Eva Bande (ketiga dari kiri) dan perwakilan Masyarakat Adat Sedulur Sikep, Gunretno (kanan), menerima Yap Thiam Hiean Award 2018 yang diserahkan Emil Salim di Jakarta (21/1/2019). (Kompas/Riza Fathoni)
Eva Susanti Hanafi Bande atau yang akrab disapa Eva Bande, sungguh tak menyangka akan menjadi salah satu penerima Yap Thiam Hien Award. Kiprahnya sebagai aktivis kemanusiaan membela petani Toili di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah sejak 2010 silam menjadi pertimbangan dewan juri memilihnya sebagai penerima Yap Thiam Hien Award 2018 bersama Masyarakat Adat Sedulur Sikep, dari pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.
Yang diperjuangkan Eva dan para petani adalah hak atas tanah garapan, tanah adat, dan perlindungan atas kerusakan alam di Suaka Margasatwa Bangkiriang dari ekspansi industri perkebunan kelapa sawit di Toili serta wilayah lainnya di Propinsi Sulawesi Tengah. Namun, Eva justru ditangkap dan dipenjarakan bersama 23 orang petani pada tahun 2010. Pada Desember 2014, ia dibebaskan setelah mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo.
Mendapatkan penghargaan ini membawa kenangan tersendiri untuk Eva, mengingatkannya akan apa yang pernah disampaikan Ibundanya saat Eva dipenjara; “ Nak,..jangan pernah malu kamu dipenjara, karena kamu bukan koruptor, kamu memperjuangkan hidup orang lain. Saya sebagai orangtuamu dan tujuh keturunan ku tidak akan pernah malu atas derita yang kau jalani.”
“Dalam pandangan saya keadilan atas tanah adalah hak asasi manusia yang paling dasar. Sebab, dari sanalah segala sesuatu yang hidup itu berasal dan kembali,” kata Eva pada malam penganugerahan YTHA 2018 di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Senin (21/1/2019).
Saat ini, Eva juga tengah mengupayakan kepastian akan hak tanah serta kepastian atas hutan adat melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di Kabupaten Sigi yang sedang berjalan, bersama tugas tugas kemanusiaan lainnya yang dijalankan bersama sama teman temannya. Demikian halnya Gunretno dan 13 warga desanya yang hadir mewakili Sedulur Sikep. Upaya mereka menjaga pengunungan Karst Kendeng di kabupaten Rembang, Gerobogan dan Pati, Jawa Tengah, dari ancaman kerusakan karena pertambangan dan industri semen di awal tahun 2016 menjadi pertimbangan pemilihan oleh dewan juri Yap Thiam Hien Award.
Proses panjang perjuangan yang dialami Sedulur Sikep selalu berkait dengan kedaulatan hidup.
“Kelompok ini memiliki nilai yang diyakini bahwa Jawa Tengah merupakan lumbung pangan Nusantara yang memberikan pemahaman akan pentingnya air dan tanah bagi pertanian dan kehidupan. Prinsip ini pula yang kemudian melahirkan napas panjang perlawanan terhadap pertambangan dan industri semen di Jawa Tengah,” jelas Yosep Adi Prasetyo, salah satu anggota dewan juri. Bagi Masyarakat Adat Sedulur Sikep, kemakmuran dan kesejahteraan tidak dihitung dari nilai materi, seperti pangkat, derajat, uang ataupun kuasa. Tetapi dari seger-waras dan kemandirian sebagai petani. Artinya, faktor produksi yang mendukung pertanian, terutama air, tanah, dan manusianya, harus dijaga dan dirawat.
“Ini tidak disangka-sangka, Sedulur Sikep dipilih menerima penghargaan ini disaat dulur-dulur itu dipandang sebelah mata,” kata Gunretno saat memberi sambutan penerimaan penghargaan.
Ditengah permasalahan hukum Kasus Karts Kendeng ini, kemajuan yang sangat berarti telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah no 46/2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (PP-KLHS) sebagai amanat Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) yang telah lama dinanti nanti guna perlindungan lingkungan hidup khususnya pada ekosistem esensial.
Ditahun yang sama KemenLHK bergerak cepat dengan membentuk Tim KLHS yang beranggotakan 15 ahli dari berbagai perguruan tinggi, dan di bulan April 2017 diterbitkan rekomendasi Tim KLHS untuk Ekosistem Cadangan Air Tanah (CAT) Watuputih (Tahap I, April 2017) yang menyatakan perlu ditetapkannya CAT Watuputih sebagai Kawasan Bentang Alam Karts (KBAK) sebagai Kawasan Lindung (KBAK) dan selama proses penetapan KBAK, dilokasi tersenbut dilarang melakukan kegiatan yang mengganggu sistem akuifer.
Sedangkan rekomendasi TIM KLHS untuk Ekosistem Cadangan Air Tanah (CAT) Kendeng Utara mencakup 7 kabupaten di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tahap II, Juni 2018). Dua rekomendasi yang dihasilkan, yaitu rehabilitasi dan restorasi daya dukung lingkungan yang sudah sangat rusak, dan pemerintah daerah diminta untuk memperbaiki kebijakan Tata Ruang Wilayahnya agar kerusakan tak semakin parah. Proses kebijakan ditingkat daerah masih terus berlanjut, akan tetapi kondisi ditingkat tapak perlu terus diperjuangkan agar sesuai dengan harapan masyarakat dan arahan pemerintah, perjuangan belum selesai.
Eva dan Sedulur Sikep terpilih dari 20 kandidat lainnya melalui sidang dewan juri yang terdiri dari mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB di Jenewa Dr. Makarim Wibisono, pegiat isu politik dan HAM Ibu Clara Joenowo, aktivis pendidikan Ibu Henny Supolo, aktivis perempuan dan jurnalis senior Ibu Maria Hartiningsih, pegiat isu pluralisme Bapak Imdadun Rahmat, dan pegiat isu hukum dan HAM Bapak Haris Azhar.
Dr. Noer Fauzi Rachman, salah seorang Fellow Samdhana yang menyaksikan dan terlibat kerja sama dengan Eva Bande dan Masyarakat Adat Sedulur Sikep mengatakan, bahwa penghargaan HAM Yap Thiam Hien Award tahun 2018 ini untuk tokoh dengan keteguhan yang patut ditauladani untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Khususnya hak-hak asasi kolektif dari rakyat atas tanah dan layanan alam yang dirusak oleh korporasi raksasa.
Sedulur Sikep menentang bekerjanya suatu sistem kapitalisme ekstraktif atas sumber daya alam karst di Kendeng Utara, Jawa Tengah. Sementara, Eva Bande memimpin perlawanan rakyat Desa Piondo melawan PT Kurnia Luwuk Sejati yang merampas tanah rakyat untuk keperluan bekerjanya Hutan Tanaman Industri di Kabupaten Luwuk Sulawesi Tengah, dan juga kasus-kasus perampasan tanah lainnya.
“Kedua penerima ini menunjukkan secara terus menerus cara-cara perlawanan yang kreatif, persisten dan tampil ke publik, serta memperbesar bangunan solidaritas menjadi kekuatan yang semakin besar dalam meyakinkan pemerintah agar menghargai dan melindungi hak asasi korban, serta mencegah kerusakan berlanjut. Inspirasi dari keduanya harus ditampilkan untuk dijadikan pelajaran bersama, terutama untuk generasi selanjutnya,” terang Noer Fauzi Rahman.
Yap Thiam Hien mengambil nama dari Yap Thiam Hien, seorang pengacara Indoonesia keturunan Tionghoa. Ia mengabadikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan HAM. Sejak 1992 namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan HAM di Indonesia.
Sumber : ditulis dan diolah dengan tambahan dari kompas.com, 22 Januari 2019 dan kompas.com 23 Maret 2017.
+ There are no comments
Add yours