Masyarakat Pulau Enggano merupakan masyarakat yang kaya akan sistem adat yang masih kuat dan memiliki kearifan budaya dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan. Sistem Pengelolana SDA di Pulau Enggano dikelola secara adat oleh masyarakat Pulau Enggano melalui sistem kaudar. wilayah adat (hak suku) yang disebut Kaudar diterjemahkan menurut mereka adalah wilayah dimana terdapat pemukiman atau kampung, kebun atau ladang serta pekarangan yang wilayahnya dihitung dari garis pantai sampai kedataran sejauh 3 km, selebihnya merupakan tanah ulayat yang disebut Dopo Kihabuiyaika.
Masyarakat Adat Enggano hingga kini terus mendesak untuk diakui secara legal melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bengkulu Utara. Perda pengakuan dan perlindungan ini diharapkan bisa menjaga pengetahuan lokal Enggano tetap terjaga, meski masyarakat luar masuk ke Enggano. Perda ini juga untuk melengkapi komitmen pemerintah Propinsi Bengkulu melalui gubernur Bengkulu yang mengeluarkan pernyataan politik tidak akan memberikan izin investasi perkebunan skala besar dan pertambangan di pulau Enggano.
Pada akhir Oktober 2015 lalu AMAN Bengkulu bersama lima tokoh adat masyarakat Enggano Bengkulu Utara mendatangi DPRD Bengkulu Utara untuk mendesak dibentuknya Perda tentang adat dan kawasan di Kecamatan Enggano. Mereka adalah Suhaidi Kaarubi (Kepala Suku Kaarubi), Rafli Zen Kaitora (Kelapa Suku Kaitora), Abisin Kaharuba (Kepala Suku Kaharuba), Harun Kaarubi (Ketua Lembaga Adat Enggano) dan Yudi Ariawan Kaitora (Pemuda Adat Bengkulu).
Pada pertemuan dengan DPRD Kepala suku Kaarubi menegaskan dampak buruk yang saat ini terjadi di Enggano, yaitu pembabatan hutan. Bahkan aksi pembabatan tersebut juga sudah merusak hutan adat enggano yang kini tak tersisa lagi. “Makanya kami minta legalitas hukum berupa Perda. Karena, adanya urbanisasi di Enggano hanya membawa pembabatan hutan,” tegas Suhaidi, sebagaimana dikutip dari Radar Bengkulu.
Sementara Kepala Suku Kaitora, Rafli Zen Kaitora mengungkapkan jika selama ini adat sangat berarti di Enggano. Bahkan hukum adat lebih sering digunakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dibandingkan dengan hukum pidana. “Ini sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Enggano yang masih kental, masih menjunjung tinggi adat,” tegas Rafli.
Merespon desakan ini, anggota Komisi 1 yang juga ketua Badan Lesislasi DPRD Bengkulu Utara, Slamet Waluyo menyatakan mendukung apa yang diharapkan masyarakat Enggano. Bahkan, keinginan masyarakat tersebut akan menjadi tumpuan DPRD untuk membuat Perda yang diinginkan.
Pertemuan tersebut juga dihadiri Kepala bagian Hukum Pemkab Bengkulu Utara sebagai bentuk dukungan. Selanjutnya Pihak pemkab Bengkulu Utara dan Baleg DPRD Bengkulu Utara, meminta AMAN Bengkulu menyiapkan draf Raperda Perda Masyarakat Adat Enggano.
Sumber : Laporan Kegiatan “Kesiapsiagaan Dini Masyarakat Adat Enggano dalam Merespon Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Penguatan Kearifan Lokal Pengolahan Sumber Daya Alam Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara Prov. Bengkulu ” ; Aman Bengkulu, Desember 2015. Radar Bengkulu, 31 Oktober 2015.
+ There are no comments
Add yours