Merumuskan Strategi Bersama Percepatan Pemetaan Partisipatif

Web_LokakaryaJKPP2Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama AMAN, BRWA dan Samdhana Institute, menggelar Lokakarya Membangun Strategi Percepatan Perluasan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat dan Wilayah Kelola Rakyat, 15-16 Februari 2016. Kegiatan yang dipusatkan di Bogor ini menghadirkan para pelaku pemetaan partisipatif di Indonesia.

Dalam perkembangannya kegiatan pemetaan partisipatif telah digunakan oleh berbagai lembaga baik lembaga swadaya masyarakat, akademisi, peneliti, swasta maupun pemerintah sejak tahun 1990. Hingga dasawarsa ketiga, pemetaan partisipatif digunakan berbagai tujuan seperti alat resolusi konflik tenurial, dasar pengakuan wilayah adat, dasar skema akses masyarakat terhadap kawasan hutan dengan skema perhutanan sosial dan sebagai dasar perencanaan wilayah (skala mikro).

JKPP hingga saat ini sudah mengkonsolidasikan luasan pemetaan partisipatif yang difasilitasi oleh Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) dan lembaga mitra lain seluas 9,1 Juta Ha, 80 % diantaranya adalah wilayah adat. Luasan ini masih jauh dari luasan wilayah adat yang ada di Indonesia (diperkirakan sekitar 40 Juta Ha), yang harapannya dapat terpetakan hingga tahun 2020 nanti.

“Salah satu tantangan adalah jumlah fasilitator dan pendamping (community organizer), sedangkan target kita sangat besar. Keseragaman data, informasi dan peta yang menjadi tantangan. Ini adalah alat yang nantinya akan dipakai untuk berdiskusi dengan pemerintah. Dari segi teknologi sekarang muncul metodologi menggunakan UAV (Unmanned Aerial Vehichle) atau Drone yang memungkinkan membantu percepatan kerja pemetaan partisipatif, namun banyak hal yang harus disiapkan. Ada juga yang sudah bekerja atau melakukannya, ini adalah salah satu tantangan untuk mengkonsolidasikan seluruh data dan informasi,” ungkap Bob Purba, fasilitator dalam kegiatan ini.

Lokakarya ini juga untuk membangun strategi bersama, mengidentifikasi kapasitas, metodologi dan pembagian peran diantara mitra dan jaringan strategis untuk percepatan perluasan pemetaan partisipatif wilayah adat serta dukungan pendanaan dari lembaga donor. Mulai dari peta yang sangat sederhana (peta sketsa) sampai dengan perkembangan metode seperti pengembangan metodologi Pemetaan Partisipatif Skala Luas (PPSL) dan penggunaan teknologi UAV (drone). Pemilihan metodologi tergantung kepada tujuan dan kebutuhan di tingkat tapak, karena keduanya bisa dilakukan secara simultan.

Peluang bagi masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah dan menyelesaikan konflik tenurial, terutama kawasan hutan juga sudah muncul, seperti Putusan MK35 tahun 2012 bagi masyarakat adat. Beberapa wilayah adat sudah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) seperti Perda Masyarakat Kasepuhan (Lebak, Banten), dan Masyarakat Adat Amatoa Kajang (Bulukumba, Sulsel). Juga melalui Surat Keputusan Bupati seperti di Kabupaten Jayapura di Papua dan Bombana di Sulawesi Tenggara.

Termasuk memanfaatkan keberadaan tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) dan kebijakan pemerintah lainnya melalui Peraturan Bersama 4 Kementerian dan Lembaga (Perber 4 K/L) Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada Dalam Kawasan Hutan. Juga kebijakan lain yang membutuhkan data informasi spasial masyarakat sebagai dasar implementasi kebijakan tersebut. Sampai saat ini penentuan angka dalam peluang kebijakan yang dikeluarkan hanya asumsi, tanpa ketersediaan akurasi data yang jelas.

Martua Sirait, Direktur Kebijakan Samdhana Institute mengungkapkan peluang lain yang bisa dimanfaatkan, khususnya restorasi gambut 2016 (2 juta hektar). Target perhutanan sosial pada tahun 2016 sudah ada 4,388 juta ha untuk dikelola oleh masyarakat, namun masyarakat adat belum termasuk didalamnya. KemenLHK punya website berbasis GIS, tetapi data-data di website ini masih belum dapat di download datanya, padahal data tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan kita bersama untuk mempercepat gerakan pemetaan partisipatif.

“Kalau sistem verifikasi IP4T sudah berjalan maka data pemetaan partisipatif harus dapat dengan mudah diakses, kita perlu berbagi peran dan mengatur strategi. Jika data dalam geo data JKPP dan BRWA dapat di download maka akan membantu kecepatan analisis teman-teman TIM IP4T di lapangan. Intinya adalah data harus bisa di download dan siap digunakan,” tambahnya.

Poses diskusi selama 2 hari ini kemudian menyepakati beberapa poin penting sebagai strategi nasional pemetaan partisipatif, termasuk membentuk task force nasional dan daerah untuk menindaklanjuti hasil hasil kegiatan termasuk melakukan road show di tingkat nasional dan daerah.

Peserta yang hadir dalam lokakarya ini merupakan representasi lembaga yaitu; JKPP, BRWA, Samdhana Institute, SEKALA Bali, WRI Indonesia, Sampan, SLPP (NTT, Aceh, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Delta Api, Ford Foundation, CLUA, UKP3 AMAN (Mentawai, Tanah Luwu, Sulawesi Selatan), Yasanto Merauke, SKP Kame Merauke, Mnukwar Papua Barat, Bentara Papua, Jerat Papua, Pt PPMA Papua, Belantara Papua, Fokker Papua, FWI dan Epistema. Selain itu hadir juga beberapa praktisi pemetaan yang ikut terlibat secara personal. Lokakarya ini didukung oleh CLUA (Climate and Land Use Alliance) melalui JKPP.

Cerita Lainnya

+ There are no comments

Add yours