Mengembalikan Hutan Jawa ke Tangan Rakyat

Konsolidasi CSO Hutan Jawa di Yogyakarta. (SAMDHANA/Martua)


Dalam rangka pemulihan kondisi hutan Jawa, Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa menyerukan pada pemerintah untuk segera mencabut PP 72 tahun 2010 tentang perum Perhutani. Hal ini diutarakan langsung oleh Agus Budi Purwanto, Direktur Eksekutif ARuPA selaku vocal point KPH Jawa dalam acara “Konsolidasi KPH Jawa” yang mengangkat tema “Mengenali Kondisi, Menangkap Peluang” pada Selasa, 1 Maret 2016 di Yogyakarta.

Disebutkan Agus, proses revisi PP No 72 tahun 2010 yang saat ini dilakukan di level pemerintah berlangsung secara tertutup dan tidak melibatkan petani dan masyarakat sipil.

“Dengan tertutupnya proses tersebut, hal ini diduga akan melanggengkan penguasaan hutan jawa oleh Perhutani, yang berpotensi bertentangan dengan Nawacita JKW-JK,” seru Agus pada acara diselenggarakan oleh Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) yang bekerja sama dengan Samdhana Institute dan KPH Jawa.

Disebutkan dalam bagian ke-8 Nawacita “berdaulat dalam bidang politik”, komitmen “mendedikasikan diri untuk memberdayakan desa”, yang dilaksanakan diantaranya melalui: “mengawal implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan dengan melakukan fasilitasi, supervisi dan pendampingan”.

Jokowi-JK sendiri juga berencana “menyiapkan dan menjalankan regulasi baru untuk membebaskan desa di kantong-kantong hutan dan perkebunan”, juga “memastikan redistribusi negara, baik Dana Desa (APBN), dan Alokasi Dana Desa (APBD), maupun distribusi lahan kepada desa berjalan secara efektif”, serta “Menyiapkan dan menjalankan regulasi baru tentang akses dan hak desa untuk mengelola sumberdaya alam berskala lokal (tambang, hutan, kebun, perikanan, dan sebagainya) untuk kemakmuran rakyat.

KPH Jawa memandang, pemerintah seharusnya menata ulang persoalan tata kuasa atas lahan hutan Jawa, mengingat dalam satu dekade terakhir ini banyak terdapat konflik lahan yang menimbulkan korban jiwa.

Dugaan pelanggaran HAM tersebut nampak dalam sejarah penguasaan hutan Jawa oleh Perhutani dan karakteristik kerja Perhutani, berdasarkan catatan LSM Arupa dan LBH Semarang, dalam kurun waktu 1998 – 2011 Perhutani telah menganiaya, mencederai, dan menembak setidak-tidaknya 108 warga desa sekitar hutan yang dianggap/diduga mencuri kayu atau merusak hutan, 34 diantaranya tewas tertembak atau dianiaya petugas keamanan hutan dan 74 lainnya luka-luka. Terdapat 64 kasus penganiayaan dan penembakan. Perhutani juga tak segan melakukan kriminalisasi terhadap warga yang dituduh mencuri kayu.

Selain itu, dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 (empat puluh satu) konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani.

Rekonfigurasi hutan Jawa diperlukan untuk melestarikan hutan, memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa, serta perluasan ruang kelola rakyat guna mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan.

Salah satu solusi untuk merekonfigurasi Hutan Jawa adalah mengembalikan tata kelola dan kuasanya kembali ke tangan rakyat. Hutan rakyat, khususnya hutan rakyat di Pulau Jawa dewasa ini telah menjadi sebuah fenomena sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang sangat luar biasa. Data Ditjen RLPS, Kementerian Kehutanan 2009 menyebutkan bahwa luas total hutan rakyat di seluruh Indonesia mencapai 3.589.343 ha, dimana 2,799,181 ha atau 77, 98% diantaranya terdapat di Pulau Jawa.

Berdasarkan data BPKH Wilayah XI tahun 2009, komposisi sebaran tersebut adalah: Jawa Barat dan Banten 1,2 juta ha, Jawa Tengah 747ribu ha, DIY 111 ribu ha, Jawa Timur 641 ribu ha. Sementara itu dari sisi sebaran berdasarkan daerah aliran sungai (DAS), sebaran hutan rakyat di Jawa adalah sebagai berikut: seluas 375.730 ha berada di bagian hilir DAS, seluas 1.010.192 ha berada di bagian tengah DAS, dan seluas 1.198.990 ha berada di bagian hulu DAS.

Persebaran hutan rakyat yang juga merata dari hulu sampai hilir tersebut, menunjukkan perannya dalam konservasi air yang tidak hanya untuk mengurangi laju limpasan, tetapi juga berperan dalam daerah tangkapan air untuk menjaga konservasi tanah dan menjadi penyangga terhadap bahaya abrasi, dan (bahkan) tsunami.

Secara sosial ekonomi, hutan rakyat di Jawa terbukti telah mampu menjadi salah satu katup solutif sekaligus penopang roda perekonomian rakyat pedesaan melalui kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan‐kebutuhan penting dan mendesak yang bersifat jangka panjang. Melalui sebuah terminologi kearifan lokal yang disebut dengan “tebang butuh”, masyarakat pemilik hutan rakyat mampu beradaptasi dengan tekanan ekonomi yang menghimpitnya. Sementara secara sosio‐kultural, hutan rakyat telah mampu menumbuhkan semangat menanam sekaligus kewirausahaan (entrepreneurship) berbasis kayu.

Produksi kayu bulat dari hutan rakyat di wilayah Jawa Madura, menurut Statistik Kehutanan tahun 2011 dan data Dinas Kehutanan Provinsi Lingkup Jawa Madura mencapai 4.690.684m3.77 Produksi kayu bulat dari hutan rakyat tersebut didominasi oleh jenis jati, sengon, mahoni, akasia, dan jenis campuran.78 Secara proporsional sebaran data produksi kayu bulat tersebut sebagai berikut: Banten 40.878m3, Jawa Barat 2.331.460m3, Jawa Tengah 952.199m3, DI Yogyakarta 238.180m3, dan Jawa Timur 1.127.931m3.

Secara ekologis hutan rakyat telah mampu meningkatkan kualitas lingkungan hidup melalui keberhasilan meningkatkan luasan tutupan lahan yang tentu akan membawa dampak positif bagi meningkatnya daya dukung lingkungan.

“Oleh karena itu, mandat pengelolaan kawasan hutan negara di Jawa kepada Perhutani sudah saatnya harus ditinjau ulang. Bukan sekedar merevisi, tetapi mencabut melalui kebijakan pengganti yang lebih paradigmatis berpihak pada kepentingan sosial dan ekologis,”tambah Agus.

Senada dengan pernyataan KPH Jawa, Martua T. Sirait direktur pengembangan kebijakan Samdhana Institute, menyambut baik rekan rekan KPH Jawa untuk mengukur kemajuan yang telah dicapai  atas Road Map KPH Jawa yang dibuat tahun 2013, terutama dalam mendukung agenda GNSDA (Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam) antara lain harmoniasasi kebijakan dan prosedur, penanganan konflik, perluasan wilayah kelola rakyat, transparansi informasi publik dan lainnya.

Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa merupakan koalisi 38 organisasi masyarakat sipil di Jawa yang peduli pada upaya pemulihan hutan jawa. Dideklarasikan pada 17 januari 2012. Ke 38 Organisasi Masyarakat Sipil, yakni ARuPA, FKKM, FPPK, FPPKS, FWI, HuMa, Javlec, JPIK Jateng, Karsa, Kompleet, KpSHK, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Surabaya, Lidah Tani, LPH Yaphi, LPPSLH, Ortaja, Paguyuban Petani Turi, Paramitra, PPHJ, PPLH Mangkubumi, RMI, Rumah Aspirasi Budiman, SD INPERS, Sepkuba, SPP, SPPT, Stan Balong, Suphel, Telapak, Walhi DIY, Walhi Jabar, Yayasan Koling, Yayasan Sitas Desa, Yayasan Trukajaya, LBH Yogyakarta, dan Epistema.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours