Kisah 12 Anak Muda dan Seorang Lelaki Setengah Baya

Para pemuda pengelola Kedai Kopi Sapta Wening yang dibangun dengan kesabaran dan kekompakan. Dibutuhkan waktu hampir 1 tahun untuk membangunnya. (NOKEN/Dony P Herwanto)


Cerita oleh Dony P Herwanto (NOKEN Connecting Community)


Usai mengemas barang dan memasukkan sejumlah komoditas lokal Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DIY, ke dalam tas Noken, Tim Connecting Communities (NOKEN) melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Tujuan Tim NOKEN adalah untuk mendengarkan kisah orang-orang “nekat” dalam membangun ketahanan desanya.

Tujuan Tim NOKEN adalah Desa Bawang, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Tersiar kabar, di tempat ini, ada sekelompok anak-anak muda yang dengan idealisme tinggi membangun kedai kopi di lokasi yang tidak biasa. Di tengah hutan pinus, di atas sebuah bukit dengan suguhan matahari terbit. Sungguh keindahan yang sempurna.

Keindahan kedai kopi itu akan tunai dengan perjalanan yang akan ditempuh. Selepas keluar jalur lintas Kecamatan Bandar dan Kecamatan Blado, jalanan menanjak, berkelok-kelok dengan pemandangan hamparan perbukitan adalah teman perjalanan yang asik.

Dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, Tim NOKEN sampai di kedai kopi yang dikelola 12 anak muda dan seorang lelaki paruh baya yang menjadi mentornya. Wasturi. Ada beberapa titik cahaya, redup, dari arah tengah hutan pinus. Samar-samar, ada satu bangunan berdiri di antara tegakan pinus.

Cahaya itu semakin didekati semakin jelas sumbernya. Bukan berasal dari lampu kedai, melainkan gawai orang-orang yang hingga malam masih bertahan di kedai menunggu hujan reda. Wasturi menyambut Tim NOKEN dengan sangat ramah, khas masyarakat pegunungan. Pun dengan anak-anak muda yang berada di sekeliling Wasturi berdiri.

Sambutan yang hangat di malam yang dingin di Desa Bawang, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Karena alasan minimnya pencahayaan di kedai kopi yang diberi nama Sapta Wening itu, Tim NOKEN diajak menuju rumah Wasturi yang begitu jauh dari kedai kopi Sapta Wening.

“Maaf belum ada listrik di sini. Kami sedang membangun mikro hidro untuk pasokan listrik di kedai kami,” kata Wasturi.

Di rumah Wasturi, atau yang oleh warga sekitar dipanggil Dewa, aroma kopi menguar memasuki ruang tengah, tempat Tim NOKEN dan pegiat kedai kopi Sapta Wening berbagi kisah. Sungguh sambutan yang melankolis.

Apalagi, Desa Bawang malam itu tengah diguyur hujan. Ini suasana yang dirindukan banyak orang. Perpaduan antara kopi, hujan, dan kisah tentang upaya menjaga kedaulatan desa dari segala macam godaan pemilik modal dan tantangan banyaknya pemuda desa bekerja di ibu kota.

“Ide membangun kedai kopi adalah untuk menarik pengunjung Curug Genting. Selain itu, untuk mengurangi anak-anak muda pergi merantau di Jakarta,” kata Ahmad Taufik, salah satu pegiat Kedai Kopi Sapta Wening.

Sebelumnya, setamat Sekolah Menengah Pertama (SMP), Taufik merantau ke Jakarta. Itu, katanya, untuk menghindari anggapan negatif warga. “Tidak hanya saya yang mengalami seperti itu. Makanya setelah pulang kampung, kami membangun kedai ini,” ucapnya.

Aroma kopi semakin mendekat. Tiga pemuda membawa nampan yang di atasnya diletakkan gelas berisi kopi. “Monggo (silakan) dinikmati hasil kebun kami,” kata Wasturi.

Wasturi dan 12 anak muda Desa Bawang bukanlah Bandung Bondowoso, bisa melakukan apa pun dalam semalam. Kedai Kopi Sapta Wening dibangun dengan kesabaran dan kekompakan. Dibutuhkan waktu hampir 1 tahun untuk membangunnya.

“Lahan kedai kami awalnya hutan belantara. Kami bawa cangkul dan arit setiap hari untuk membersihkan tempat ini,” jelas Taufik, salah satu anak muda yang selalu menolak disebut pengusaha kopi, itu.

Satu Kopi, Satu Frekwensi adalah nilai hidup yang menjadi ruh menjalankan usaha kopi di tempat yang tidak biasa untuk ukuran bisnis di desa. “Kedai kami sudah berjalan hampir 2 tahun. Masih panjang perjalannya,” kata Taufik.

Sesekali terliiat, Wasturi menikmati segelas kopi dari biji yang dia tanam sendiri. Meski dianggap mentor, Wasturi terlihat tidak mendominasi. Dia seolah memberi ruang kepada anak-anak muda yang berada di barisannya untuk proaktif. “Ini generasi ketiga di desa ini,” kata Wasturi.

Wabah Covid-19 adalah ujian berat bagi semua orang dan semua lini. Kedai Kopi Sapta Wening terpaksa tutup sekira 3 bulan, mulai Maret 2020. Hari-hari pegiatnya diisi dengan bekerja di sejumlah tempat di Batang, belajar meracik kopi, menanam dan merawat kopi yang menjadi ciri khas Desa Bawang.

Wabah tak membuat 12 anak muda dan Wasturi patah. Justru semakin menebalkan semangat membangun kembali apa yang sudah diniatkan dari awal, menjadikan Kedai Kopi Sapta Wening sebagai pusat perputaran ekonomi yang sehat di Desa Bawang.

“Awalnya kami diremehkan banyak orang, tapi kami buktikan bahwa apa yang kami kerjakan punya dampak positif bagi desa dan anak-anak muda yang lain,” kata Taufik.

“Di sini, saat ini, kami tak menghitung berapa rupiah yang bisa kami bawa pulang. Tapi berapa banyak anak-anak muda di sini tidak meninggalkan desa,” imbuhnya.

Kedai Kopi Sapta Wening merupakan salah satu kelompok binaan Bombat yang bermitra dengan The Samdhana Institute.

Hujan reda. Tim NOKEN yang didampingi kolega dari Bombat meninggalkan rumah Wasturi. Tas Noken kami isi dengan beberapa bungkus bubuk kopi asli Desa Bawang. Pun dari Noken kami, sebungkus biji cokelat yang kami bawa dari Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, DIY kami berikan ke Wasturi dan 12 anak-anak muda yang penuh semangat menjaga potensi desanya.

Apa yang dilakukan 12 anak muda dan Wasturi adalah sebuah “kegilaan” yang semangatnya harus terus dituturkan dan disebarkan. Dan fungsi noken kami adalah menampung serta membagikannya ke semua orang.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours