Buku laporan Inkuiri Nasional Komnas Ham. (SAMDHANA/Anggit)
Konflik-konflik yang melibatkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan Negara memiliki intensitas tinggi dan cenderung tidak terselesaikan. Komnas HAM mencatat sekitar 20 persen dari seluruh pengaduan yang diterima adalah soal sengketa pertanahan. Jika pada tahun 2012 terdapat 1.213 berkas pengaduan kategori agraria tahun 2014 melonjak hingga 2.483 berkas pengaduan.
“Polemik persoalan agraria yang tak berkesudahan telah mendorong Komnas HAM melakukan Inkuiri Nasional sebagai terobosan penyelesaian pelanggaran HAM yang tersebar luas dan sistematik. Metode ini mampu menggali persoalan secara mendasar melalui kesaksian berbagai pihak, termasuk masyarakat yang selama ini ‘tidak tersentuh’ oleh negara guna mendapatkan kebenaran data, fakta, dan informasi melalui Dengar Keterangan Umum (DKU), penelitian dan analisis. Metode ini lebih komprehensif karena tidak hanya bertujuan menyelesaikan namun juga mengandung upaya pendidikan publik guna mencegah berulangnya pelanggaran HAM sejenis dan pemulihan korban,” ujar Ketua Komnas HAM Imdaddun Rahmat.
Dalam rangka menyampaikan hasil temuan dan rekomendasi ”Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan” pada publik yang lebih luas, Komnas HAM menginisiasi peluncuran 4 (empat) buku Inkuiri Nasional Komnas HAM di Gedung Komnas HAM Jalan Latuharhary No.4B Menteng Jakarta Pusat pada Rabu, 16 Maret 2016. Buku-buku ini berisi dokumentasi pelaksanaan Inkuiri Nasional, tidak saja soal temuan, analisis, dan rekomendasi-rekomendasi kebijakan, namun juga aspek pengalaman dalam pelaksanaan inkuiri, data, dan fakta yang terungkap.
Inkuiri Nasional Hak MHA atas Wilayahnya di Kawasan Hutan Indonesia, menurut Koordinator Komisioner Inkuiri Nasional Komnas HAM Sandrayati Moniaga, sesungguhnya merupakan tanggapan Komnas HAM atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian UU No.41/1999 tentang Kehutanan. “Komnas HAM berpandangan bahwa Putusan MK tersebut merupakan suatu terobosan hukum yang penting dalam proses pembaharuan hukum karena merupakan pengakuan Negara atas keberadaan MHA dan hak-haknya yang sejalan dengan prinsip penghormatan hak-hak asasi manusia,” paparnya.
Inkuiri Nasional Komnas HAM terlaksana atas kerja sama Komnas HAM dan Komnas Perempuan serta dukungan penuh organisasi masyarakat sipil yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sajogyo Institute, Samdhana Institute, HuMa, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), ELSAM, Epistema Institute, INFIS, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Ford Foundation, Rights and Resources Innitiative (RRI) dan UNDP. Pelibatan organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat pemahaman persoalan dari berbagai sudut pandang dan upaya menggalang sumber daya serta jaringan untuk keberhasilan pelaksanaan Inkuiri Nasional. Dalam pelaksanaan DKU, Komnas HAM juga mendapatkan dukungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kementerian Hukum dan HAM.
Komnas HAM telah memilih 40 kasus MHA di kawasan hutan di 7 wilayah yang mewakili karakteristik hutan dan wilayah sebarannya. Berdasarkan hasil kajian, telaah kasus, dan DKU, ditemukan beberapa akar masalah terjadinya praktik-praktik pelanggaran HAM terhadap MHA, yaitu 1) Tidak atau belum adanya pengakuan atas MHA; 2) Menyederhanakan keberadaan MHA dan hak-haknya atas wilayah adat serta sumber daya hutan menjadi sekedar persoalan administrasi atau legalitas; 3) Kebijakan pembangunan bias pertumbuhan ekonomi; 4) Patriarki di tubuh Negara dan Masyarakat Adat; dan 5) Kekosongan lembaga penyelesaian konflik agraria yang memiliki otoritas menyelesaikan konflik secara adil.
Berdasarkan hasil Inkuiri Nasional, Komnas HAM telah menyampaikan rekomendasi sebagai solusi penyelesaian masalah kepada sejumlah pihak terkait, antara lain DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan MHA (RUU PPMHA); Presiden RI antara lain untuk segera membentuk lembaga independen (Satgas MHA); dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melibatkan MHA secara aktif dan transparan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan.
“Berbagai konflik atas wilayah-wilayah adat yang tersebar luas dan sudah semakin rumit tidak dapat diselesaikan oleh Kementerian dan/atau Lembaga Negara yang ada karena conflict of interests. Kehadiran Satgas MHA mutlak dibutuhkan,” kata salah seorang Komisioner Inkuiri Nasional Komnas HAM Enny Soeprapto.
Sejumlah pihak yang turut hadir dalam peluncuran Buku Inkuiri Nasional Komnas HAM ini adalah Teten Masduki (Kepala Staf Kepresiden RI), Bambang Subijanto (Wakil Kementerian Lingkungan dan Kehutanan RI), Enny Soeprapto, PhD (Komisioner Inkuiri Nasional Komnas HAM), Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS (Komisioner Inkuiri Nasional Komnas HAM), dan Saur Tumiur Situmorang, SH (Komisioner Inkuiri Nasional Komnas HAM).
Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan, menyambut baik terbitnya buku-buku hasil Inkuiri Nasional Komnas HAM. Beliau menegaskan kembali komitmen Presiden Joko Widodo tentang pentingnya mewujudkan tanggung jawab Negara untuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM termasuyk hak-hak Masyarakat Hukum Adat. Namun realisasinya memang tidak sederhana. Presiden sedang mencari jalan terbaik untuk penyelesaian masalah ini.
Sumber : Keterangan Pers Komnas HAM
+ There are no comments
Add yours