Pemuda adat Pattallassang saat berbagi pengalaman di Desa Tombolo. Foto : M. Paraja
Patalassang, dalam bahasa Makassar berarti penghidupan. Ia bermakna hutan adalah sumber penghidupan, bumi tempat berpijak yang tidak hanya bisa diambil tetapi harus tetap terjaga. Sejak dulu, sebelum ada larangan pemerintah memasuki dan mencari penghidupan di hutan yang diklaim sebagai hutan ‘negara’, masyarakat adat Patalassang memiliki mekanisme tersendiri dalam pelestarian hutan mereka. Dalam pandangan mereka, sebagai sumber penghidupan hasil hutan bisa diambil, namun dalam aturan sangat ketat dan batasan-batasan tertentu.
Patalassang dengan populasi 694 jiwa yang terdiri dari 156 keluarga berada di bagian Timur Kabupaten Gowa, sekitar 92 km dari Kota Sungguminasa, ibukota kabupaten dan berjarak tiga km dari ibukota Desa Pao. Wilayah adat Patalassang berada di tebing dua gunung menjulang tinggi, Bulu’ Bowonglangit dan Bulu’ Barani. Ia memiliki ketinggian 650 meter– 1.800 meter dari permukaan laut. Bowonglangit berarti di bawah langit karena berada di tempat tinggi.
Kawasan ini menurut hasil survei partisipatif tahun 2011 memiliki luas wilayah sekitar 25,17 kilometer persegi dan berada di wilayah administrasi pemerintahan Desa Pao, Kecamatan Tombolopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). Dalam upayanya mempertahankan kemandirian adat Pattallassang, komunitas Masyarakat Adat ini sudah memiliki Sekolah Rakyat Bowonglangit sebagai tempat pembelajaran bagi anak-anak, pemuda, perempuan dan juga tokoh adat. Sekolah yang beralaskan kearifan komunitas Pattalasang dalam mengelola SDA, sarana belajar pengorganisasian dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar Pattallassang. Sekolah yang kemudian dimaksudkan untuk menguatkan Pattallassang agar tidak terpinggirkan. Tahun 2012 beberapa perwakilan sekolah ini belajar pertanian organik ke Pesantren Ath Thaariq di Garut, Jawa Barat. Hasilnya saat ini mereka sudah mampu membuat pupuk organik untuk produksi pertanian meraka
Keberhasilan masyarakat Pattallassang melakukan pengorganisasian dan pengelolaan wilayah adatnya, tersiar hingga keseluruh masyarakat di dataran tinggi Karaeng Lompo. Hasilnya semakin banyak orang yang mengikuti proses kegiatan belajar di Sekolah Rakyat Bowonglangit. Bahkan desa tetangga tak jarang mengundang orang Pattallassang untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang pengorganisasian dan pengelolaan hutan.
Peningkatan kapasaitas paralegal yang masyarakat dapatkan melalui jaringan Sekolah Pendamping Hukum Rakyat (SPHR) Sulawesi Selatan semakin memperkuat semangat gotong royong. Masyarakat mengetahui akan haknya sebagai pemilik wilayah adat di Pattallassang terukur dari terbangunnya 60 rumah baru dan 70 rumah di renovasi dengan memanfaatkan kayu dari hutan di wilayah adatnya, dengan ketentuan mereka mengambil kayu dan juga mengantinya dengan menanam kembali pohon baru.
Sumber : ditulis dan diolah dari Laporan Kunjungan Lapangan Pattallassang, Surti Handayani. Maret 2016. “Memetakan Hutan Adat, Melestarikan Hutan Karampuan”, Mongabay.co.id. Agustus 2014
+ There are no comments
Add yours