Langit sedang membaik ketika 30.000 massa tengah melakukan aksi parade dalam rangka Global Climate Action Summit di pusat kota San Fransisco, California, Amerika Serikat, Sabtu (8/9) lalu . Mereka adalah profil Masyarakat Adat dari Indonesia, Brazil, Mesoamerika dan Amerika Latin yang memiliki satu suara untuk menekan laju perubahan iklim. Mereka menyebut dirinya The Guardians of the Forest.
The Guardians of the Forest menjadi representasi Masyarakat Adat dunia sebagai solusi untuk perubahan iklim. Persis, sebagaimana rangkaian spanduk maupun poster-poster meraka Guardians of the Forest a solution to climate change.
Sardi Razak, aktivis Masyarakat Adat dari Indonesia yang hadir disana menyatakan bahwa parade global ini adalah bentuk menyuarakan bahwa Masyarakat Adat memiliki pengetahuan dan kecerdasan turun-temurun dalam memelihara dan menjaga iklim. Sardi Razak bersama koleganya Arifin Saleh hadir mewakili organisasinya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
AMAN bersama Coordinadora de las Organizaciones Indigenas de la Cuenca Amazonica/COICA (koordinasi antar organisasi Masyarakat Adat Amerika Latin), Articulacao dos Povos Indigenas do Brasil/APIB (organisasi Masyarakat Adat di Brazil), dan Alianza Mesoamericana de Pueblos y Bosques/AMPB (penghubung organisasi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di Mesoamerika). Tergabung dalam The Guardians of the Forest sejak 2014.
Pada 10 – 12 September 2018 mereka mengikuti pertemuan The Governors’ Climate and Forests Task Force/GCF di Hotel Parc 55, San Francisco, California. AMAN masuk sebagai anggota komite GCF Indigenous Peoples Task Force yang mengurusi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, AMAN bersama The Guardians of the Forest bertugas untuk melobi para gubernur agar prinsip-prinsip kolaborasi (Principles of Collaboration) antara pemerintah daerah (gubernur) dan Masyarakat Adat dapat diadopsi.
Pada 2014, para gubernur anggota GCF menandatangani sebuah deklarasi di Rio de Janeiro Brasil yang dikenal dengan Deklarasi Rio Branco yang memuat ikrar untuk mengurangi deforestasi sebesar 80 persen pada 2020. Ada komitmen khusus dari Deklarasi Rio Branco ini, yaitu pemerintah dan Masyarakat Adat bekerjasama dalam mengurangi emisi dan deforestasi hutan. Sejauh ini ada 26 gubernur yang setuju menerima deklarasi tersebut, dua di antaranya Papua dan Papua Barat.
Ada lima isu penting yang akan disuarakan Masyarakat Adat di GCF. Yaitu hak atas tanah dan wilayah adat, hak atas menentukan nasib sendiri/FPIC dan menyerukan stop kriminalisasi dan pembunuhan terhadap para pemimpin Masyarakat Adat di dunia.
Isu selanjutnya adalah akses langsung pendanaan kepada Masyarakat Adat, dan pengakuan atas pengetahuan tradisional Masyarakat Adat. Isu ini sendiri terangkum seturut dengan UNFCCC pada 2017 yang mengeluarkan sebuah platform tentang Masyarakat Adat dan Pengetahuan Lokal. Dalam konteks Indonesia, National Determined Contribution (NDC)Indonesia tertulis perihal kontribusi negara terhadap soal pengetahuan tradisional Masyarakat Adat.
***
Matius Awoitauw tak menampakkan wajah lelah, perjalanan jauh Jayapura – San Fransisco tak menyurutkan semangatnya untuk tampil sebagai pembicara kunci event “Our Village Pavilion” 12 September 2018. Acara penting dalam rangkaian Global Climate Action Summit yang berlangsung pada 12 – 14 September 2018.
Cerita tentang pembangunan kampung adat dan tata layanan kepada masyarakat adat di Papua menjadi topik kunci yang disampaikan Matius dengan lancar. Perannya sebagai Bupati Jayapura memudahkahnya bertutur bagaimana pemerintahannya di Jayapura mendukung pengelolaan wilayah berbasis adat.
Seminggu sebelum ke Amerika, pemerintah Kabupaten Jayapura baru saja me-launchinggugus tugas untuk mempercepat kerja-kerja pemetaan Wilayah adat. Gugus tugas ini dibentuk dalam rangka menuju pengakuan dan perlindungan hak adat serta pembangunan ekonomi adat di tingkat kampung. Satu langkah berani dalam menerjemahkan amanat otonomi Khusus Papua yang sejalan dengan target pembangunan nasional.
“Sinergi dan kerjasama semua pihak menjadi penting dalam mendukung upaya-upaya pembangunan masyarakat Adat di Kabupaten Jayapura,” jelas Bupati Matius pada eventyang direka oleh Koalisi Masyarakat Adat Beberapa Negara, bertemakan “Indigenous Peoples Working Together with Indigenous Local Government, in Papua Indonesia”.
Pesan Bupati Jayapura itu diperkuat oleh Benja Mambai, Direktur WWF Region Sahul Papua, dimana Papua merupakan tanah surga yang kuat dengan klaim hak masyarakat adat. Pekerjaan-pekerjaan pemetaan Wilayah adat sendiri dimulai sekitar 20 Tahun yang lalu dengan fokus pada kepastian tenurial hak dan tempat-tempat penting masyarakat adat.
Menurutnya, secara sosial, masyarkat adat di Papua telah hidup dengan tata aturan dan pola pemanfaatan sumber daya alam yang baik. Potensi di masyarakat adat sangat melimpah, sehingga masyarakat adat perlu didampingi untuk mengelola dengan baik agar mendapatkan manfaat yang besar dari sumber daya hutan tersebut. Pendekatannya tidak harus extractive, karena beberapa masyarakat adat telah berhasil membangun beberapa pembangunan ekonomi berbasis wisata yang maju.
Salah satu contoh yang sangat kuat adalah Wisata Burung Chendrawasih di Jayapura yang dikelola oleh Masyarakat Adat.
“Apabila kita berkunjung ke Wilayah kelola Masyarakat Adat ini, digaransi akan melihat minimal 5 jenis Burung Chendrawasih yang diproteksi secara baik oleh Masyarakat Adat,” tegas Benja.
Kabupaten Jayapura saat ini terus maju dan didorong sebagai pilot pembangunan tata pemerintahan kampung berbasis adat. Seiring dengan beberapa misi dan upaya untuk membangun kembali dan memproteksi tata nilai dan tata pemerintahan adat yang sudah selama ini menjadi pegangan di tingkat Masyarkat adat.
Hal senada juga disampaikan Ruka Sombolinggi – Sekrataris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang juga duduk di panel bersama Bupati Jayapura. Ia menyampaikan bahwa “Inisiatif program kerja yang dibangun oleh pemerintah Kabupaten Jayapura adalah langkah penting untuk membangun masyarakat adat. Ini perlu didukung dan diperkuat untuk menyediakan ruang belajar bagi Wilayah-wilayah kabupaten Lain di Papua”.
Global Climate Action Summit adalah pertemuan tingkat tinggi para pihak untuk mendedikasikan tindakan, komitmen dan tekad untuk mempercepat tindakan terkait perubahan iklim pada tahun 2020. Berdasarkan perjanjian Paris, komunitas global telah sepakat untuk menghadapi krisis iklim dengan cara menjaga kenaikan suhu global jauh di bawah 2 derajat celcius, serta mengejar upaya untuk membatasi tidak sampai1,5 derajat.
Pertemuan ini salah satunya untuk memamerkan tindakan yang dilakukan oleh negara bagian, wilayah, kota, perusahaan, investor, dan masyarakat sipil untuk mengurangi emisinya.
Bersama rombongan dari Indonesia, hadir juga Ita Natalia dan Yunus Yumte dari Samdhana Institute mendampingi Bupati Jayapura, Papua. Serta Ivo Setion0 dari URDI untuk mempresentasikan kerja di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
Ditulis kembali berdasarkan sumber seluang.id, dan aman.or.id
+ There are no comments
Add yours