkan dan bertemu langsung dengan apa yang tengah diajarkan. Di kebun ini, siswa diajarkan bagaimana menanam jagung, jesin, boncis, kangkung, kenikir, pare, tomat, cabai, budidaya ikan, hingga beternak kelinci.

Seminggu sekali, siswa diajak berkebun dan memanen hasil dari bertani, beternak dan budi daya ikan. Di sekolah ini, siswa juga diajarkan menjual hasil bertani mereka setiap hari Minggu usai kebaktian.

Setelah cukup mendengarkan penjelasan, Handoko lantas mengajak kami menuju aula yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari titik kedua perhentian. Satu per satu dari kami, tamunya, melepas alas kaki. “Agar aula ini tetap terjaga kebersihannya,” ucap Handoko.

Begitu sampai di aula, di lantai 2 bangunan yang begitu terbuka, Haryanto membuka pembicaraan tentang inisiasi membuka kebun organik. Kata Haryanto, semua bermula dari krisisnya generasi petani di Kulon Progo, tepatnya di Desa Kalirejo, Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, DIY.

Sejarah yang begitu panjang mengiringi perjalanan sekolah yang awalnya bernaung di bawah Yayasan Pangudi Luhur itu. Gagasan dan langkah awal membuat Kebun Organik dimulai sejak tahun 2010.

Krisis lahan garapan, banyaknya pemuda-pemudi desa yang mencari pekerjaan di luar Samigaluh dan minimnya ketersediaan pangan sehat menjadi beberapa alasan utama melahirkan kebun organik.

“Tak banyak anak-anak muda di sini yang menjadi petani. Saya sedih. Makanya kegiatan ini kami rawat betul-betul agar kedepannya, desa ini memiliki generasi penerus di sektor pertanian,” kata Haryanto.

Dan benar saja, banyak lulusan sekolah ini yang pada akhirnya mengenali potensi alam di sekitar tempat tinggalnya. Selain itu, kecintaan terhadap sesama mahkluk hidup juga semakin terbentuk.

Di tubir halaman sekolah, terdapat 10 makam kecil untuk binatang-binatang yang ditemukan mati di sekitar sekolah. Kata Handoko, makam binatang itu lahir dari inisiatif siswa yang melihat seekor burung gereja yang mati di halaman sekolah.

Sungguh karakter yang luar biasa. Ini kisah yang penting bagi Tim NOKEN untuk diceritakan kembali – sebanyak-banyaknya – ke sejumlah komunitas yang akan ditemui. Kisah yang lahir dari penanaman karakter sejak dini. Kisah yang membuktikan bahwa tak ada hal kecil yang sia-sia untuk dikerjakan. SD Prennthaler, Kalirejo telah membuktikan itu.

Meski terletak di tengah perkampungan dan di tepi sebuah bukti yang tidak begitu curam, tersimpan sebuah pelajaran yang berharga. Soal prestasi? Bisa diuji itu. Tapi kalau berbicara soal kepemimpinan dan inisiatif-inisiatif, lulusan sekolah ini tak usah diragukan lagi.

Di akhir pertemuan, Haryanto menitipkan satu impian mulia, “Doakan kami agar memiliki SMP dan menambah luas lahan untuk belajar,”.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours