Meneruskan Pengetahuan Leluhur dengan Pendidikan Adat

Peserta dan fasilitator kegiatan ‘Riset Metodologi Pendidikan Adat’ di Kasepuhan Ciptagelar. Foto : BPAN

“Sistem Pendidikan Nasional saat ini tidak sesuai dengan konteks lokal dan mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat (MA). Sistem ini mencerabut anak-anak MA dari orang tua, budaya, pola pikir, cara hidup dan pengetahuan di wilayah adat atau secara luas hak-hak MA, yang menyebabkan hilang rasa percaya diri dengan identitasnya. Karena itu, muncullah masyarakat yang materialistik dan individualistik (mental bersaing).”

Demikian kutipan Deklarasi Pendidikan Adat yang dideklarasikan 23 Maret 2016 di Kasepuhan Ciptagelar, Jawa Barat-Banten. Kutipan tersebut menggambarkan hasil-hasil diskusi Pendidikan Adat selama lima hari (19-23 Maret 2016) yang diadakan oleh AMAN dan BPAN dengan dukungan fasilitasi dari LifeMosaic dan The Samdhana Institute. Di Indonesia Sekolah Adat telah diinisiasi dan berjalan dibeberapa komunitas adat seperti Sekolah Adat Samabue Kalimantan Barat, Sekolah Adat Koha Sulawesi Utara, Sekolah Adat Punan Semeriot Kalimantan Utara, Sekolah Adat Hutan Mentawai (Yayasan Citra Mandiri Mentawai), Sekolah Adat Rakyat Bohonglangi Pattallassang Sulawesi Selatan, Rumah Belajar Sianjur Mula-mula Sumatera Utara, Literasi Halmahera Maluku Utara, Ruma Perguruan Sumatera Utara, Pondok Belajar Orang Rimba Jambi, Sekolah Pasawahan Jawa Barat, Sekolah Demokrasi Papua, dan Rumah Perguruan Toba Samosir.

Konsep pendidikan adat merupakan hal yang sangat penting untuk segera dilakukan dalam rangka mengembalikan dan meneruskan pengetahuan leluhur, pemberantasan buta huruf dan mengembangkan kesadaran kritis pemuda-pemudi adat terhadap seluruh aspek kehidupan di masyarakat adat. Pendidikan adat merupakan perjuangan hak dasar dan politik menuju transformasi sosial dan upaya pembebasan menuju masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.

Retret Metodologi Pendidikan Adat  ini melibatkan 19 orang partisipan dari 13 provinsi. Mereka adalah kaum muda dari berbagai daerah seperti Tano Batak (Sumut), Mentawai (Sumbar), Rimba (Jambi), Punan (Kaltara), Kalbar, Minahasa (Sulut), Sinjai dan Pattalasang (Sulsel), Molo (NTT), Halmahera dan juga Papua.

Noer Fauzi Rahman, salah satu narasumber mengatakan bahwa hilangnya wilayah adat tidak terlepas dari penjajahan kolonial. Melalui penguasaan ilmu dan taktik menguasai, penjajah kolonial berhasil membuat wilayah-wilayah adat terpecah dari kesatuannya.

“Jadi ada ilmunya. Ada ilmu penjajah (Belanda) untuk menaklukkan komunitas temuan barunya. Sebagai contoh ada buku berjudul ‘Java: How to Manage A Colony?’ Ilmu ini dihasilkan melalui penelitian tim ahli mereka, sebut saja Snouck Hurgronje  yang lama meneliti di Aceh. Hasil penelitian ini menjadi rekomendasi yang dijadikan untuk memulai penaklukan,” ujarnya.

Ketika Masyarakat Hukum Adat bersatu kedalam Republik Indonesia, kewenangan atas tanah yang dahulu ada pada tetua adat dan norma adat, beralih ke tangan pemerintah pusat Republik (Indonesia) yang baru didirikan. Sejak 1967 ketika Soeharto mengundangkan UU Penanaman Modal Asing yang terbalik 180 derajat dari kebijakan nasionalisasi Soekarno. Investasi kemudian menjadi prinsip hidup masyarakat luas yang mana salah satu pintu masuk sosialisasinya adalah sekolah formal.

Pendidikan Adat secara garis besar bertujuan untuk membuka kesadaran masyarakat adat untuk memahami ketertindasan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Di negara-negara lain, penidikan adat bahkan telah berdiri sejajar dengan pendidikan nasional. Universitas Misak di Kolombia adalah contoh nyata bagaimana sistem pendidikan yang berakar pada pengetahuan dan cara berpikir leluhur mampu mempertahankan wilayah adat dan menjawab tantangan zaman. Contoh serupa yang lebih dekat adalah Sekolah Tradisi Hidup di Talaandig dan Pamulaan, keduanya di Filipina. Demikian juga dengan Sekolah Pasawahan yang didirikan oleh Serikat Petani Pasundan untuk mendidik dan meningkatkan keterampilan anak-anak petani anggota SPP. Dengan mendirikan sekolah sendiri, saat ini Sekolah Pasawahan telah memiliki SMP, SMA dan SMK yang dibangun di atas lahan sengketa seluas 7,4 Ha. Berawal dari inisiatif sendiri saat ini pemerintah telah menawarkan dukungan untuk pembangunan gedung sekolah Pasawahan.

Sarno Maulana Rahayu (Beno) dari Sekolah Pasawahan Ciamis Jawa Barat menuturkan bagaimana berjalannya sekolah mereka. Meskipun mengikuti kurikulum negara, namun pada praktiknya mereka melakukan pembedahan materi terhadap kurikulum tersebut. Model pendidikan yang mereka lakukan wajib menyesuaikan dengan situasi dan kebutuhan petani di sekitarnya. Sehingga belajar ala Sekolah Pasawahan tidak melulu memegang pena dan belajar di dalam kotak bangunan, namun belajar di ladang, sawah atau alam sekitar.

“Perempuan-perempuan berumur 13-15 tahun di Pasawahan telah melek politik. Mereka tidak malu-malu bicara, juga tidak enggan dekat dengan orang. Maka sekolah Pasawahan mendidik anak-anak sejak SD untuk melihat segala sesuatunya dengan cara mereka di kampungnya yang memang dipraktikkan oleh masyarakat di mana mereka tinggal. Lingkungan mendidik anak-anak untuk tahu banyak hal dan saling bertautan satu sama lain,” ungkap Beno.

Sumber : diolah dan ditulis dari Laporan Kegiatan“Retret Metodologi Pendidikan Adat” Kasepuhan Ciptagelar, 19-23 Maret 2016, BPAN. Maret 2016. Artikel Riset Pendidikan Adat 1-6, www.bpan.aman.or.id

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours